Nikel RI Terus Disudutkan, Siapa Sebenarnya yang Ketakutan?

mae, CNBC Indonesia
11 July 2025 15:05
Area penambangan biji nikel PT Vale Indonesia (Persero) Tbk (INCO) Area Hasan Koro tempat stock pile limonite, IGP Sorowako Limonite, Blok Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Foto: (CNBC Indonesia/Romys Binekasri)

Perbandingan Harga Nikel RI vs Australia

Jenis nikel yang berbeda hingga perbedaan upah tenaga kerja membuat biaya per ton nikel Australia diperkirakan 28% lebih tinggi daripada di Indonesia. Sementara harga nikel turun global, biaya produksi di Australia justru naik 49% sejak 2019 karena kenaikan upah

Analis dari Benchmark Mineral Intelligence, Harry Fisher, mempublikasikan sebuah slide pada bulan Januari yang menunjukkan bahwa biaya produksi per ton di sektor nikel Indonesia berkisar antara US$5.000 hingga US$15.000 per ton.

Sebagai perbandingan, divisi nikel perusahaan raksasa Australia yakni Broken Hill Proprietary (BHP) mengalami kerugian hampir US$200 juta selama enam bulan terakhir ketika mereka menerima harga nikel rata-rata sebesar US$18.600 per ton. Pada 2022-2023, divisi nikel BHP hanya memperoleh keuntungan tipis ketika harga nikel sekitar US$24.000 per ton.

Biaya per unit selalu berubah, tergantung pada harga bahan bakar, volume produksi, dan tren tenaga kerja. Namun, harga impas (breakeven) BHP saat ini diperkirakan sekitar US$22.000 per ton, jauh di atas kisaran US$5.000 hingga US$15.000 yang diperkirakan oleh Fisher untuk industri nikel Indonesia.

Bahkan jika ditambahkan beban karbon maksimal sebesar US$5.016 per ton kepada produsen nikel Indonesia dengan biaya tertinggi, biaya per unitnya masih sekitar US$20.016, yang masih kompetitif.

Adu Kekuatan Geopolitik dan Diplomasi Nikel

Sejak 2014, Indonesia melarang ekspor nikel mentah demi mendorong hilirisasi industri dan menciptakan nilai tambah di dalam negeri. Langkah ini memicu gugatan dari Uni Eropa ke WTO, namun Indonesia beralasan kebijakan tersebut melindungi kepentingan nasional dan mengoreksi ketimpangan dalam aturan perdagangan global.

Selain kebijakan larangan ekspor, dukungan investasi langsung dari China serta pembiayaan konsesional juga membantu Indonesia mengokohkan posisinya sebagai produsen nikel olahan terbesar di dunia.

Investasi besar dari China, termasuk di Kawasan Industri Morowali dan pembangunan PLTU batu bara lewat skema Belt and Road Initiative (BRI), mempercepat pengembangan industri nikel olahan. Kini, Indonesia menjadi produsen nikel olahan terbesar dunia dan mulai menarik minat produsen baterai EV seperti BASF, Eramet, Hyundai, dan LG.

Selain kebijakan industry, nasib komoditas seperti nikel dan seluruh mineral kritis lainnya sangat terkait dengan strategi geopolitik dan keamanan yang saling bersilangan antara negara dan korporasi multinasional.

Nikel Indonesia dinilai sebagai contoh sukses dari kebijakan hilirisasi (down-streaming). Melalui serangkaian larangan ekspor yang disertai dengan investasi China dalam pembangunan smelter.

Sebaliknya, Australia masih memiliki keunggulan penting dibandingkan pesaing, yaitu kelayakan nikel Australia untuk memasok produsen di Amerika Utara yang menerima subsidi dari pemerintah AS.

Inflation Reduction Act (IRA) Amerika memberikan subsidi sebesar US$7.500 untuk setiap kendaraan listrik yang diproduksi di Amerika Utara, selama mineral kritis yang digunakan berasal dari negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS dan tidak dikendalikan oleh "entitas asing yang menjadi perhatian" (foreign entity of concern / FEOC). Australia memiliki FTA dengan AS, sementara Indonesia belum.

Agar produk nikel Indonesia bisa masuk ke rantai pasok kendaraan listrik yang sesuai dengan ketentuan IRA AS, pemerintah Indonesia harus menandatangani FTA terbatas dengan AS. Itupun hanya proyek-proyek dengan kepemilikan China di bawah 25% yang bisa memenuhi syarat-yang saat ini belum ada. Meskipun secara hipotetis mungkin terjadi dalam jangka panjang.

 

Untuk nikel, Australia harus fokus menjual produk premium ke rantai pasok Amerika Utara dan Uni Eropa, serta mendorong harga global yang lebih berkelanjutan sambil memperbaiki standar sosial dan lingkungan di wilayah tambang demi menjaga legitimasi sosial dan keberlanjutan jangka panjang.

Sementara di Indonesia, banyak dari perusahaan nikel kemudian memperbaiki penerapan ESG nya. Salah satunya adalah dengan mengikuti audit IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance) yang menjadi standar global.

Sebagai catatan, IRMA merupakan standar internasional sukarela yang dirancang untuk menilai dan memverifikasi praktik pertambangan yang bertanggung jawab. IRMA fokus pada keberlanjutan, hak asasi manusia, dan dampak lingkungan di sektor pertambangan bahan tambang industri, termasuk nikel, emas, tembaga, litium, dan lainnya.

Nurseri dan Reklamasi pasca tambang Harita Nikel, di Obi, Halmahera Selatan. (CNBC Indonesia/Pratama Guitarra)Foto: Nurseri dan Reklamasi pasca tambang Harita Nikel, di Obi, Halmahera Selatan. (CNBC Indonesia/Pratama Guitarra)
Nurseri dan Reklamasi pasca tambang Harita Nikel, di Obi, Halmahera Selatan. (CNBC Indonesia/Pratama Guitarra)

 

Harita sudah mengikuti audit IRMA secara sukarela pada 2024.  PT Vale Indonesia juga sudah resmi mendaftarkan situs Sorowako untuk diaudit secara independen sesuai IRMA.

Langkah mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan standar internasional seperti HPAL dan IRMA merupakan bukti jika perusahaan Indonesia terus bergerak menuju bisnis yang berkelanjutan.
Bila Dunia Barat terus menuding dan menutup mata terhadap transformasi nyata di lapangan, mungkin yang mereka takutkan bukan polusi tetapi dominasi dari Indonesia.

 

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

 

(mae/mae)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular