Newsletter

RI Tunggu Kabar dari China & Sabda Powell, Was-was IHSG-Rupiah Goyang!

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
21 July 2025 06:20
Pasar bullish vs bearish
Foto: Pixabay
  • IHSG dan Obligasi RI berhasil hijau pekan lalu, tapi rupiah masih loyo dihadapan dolar AS.

  • Wall Street mulai koreksi gara-gara ulah Trump tuntut tarif sampai 20% ke Uni Eropa

  • Sentimen eksternal masih akan menjadi sorotan pekan ini mulai dari efek dari tarif Trump sampai menanti pidato Jerome Powell.

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham dan obligasi Tanah Air bergerak positif pekan lalu, tetapi rupiah dalam melawan dolar Amerika Serikat (AS) masih loyo.

Bursa saham dan rupiah diperkirakan akan sedikit volatile pada pekan ini. Selengkapnya mengenai proyeksi dan sentimen hari ini dan satu pekan ke depan bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

Membahas soal pasar saham pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau hijau royo-royo.

IHSG pada perdagangan Jumat (18/7/2025) parkir di zona hijau 7311,91, dalam sehari menguat 0,34%, mengakumulasi penguatan sepanjang pekan sebesar 3,75%. IHSG berhasil bertahan di tren positif selama 10 hari beruntun, ini merupakan rekor yang pertama sejak Oktober 2019 atau lima tahun lebih.

Nilai transaksi yang terjadi pada Jumat lalu (18/7/2025) juga ramai sampai Rp17 triliun melibatkan 31,16 miliar lembar saham yang berputar sebanyak 1,67 juta kali. Ada sebanyak 284 saham menguat, 324 melemah, dan sisanya 197 saham stagnan. Dengan begitu, market cap IHSG berada di Rp13,10 kuadriliun.

Menariknya, asing mulai terpantau mencatat net buy setelah berbulan-bulan terus melego saham RI. Pada Jumat asing mencatat beli bersih Rp217,87 miliar di keseluruhan pasar saham, menandai dua hari asing membeli saham RI, jika diakumulasi mencapai lebih dari Rp800 miliar, nilai ini lumayan menghapus net sell sepanjang pekan menjadi Rp1,45 triliun.

Sayangnya, net buy di pasar saham RI ini tidak berdampak optimal ke pasar nilai tukar yang terlihat dari rupiah masih loyo di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Merujuk data Refinitiv, rupiah berakhir di posisi Rp16.285/US$, pada perdagangan Jumat sebenarnya ada penguatan sebesar 0,25%, sayangnya ini belum bisa menutup pelemahan dalam sepekan sebanyak 0,49% terhadap dolar AS.

Pelemahan rupiah terjadi seiring dengan indeks dolar AS (DXY) yang terus menguat. Sepanjang pekan lalu, the greenback menanjak 0,61% ke posisi 98,46.

Penguatan dolar AS baru-baru ini didorong oleh inflasi negeri Paman Sam yang kembali naik, kebijakan tarif impor Presiden Trump, serta ketidakpastian pasar terhadap arah suku bunga The Fed.

Inflasi tahunan AS naik menjadi 2,7% pada Juni 2025, dengan inflasi inti mencapai 2,9%. Kenaikan harga paling signifikan terjadi pada sektor makanan, transportasi, serta mobil dan truk bekas, sementara harga energi turun lebih lambat dari bulan sebelumnya. Kenaikan harga gas alam hingga 14,2% juga turut memperburuk tekanan inflasi.

Kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa The Fed akan menunda pemangkasan suku bunga, karena tekanan inflasi belum mereda. Pasar pun mulai menyesuaikan ekspektasi kebijakan moneter.

Di sisi lain, pasar obligasi masih terpantau hijau, tercermin dari yield surat utang acuan dengan tenor 10 tahun (ID10Y) yang menunjukkan penurunan.

Perlu dipahami dulu, yield dan harga pada obligasi bergerak berlawanan arah. Jadi, yield yang turun, menunjukkan harga obligasi sedang naik, artinya investor masih terus membeli.

Mengutip data Refinitiv, sepanjang pekan lalu yield SBN tenor 10 tahun turun 2,6 basis poin (bps) menjadi 6,55%. Dalam empat minggu, yield obligasi ini terus turun, menandai minat investor masih banyak di aset konservatif ini.

Bursa saham Amerika Serikat mayoritas ditutup melemah pada perdagangan Jumat (18/7/2025), di tengah kekhawatiran pasar terhadap potensi perang dagang baru antara AS dan Uni Eropa.

Presiden Donald Trump dikabarkan tengah mendorong penerapan tarif minimum sebesar 15-20% terhadap produk impor dari Eropa. Langkah ini menjadi bagian dari tekanan Trump menjelang tenggat 1 Agustus, di mana tarif bisa melonjak hingga 30% jika kesepakatan perdagangan tak kunjung tercapai.

Mengutip CNBC Internasional, Dow Jones turun 142 poin atau 0,32% ke level 44.342,19. S&P 500 juga terkoreksi tipis 0,01% ke 6.296,79, meskipun sempat menyentuh rekor harian. Nasdaq justru menguat tipis 0,05% ke 20.895,66.

