
Awas, Serangan Dolar! IHSG, Rupiah Hingga Obligasi Bisa Jadi Korban

Hari ini pelaku pasar akan mengarahkan perhatian pada rilis data tenaga kerja AS (JOLTs) malam nanti dan perkembangan terbaru kesepakatan dagang Amerika Serikat dengan sejumlah negara utama.
Di tengah tekanan eksternal, pemerintah menyampaikan nada optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini masih bisa menyentuh 5%. Namun sinyal waspada tetap diberikan, terutama karena sektor manufaktur belum sepenuhnya pulih dan tekanan global belum reda.
Ekonomi RI Optimistis Tumbuh 5%, Tapi Waspadai Manufaktur & Modal Asing
Di tengah gejolak global, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menegaskan bahwa ekonomi Indonesia tetap berada di jalur positif. Dalam konferensi pers Senin (28/7), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pertumbuhan kuartal II-2025 diyakini tetap solid, berkat konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat, serta dukungan APBN yang berfungsi sebagai bantalan fiskal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tembus 5% pada 2025. Tapi untuk mencapainya, Sri Mulyani menegaskan bahwa sektor swasta harus menjadi motor utama pertumbuhan. Untuk itu, pemerintah akan mempercepat deregulasi dan mengoptimalkan peran Danantara untuk memperluas pembiayaan strategis.
Pemerintah telah mengguyur stimulus ekonomi sejak kuartal I dan memperkuat belanja pada sektor prioritas. Program-program strategis seperti subsidi energi, bantuan sosial untuk kelompok rentan, serta relaksasi sektor UMKM masih berlanjut hingga semester II.
Namun KSSK juga mencermati tanda-tanda pelemahan di sektor manufaktur. PMI Indonesia masih kontraksi di level 46,9 pada Juni lalu, dan ini menjadi sinyal bahwa tekanan global mulai menyentuh industri dalam negeri. Pemerintah mewaspadai risiko rambatan yang lebih luas.
Gubernur BI Perry Warjiyo juga menjelaskan bahwa bank sentral terus memperlonggar likuiditas melalui pemangkasan lelang Sekuritas Rupiah BI (SRBI). Posisi SRBI telah menyusut lebih dari Rp140 triliun hanya dalam waktu beberapa bulan terakhir. Aksi ini dilakukan pasca BI memangkas suku bunga acuan secara bertahap hingga Juli, masing-masing 25 bps, untuk menjaga daya dorong ekonomi.
BI Siap Pangkas Suku Bunga Lagi
Bank Indonesia (BI) membuka ruang penurunan suku bunga acuan atau BI rate ke depan. Hal ini dikarenakan prakiraan rendahnya inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah.
Sebagai catatan, BI sudah memangkas suku bunga tiga kali tahun ini yakni pada Januari, Mei, dan Juli masing-masing 25 bps menjadi 5,25%.
"BI ke depan masih melihat ruang untuk penurunan suku bunga lebih lanjut," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, di Kantor Pusat LPS, Jakarta, Senin (28/7/2025)
"Kebijakan suku bunga tetap konsisten dengan rendahnya prakiraan inflasi dengan sasaran 2,5 plus minus 1%," ujarnya.
Begitu juga dengan nilai tukar rupiah. Menurut Perry hingga saat ini rupiah bergerak stabil di tengah tingginya ketidakpastian global.
Perry menambahkan, penurunan suku bunga diperlukan untuk mendorong perekonomian nasional. Turunnya BI rate harusnya diikuti dengan pemangkasan bunga kredit perbankan.
"Kami akan terus mencermati ruang itu untuk dorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah dah pencapaian sasaran inflasi," jelasnya.
Besaran penurunan BI rate dan waktunya akan melihat dinamika yang terjadi pada level global maupun dalam negeri.
Data JOLTs dan Rapat The Fed
Pelaku pasar akan mencermati rilis data Job Openings and Labor Turnover Survey (JOLTs) dari Amerika Serikat untuk periode Juni. Ini akan menjadi salah satu indikator penting menjelang keputusan suku bunga The Fed pada Kamis dini hari.
Pada rilis sebelumnya, JOLTs menunjukkan lonjakan signifikan, lowongan kerja naik 374.000 menjadi 7,769 juta tertinggi sejak November 2024 dan jauh melampaui ekspektasi. Kenaikan terutama terjadi di sektor jasa makanan, keuangan, dan asuransi, sedangkan sektor pemerintahan justru mengalami penurunan.
Jika JOLTs kembali melonjak, pasar akan memperkuat ekspektasi bahwa kondisi tenaga kerja AS masih sangat ketat. Ini bisa mendorong nada hawkish dari Ketua The Fed Jerome Powell dalam FOMC 30 Juli mendatang. Sebaliknya, jika lowongan melemah, kemungkinan sikap dovish akan menguat membuka ruang bagi penguatan pasar negara berkembang seperti Indonesia.
The Fed akan menggelar rapat FOMC mulai hari ini, Selasa waktu Indonesia dan akan mengumumkan kebijakan pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari mendatang.
Meskipun bank sentral diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan jangka pendek di kisaran saat ini yaitu 4,25% hingga 4,5%, para pelaku pasar akan mencermati petunjuk apakah pemangkasan suku bunga mungkin terjadi pada pertemuan September.
Deal Dagang Mulai Terbentuk, Tapi Ketegangan Belum Reda
Pekan ini juga menjadi momen penting dalam lanskap perdagangan global. Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan sejumlah kesepakatan dagang bilateral dengan Uni Eropa, Indonesia, Jepang, Vietnam, hingga Filipina hanya beberapa hari menjelang tenggat tarif 1 Agustus.
Kesepakatan dengan Uni Eropa menetapkan tarif 15% atas sebagian besar barang Eropa yang masuk AS, termasuk kendaraan, namun tidak mencakup produk farmasi dan pesawat. Sebagai balasan, Uni Eropa akan menggelontorkan investasi dan belanja energi senilai lebih dari US$1,3 triliun di AS.
Indonesia juga termasuk dalam daftar negara yang berhasil mencapai kesepakatan. Trump menetapkan tarif resiprokal 19% untuk produk Indonesia, namun membuka hampir seluruh akses ekspor AS ke Indonesia. Termasuk dalam paket ini adalah penghapusan hambatan lisensi pangan, dukungan digital economy, dan akses atas komoditas strategis.
Namun, ketegangan masih tersisa. India dan China belum mencapai kesepakatan, dan risiko eskalasi masih terbuka. Walau China sudah menyepakati ekspor rare earth dan AS mencabut sebagian larangan dagang, pasar tetap berhati-hati terhadap kemungkinan kejutan tarif di menit-menit akhir.
Ketegangan Baru AS vs Rusia, Kamboja vs Thailand Damai
Ketegangan antara Rusia dan AS kemabli meningkat setelah Presiden AS Donald Trump pada Senin (28/7/2025) menetapkan tenggat waktu, yaitu 10 atau 12 hari, bagi Rusia untuk mencapai kemajuan dalam mengakhiri perang di Ukraina atau menghadapi konsekuensinya. Hal ini menggarisbawahi rasa frustrasi terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin atas konflik yang telah berlangsung selama 3,5 tahun tersebut.
Trump telah mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada Rusia dan negara-negara pembeli ekspornya jika tidak ada kemajuan. Tenggat waktu baru ini menunjukkan bahwa presiden AS siap untuk menindaklanjuti ancaman-ancaman tersebut setelah sebelumnya ragu-ragu
Berbicara di Skotlandia, tempat ia mengadakan pertemuan dengan para pemimpin Eropa dan bermain golf, Trump mengatakan ia kecewa dengan Putin dan memperpendek tenggat waktu 50 hari yang telah ia tetapkan untuk masalah ini awal bulan ini.
"Saya akan membuat tenggat waktu baru sekitar ... 10 atau 12 hari dari hari ini," kata Trump kepada para wartawan saat bertemu dengan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer. "Tidak ada alasan untuk menunggu... Kami hanya tidak melihat adanya kemajuan.
Sebaliknya, Kamboja dan Thailand sepakat melakukan gencatan senjata "segera dan tanpa syarat", dalam langkah diplomatik penting yang dimediasi oleh Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Kuala Lumpur, Senin (28/7/2025).
Thailand dan Kamboja resmi menyetujui gencatan senjata, Senin (28/7/2025). Pengumuman resmi diberikan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim dan akan berlaku tengah malam 28 Juli 2025.
"Baik Kamboja maupun Thailand mencapai kesepahaman bersama sebagai berikut," ujar Anwar yang menjadi tuan rumah pertemuan di Putrajaya, Malaysia.
"Pertama, gencatan senjata segera dan tanpa syarat yang berlaku mulai 24 jam waktu setempat, tengah malam tanggal 28 Juli 2025, malam ini," tambahnya.
Dolar Terbang Lagi
Indeks dolar menguat signifikan pada perdagangan kemarin dan berakhir di posisi 98,63 atau terkuat dalam delapan hari terakhir. Indeks dolar yang menguat menandai investor tengah memburu dolar AS dan meninggalkan instrumen non-dolar, termasuk rupiah. Nilai tukar rupiah pun dikhawatirkan kembali melemah.
Dolar yang semakin menarik membuat IHSG, rupiah hingga obligasi rawan outflow sehingga mencatatkan kinerja buruk.
(emb/emb)