Di tengah gejolak tarif, beberapa saham juga mengalami tekanan tersendiri. Saham 3M anjlok lebih dari 3% setelah memangkas proyeksi pertumbuhan penjualan tahun ini. American Express juga ikut turun 2% karena laporan kinerjanya tidak memenuhi ekspektasi pasar.

Sementara itu, Netflix mencatat penurunan saham hingga 5% usai memproyeksikan margin operasional semester II yang lebih rendah dibanding paruh pertama tahun ini.

Namun secara mingguan, performa Wall Street masih terbilang solid. Nasdaq mencatat kenaikan 1,5%, S&P 500 naik 0,6%, dan hanya Dow Jones yang sedikit melemah.

Sejumlah laporan keuangan perusahaan menjadi penopang sentimen positif. Sekitar 12% perusahaan dalam indeks S&P 500 telah melaporkan hasil kuartal II, dan 83% di antaranya berhasil melampaui ekspektasi analis. Beberapa emiten seperti PepsiCo dan United Airlines bahkan melonjak usai membukukan laba di atas perkiraan.

Di luar isu perdagangan dan laporan keuangan, pasar juga mencermati data ekonomi terbaru. Survei Konsumen dari University of Michigan menunjukkan peningkatan sentimen sebesar 1,8% pada Juli menjadi 61,8, level tertinggi sejak Februari. Data ini turut mencerminkan berkurangnya kekhawatiran konsumen terhadap inflasi, meski tekanan dari potensi tarif tetap membayangi.

CEO Mahoney Asset Management, Ken Mahoney, mengatakan bahwa pasar saat ini berada dalam mode "risk-on", namun arah kebijakan suku bunga The Fed tetap menjadi pertimbangan utama.

Menurutnya, dalam sejarah, bull market seringkali berjalan lebih kuat tanpa pemangkasan suku bunga. Tapi melihat inflasi yang mulai mereda dan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang masih positif, peluang pemangkasan tetap terbuka jika diperlukan.

Secara keseluruhan, pekan lalu menjadi periode yang cukup dinamis bagi Wall Street, dengan kombinasi antara kabar dari Gedung Putih, rilis kinerja emiten besar, serta data ekonomi yang terus menjadi panduan investor dalam menentukan arah pasar selanjutnya.

 

Sentimen pasar keuangan pekan ini akan lebih banyak dipengaruhi dari eksternal, terutama soal detail dari tarif Presiden AS Donald Trump ke Indonesia, maupun sebaliknya. Pasar akan meninjau seberapa besar efek-nya bagi berbagai industri.

Dari kawasan regional akan ada rilis data suku bunga acuan untuk kredit di China, sementara dari dalam negeri tak banyak data yang dinanti, kecuali earning rilis dari big bank yang akan menjadi pembuka musim rilis laporan keuangan.

Sementara itu, posisi IHSG yang sudah di resistance, tetap patut diantisipasi karena rawan terjadi profit taking.

IHSG memang menguat selama 10 hari beruntun, tetapi secara teknikal pada penutupan candle terakhir di hari Jumat sudah mulai terlihat mengekor ke bawah dan ditutup merah.

Gap up juga terjadi pada candle di hari itu, menunjukkan adanya potensi untuk ditutup dulu, artinya kemungkinan besar bisa koreksi wajar dulu.

Support terdekat yang potensi disentuh setidaknya di 7275 untuk menutup gap, jika koreksi masih berlanjut, support selanjutnya bisa ke level 7075.

Pergerakan IHSGFoto: Tradingview
Pergerakan IHSG

Adapun sentimen lain yang akan mempengaruh IHSG - rupiah diantaranya sebagai berikut :

Keputusan Suku Bunga China


Bank sentral China akan mengumumkan suku bunga pinjaman pada hari ini, Senin (21/7/2025).

Seperti diketahui, tingkat suku bunga pinjaman utama (loan prime rate/LPR) satu tahun-yang menjadi acuan bagi sebagian besar pinjaman korporasi dan rumah tangga dipertahankan di level 3,0%. Sementara itu, LPR lima tahun yang menjadi patokan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) juga tidak berubah, tetap di level 3,5%.

Keputusan ini diambil setelah PBoC memangkas biaya pinjaman sebesar 10 basis poin bulan lalu untuk membantu meredam dampak ekonomi akibat tarif baru dari Amerika Serikat. Langkah ini juga diikuti oleh pemangkasan suku bunga simpanan oleh sejumlah bank milik negara.

Keputusan tersebut diambil di tengah rilis data ekonomi yang beragam, yang menunjukkan bahwa Tiongkok masih berada di jalur yang tepat untuk mencapai target pertumbuhan PDB-nya, meski menghadapi tekanan baru dari tarif AS. Penjualan ritel pada Mei 2025 tumbuh dengan laju tercepat dalam 15 bulan terakhir, sementara output industri naik dengan laju paling lambat dalam enam bulan. Sementara itu, pertumbuhan kredit baru dari perbankan lebih rendah dari yang diperkirakan.

Tarif Donald Trump

Tarif resiprokal yang dicanangkan oleh Donald Trump akan berlaku 1 Agustus 2025. Sejumlah negara sudah mencapai kesepakatan seperti Indonesia yang dikenakan tarif 19%.

Namun, banyak negara-negara lain juga yang masih terus bernegosiasi. Tidak menutup kemungkinan akan ada perkembangan dari negosiasi bilateral AS dengan negara lain terkait tarif Trump tersebut.

Investor akan mencerna dampak dari pemberlakuan tarif terhadap ekonomi AS dan dunia serta Indonesia setelah tarif 19% diberlakukan. Investor juga akan mengkalkulasi dampak jika negosiasi bilateral menemui kebuntuan.

Sehingga masih akan ketidakpastian selama negosiasi belum ketok palu dan akan berdampak kepada volatilitas pasar keuangan Indonesia baik saham maupun rupiah.

Pidato Jerome Powell

Chairman The Fed Jerome Powell akan berpidato pada Selasa 22 Juli 2025 di acara European Central Bank Forum on Central Banking 2025, Sintra, Portugal. Investor menantikan petunjuk dari Powell terkait langkah moneter yang akan dilakukan.

Seperti soal kebijakan suku bunga dalam merespon pemberlakuan tarif resiprokal yang telah ditetapkan dan akan dilakukan.

Sebagai informasi pada 30 Juli 2025 akan diadakan pertemuan FOMC dan berdasarkan perangkat Fedwatch The Fed akan mempertahankan suku bunga di 4,25%-4,5%.

The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga dua kali di sisa 2025 yakni pada pertemuan September sebesar 25 basis poin dan Desember sebesara 25 basis poin. Sehingga di akhir tahun suku bunga The Fed berada di 3,75%-4%.

Akumulasi Asing dan Rilis Laporan Keuangan Big Bank.

Emiten bank BUMN terpantau dilirik investor asing jelang rilis laporan keuangan. Broker JP Morgan (BK) menjadi yang cukup masif melakukan akumulasi berdasarkan histori transaksi.

Pertama, adalah PT Bank Mandiri (Persero) atau BMRI. Berdasarkan data Stockbit, sejak 1 Juli hingga 17 Juli 2025, broker JP Morgan dengan kode BK melakukan beli bersih Rp293,5 miliar untuk saham BMRI.

Sementara itu, saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (Persero) atau BBRI juga turut diakumulasi oleh broker JP Morgan, terutama dalam dua hari terakhir.

Dalam rentang 16-17 Juli, broker dengan kode BK tersebut terpantau melakukan beli bersih saham BBRI nyaris Rp100 miliar, tepatnya Rp98,8 miliar.

Kode broker BK tersebut juga terlihat aktif membeli saham BBNI, walaupun dengan jumlah yang tidak sebesar BMRI dan BBRI. Pembelian besar terjadi pada Kamis 17 Juli 2025 dengan nilai transaksi sebesar Rp3,6 miliar.

JP Morgan Indonesia sendiri adalah perusahaan sekuritas yang berelasi dengan JP Morgan. Dengan demikian aktivitas beli bersih dari kode JP Morgan bisa menjadi sinyal baik untuk saham tersebut, terlebih lagi jelang pengumuman laporan keuangan.

Menurut beragam sumber, BBNI akan merilis laporan keuangan semester I 2025 lebih cepat dibandingkan bank Himbara lain, yakni 25 Juli 2025. Sementara itu, BMRI dan BBRI diperkirakan akan merilis kinerja keuangannya pada 30 Juli 2025. Kemudian ada BBCA yang diperkirakan merilis kinerjanya pada 30 Juli 2025.

 

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Pengumuman suku bunga kredit China untuk tenor 1 tahun dan 5 tahun periode Juli 2025

  • Lelang US Treasury tenor 3 bulan dan 6 bulan

  • Seremoni peluncuran Koperasi Desa Merah Putih bertempat di KDMP Bentangan, Klaten, Jawa Tengah.

    Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia menggelar aksi unjuk rasa terkait air bersih di kantor Gubernur DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat.

  • Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat.

  • Seremoni dilanjutkan konferensi pers kerja sama antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Pendopo Kementerian PU, Jakarta Selatan.

  • Konferensi pers SKK Migas terkait kinerja hulu migas di kantor SKK Migas, Jakarta Selatan.

  • Diskusi Publik INDEF "Tarif Amerika Turun, Indonesia Bakal Untung?" di kantor INDEF, Jalan Batu Merah Nomor 45, Pejaten Timur, Jakarta Selatan.

  • Ngobrolin Buku bareng Wamenkomdigi Nezar Patria: "Neksus - Riwayat Jejaring Informasi, dari Jaman Batu ke Akal Imitasi" yang akan dilaksanakan di Perpustakaan Kementerian Komdigi, Jakarta Pusat.

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • Hari terakhir exercise waran BBRI di harga Rp3500 dan BMRI di Rp4.550

 

Berikut untuk indikator ekonomi RI :

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular