Nikel RI Terus Disudutkan, Siapa Sebenarnya yang Ketakutan?

mae, CNBC Indonesia
11 July 2025 15:05
Ilustrasi Nikel.
Foto: Ilustrasi Nikel. (Dok. Freepik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Hilirisasi nikel Indonesia terus dirongrong oleh beragam tudingan negatif dari negara lain.

Uni Eropa dan Australia merupakan berapa negara yang melayangkan sejumlah kritikan terhadap kebijakan hilirisasi Indonesia.

Uni Eropa menentang keras keputusan Indonesia untuk melarang ekspor bijih nikel mentah sejak Januari 2020. Mereka kemudian membawanya ke Badan Perdagangan Dunia (WTO).

Uni Eropa keberatan atas kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel (kadar <1,7%) dan persyaratan domestic processing requirement yang mewajibkan nikel diproses di dalam negeri sebelum diekspor. Kebijakan hilirisasi dalam negeri juga dianggap menghambat perdagangan bebas.

Sementara itu, Australia menyebut bahwa dukungan besar-besaran dari China ke industri nikel Indonesia baik dalam bentuk investasi maupun pembiayaan proyek (seperti PLTU dan smelter) merupakan bentuk distorsi pasar yang tidak adil.

Persoalan lingkungan juga menjadi salah satu isu paling kencang yang ditudingkan Australia. Nikel Indonesia dituding diproduksi dengan cara tidak ramah lingkungan, karena sangat bergantung pada PLTU batu bara untuk mendukung operasional smelter.

Dalam wawancaranya kepada Financial Times pada April 2024,pengusaha tambang raksasa asal Australia, Andrew Forrest, menyerukan kepada China agar menuntut standar lingkungan yang lebih tinggi dari rantai pasokan globalnya, khususnya terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan pemrosesan nikel di Indonesia.

Forrest yang merupakan ketua Fortescue Metals Group mengatakan bahwa produsen kendaraan listrik sebaiknya waspada terhadap nikel asal Indonesia, seraya menambahkan bahwa nikel tersebut diekstraksi dengan dampak lingkungan yang sangat besar.

"China perlu menerapkan standar lingkungannya sendiri terhadap rantai pasokan globalnya," kata Forrest seperti dikutip oleh surat kabar Financial Times.

Menteri Sumber Daya Australia, Madeleine King bahkan mendesak bursaLondon Metal Exchange (LME) untuk memisahkan daftar nikel "kotor" (dari batu bara) dan nikel "hijau" (ramah lingkungan). Tujuannya agar nikel Australia yang dipromosikan lebih "hijau' bisa dijual dengan harga premium. 

Banyaknya kampanye negatif ini tentu saja membuat pemerintah gerah. Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2024 lalu tetap menegaskan jika Indonesia akan melanjutkan hilirisasi meski banyak pihak asing yang tidak suka.

"Ada pihak-pihak yang selalu pesimistis atau sengaja tidak suka Indonesia bangkit, [padahal] itu semua swasembada pangan, energi, dan hilirisasi adalah salah satu tugas di depan kita untuk menyelamatkan anak-anak kita," tegas Prabowo dalam acara BNI Investor Daily Summit 2024, Rabu (9/10/2024).

Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, dengan cadangan sekitar 55 juta metrik ton. Pada 2023, Indonesia menyumbang 53,1% dari pasokan nikel global, dan diperkirakan mencapai 2,1 juta metrik ton pada akhir 2024.


Hilirisasi nikel Indonesia yang dimulai pada 2014 membuat Indonesia dengan cepat muncul sebagai kekuatan baru dalam produksi nikel global.

Nikel menjadi salah satu mineral yang paling dicari saat ini. Selain menopang industri stainless-steel, nikel merupakan komponen penting dalam baterai lithium-ion, dan seiring transisi ekonomi global menuju energi bersih.
Peran besar nikel inilah yang membuat pertarungan memperebutkan penguasa industri ini sengit. Indonesia dan Australia ada dalam pihak yang saling berhadapan.

Nikel Indonesia lebih murah karena biaya tenaga kerja dan energi yang lebih rendah dibandingkan Australia.

Selain tenaga kerja, jenis nikel Indonesia dan Australia juga membuat perbedaan harga.

Indonesia memiliki cadangan nikel laterit terbesar di dunia, terutama di Sulawesi dan Maluku. Sebaliknya, Australia dominan di nikel sulfida, yang lebih langka dan cenderung lebih mahal untuk ditemukan dan ditambang.

Seperti diketahui, sumber daya nikel tersebar luas di seluruh dunia, namun umumnya terbagi menjadi dua jenis utama yakni nikel sulfida dan nikel laterit (oksida).

Indonesia adalah produsen dan eksportir nikel terbesar di dunia, terutama dari jenis laterit (saprolit dan limonit), yang banyak digunakan dalam produksi stainless steel dan baterai EV.

Sekitar 60% dari sumber daya nikel yang diketahui di dunia adalah laterit, sisanya 40% merupakan cadangan sulfida.

Nikel laterit umumnya ditemukan di Filipina, Indonesia, dan Kaledonia Baru. Nikel sulfida umumnya ditemukan di daerah beriklim sedang hingga sub-Arktik, seperti Kanada dan Australia.

Produksi nikel dari bijih sulfida menawarkan waktu pemrosesan yang cepat, kandungan nikel yang tinggi dalam badan bijih, dan unggul dalam aspek ESG karena kebutuhan energi yang lebih rendah.

Nikel dari sulfida umumnya berkadar tinggi, membutuhkan belanja modal (capex) yang lebih rendah untuk memulai produksi, tapi juga sangat sulit ditemukan.

Sementara itu, nikel laterit memang besar dan tahan lama membutuhkan modal awal yang sangat besar di awal.

Keunggulan utama dari bijih sulfida adalah dapat dikonsentrasikan dengan teknik flotasi yang cukup sederhana.

Tidak ada teknik serupa untuk laterit. Batuannya harus dilelehkan atau dilarutkan sepenuhnya untuk mengekstraksi nikel.

Karena itu, proyek laterit memerlukan skala ekonomi besar dan investasi modal tinggi agar layak secara komersial. Biaya operasionalnya pun umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan operasi sulfida.

Dalam pengolahan laterit, digunakan metode counter-current decantation untuk memisahkan padatan dan cairan. Proses pemurnian larutan nikel/kobalt dilakukan melalui solvent extraction dan electrowinning.

Pabrik High-Pressure Acid Leaching (HPAL) yang mengolah bijih laterit membutuhkan investasi jauh lebih besar dibandingkan proyek sulfida seringkali menghadapi tantangan biaya dan teknis yang signifikan.

Deposit laterit mendominasi lanskap nikel Indonesia. Namun, laterit sangat sulit untuk dimodelkan dan ditambang. Biasanya ditemukan di lingkungan tropis seperti Sulawesi, Halmahera, dan Papua Nugini, laterit terbentuk melalui pelapukan kimiawi batuan ultrabasa dalam waktu yang sangat lama.

Ekstraksinya pun tak kalah rumit dari eksplorasinya. Banyak wilayah kaya nikel berada di daerah terpencil atau belum berkembang, sehingga memerlukan investasi besar dalam infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan fasilitas pengolahan. 

Peta persebaran laterit dan sulfidaFoto: Istimewa
Peta persebaran laterit dan sulfida

Sejumlah perusahaan Indonesia kemudian memilih untuk mengintegrasikan lokasi tambang dengan smelter hingga pengolahan pasca tambang dalam satu tempat yang terintegrasi. Langkah ini akan membuat produksi lebih efisien. Contohnya adalah PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau dikenal sebagai Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Bila HPAL banyak digunakan untuk baterai EV, pengembangan hilirisasi nikel untuk stainless steel banyak memakai teknologi Teknologi RKEF (Rotary Kiln-Electric Furnace).

RKEF adalah salah satu metode paling umum yang digunakan untuk mengolah bijih nikel laterit menjadi feronikel (FeNi). Teknologi ini banyak digunakan dalam proyek-proyek smelter nikel Indonesia.

Dalam proses RKEF, bijih nikel laterit yang telah dihancurkan dikeringkan dan dipanaskan di dalam tanur putar (rotary kiln). Proses ini menghilangkan kelembaban dan memulai reduksi sebagian oksida logam.

Material panas dari rotary kiln kemudian dimasukkan ke tungku listrik (electric furnace). Bijih dilebur kemudian pada suhu sangat tinggi (sekitar 1.600°C), menggunakan energi listrik.

Unsur nikel dan besi menyatu membentuk feronikel cair, sedangkan sisanya menjadi slag (terak).

Teknologi RKEF memiliki keunggulan berupa biaya operasional relatif stabil, terutama jika listrik murah tersedia. Kapasitasnya besar dan cocok untuk proyek skala besar.

Banyak smelter di kawasan Sulawesi, Halmahera, dan Maluku Utara memakai teknologi RKEF. Perusahaan besar seperti Tsingshan, Virtue Dragon, dan Harita Nickel (untuk proyek feronikel, bukan HPAL-nya) memakai atau pernah memakai teknologi ini.

 Produksi nikel primer dibagi menjadi dua kelas yakni kelas rendah atau Class II digunakan untuk baja tahan karat dan banyak ditemukan di Indonesia.

Kelas lainnya adalah kelas tinggi atau Class I digunakan dalam baterai dan terdapat di Kanada serta Australia.

Meski Indonesia memiliki cadangan nikel kelas rendah yang melimpah, investasi memungkinkan produsen menerapkan teknologi canggih untuk meningkatkan kualitas nikel agar cocok untuk baterai, misalnya melalui metode high-pressure acid leaching (HPAL). Ini membuat nikel Indonesia dapat bersaing secara langsung dengan negara lain.

Investasi memungkinkan penggunaan teknologi HPAL untuk menaikkan kualitas hingga bisa digunakan untuk baterai EV (Class I).

Perusahaan-perusahaan yang sudah menerapkan teknologi HPAL di antaranya adalah Harita Nickel, PT Huayue Nickel Cobalt, PT Youshan Nickel Indonesia, dan PT QMB New Energy Materials.

Fasilitas HPAL memungkinkan limonit atau laterit nikel dengan kadar nikel rendah dulunya tidak terpakai kini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan material utama bagi baterai berbasis nikel untuk kendaraan listrik. 

Teknologi HPAL digunakan untuk mengolah bijih nikel laterit kadar rendah (limonit) menjadi produk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). MHP merupakan bahan antara (intermediate product) yang mengandung nikel dan kobalt, dan dapat digunakan lebih lanjut untuk produksi baterai kendaraan listrik (EV battery).

Proses RKEF dan HPAL nikelFoto: Istimewa
Proses RKEF dan HPAL nikel

 

Inovasi teknologi perusahaan Tanah Air menjadikan nikel Indonesia semakin dicari dalam pasar baterai EV yang berkembang pesat dan  saingan langsung bagi nikel Australia dan Kanada.

Indonesia kini tidak hanya mengekspor feronikel ke China, tetapi juga telah meningkatkan produksi nikel matte, yaitu nikel berkualitas tinggi yang digunakan untuk baterai.

Kemitraan strategis dengan pemain global seperti LG Energy dan produsen baterai China CATL memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok baterai dunia. 

Kolaborasi ini tidak hanya mendorong investasi di sektor pengolahan nikel, tetapi juga menempatkan Indonesia sebagai kontributor penting dalam transisi energi hijau global.

Perbandingan Harga Nikel RI vs Australia

Jenis nikel yang berbeda hingga perbedaan upah tenaga kerja membuat biaya per ton nikel Australia diperkirakan 28% lebih tinggi daripada di Indonesia. Sementara harga nikel turun global, biaya produksi di Australia justru naik 49% sejak 2019 karena kenaikan upah

Analis dari Benchmark Mineral Intelligence, Harry Fisher, mempublikasikan sebuah slide pada bulan Januari yang menunjukkan bahwa biaya produksi per ton di sektor nikel Indonesia berkisar antara US$5.000 hingga US$15.000 per ton.

Sebagai perbandingan, divisi nikel perusahaan raksasa Australia yakni Broken Hill Proprietary (BHP) mengalami kerugian hampir US$200 juta selama enam bulan terakhir ketika mereka menerima harga nikel rata-rata sebesar US$18.600 per ton. Pada 2022-2023, divisi nikel BHP hanya memperoleh keuntungan tipis ketika harga nikel sekitar US$24.000 per ton.

Biaya per unit selalu berubah, tergantung pada harga bahan bakar, volume produksi, dan tren tenaga kerja. Namun, harga impas (breakeven) BHP saat ini diperkirakan sekitar US$22.000 per ton, jauh di atas kisaran US$5.000 hingga US$15.000 yang diperkirakan oleh Fisher untuk industri nikel Indonesia.

Bahkan jika ditambahkan beban karbon maksimal sebesar US$5.016 per ton kepada produsen nikel Indonesia dengan biaya tertinggi, biaya per unitnya masih sekitar US$20.016, yang masih kompetitif.

Adu Kekuatan Geopolitik dan Diplomasi Nikel

Sejak 2014, Indonesia melarang ekspor nikel mentah demi mendorong hilirisasi industri dan menciptakan nilai tambah di dalam negeri. Langkah ini memicu gugatan dari Uni Eropa ke WTO, namun Indonesia beralasan kebijakan tersebut melindungi kepentingan nasional dan mengoreksi ketimpangan dalam aturan perdagangan global.

Selain kebijakan larangan ekspor, dukungan investasi langsung dari China serta pembiayaan konsesional juga membantu Indonesia mengokohkan posisinya sebagai produsen nikel olahan terbesar di dunia.

Investasi besar dari China, termasuk di Kawasan Industri Morowali dan pembangunan PLTU batu bara lewat skema Belt and Road Initiative (BRI), mempercepat pengembangan industri nikel olahan. Kini, Indonesia menjadi produsen nikel olahan terbesar dunia dan mulai menarik minat produsen baterai EV seperti BASF, Eramet, Hyundai, dan LG.

Selain kebijakan industry, nasib komoditas seperti nikel dan seluruh mineral kritis lainnya sangat terkait dengan strategi geopolitik dan keamanan yang saling bersilangan antara negara dan korporasi multinasional.

Nikel Indonesia dinilai sebagai contoh sukses dari kebijakan hilirisasi (down-streaming). Melalui serangkaian larangan ekspor yang disertai dengan investasi China dalam pembangunan smelter.

Sebaliknya, Australia masih memiliki keunggulan penting dibandingkan pesaing, yaitu kelayakan nikel Australia untuk memasok produsen di Amerika Utara yang menerima subsidi dari pemerintah AS.

Inflation Reduction Act (IRA) Amerika memberikan subsidi sebesar US$7.500 untuk setiap kendaraan listrik yang diproduksi di Amerika Utara, selama mineral kritis yang digunakan berasal dari negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS dan tidak dikendalikan oleh "entitas asing yang menjadi perhatian" (foreign entity of concern / FEOC). Australia memiliki FTA dengan AS, sementara Indonesia belum.

Agar produk nikel Indonesia bisa masuk ke rantai pasok kendaraan listrik yang sesuai dengan ketentuan IRA AS, pemerintah Indonesia harus menandatangani FTA terbatas dengan AS. Itupun hanya proyek-proyek dengan kepemilikan China di bawah 25% yang bisa memenuhi syarat-yang saat ini belum ada. Meskipun secara hipotetis mungkin terjadi dalam jangka panjang.

 

Untuk nikel, Australia harus fokus menjual produk premium ke rantai pasok Amerika Utara dan Uni Eropa, serta mendorong harga global yang lebih berkelanjutan sambil memperbaiki standar sosial dan lingkungan di wilayah tambang demi menjaga legitimasi sosial dan keberlanjutan jangka panjang.

Sementara di Indonesia, banyak dari perusahaan nikel kemudian memperbaiki penerapan ESG nya. Salah satunya adalah dengan mengikuti audit IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance) yang menjadi standar global.

Sebagai catatan, IRMA merupakan standar internasional sukarela yang dirancang untuk menilai dan memverifikasi praktik pertambangan yang bertanggung jawab. IRMA fokus pada keberlanjutan, hak asasi manusia, dan dampak lingkungan di sektor pertambangan bahan tambang industri, termasuk nikel, emas, tembaga, litium, dan lainnya.

Nurseri dan Reklamasi pasca tambang Harita Nikel, di Obi, Halmahera Selatan. (CNBC Indonesia/Pratama Guitarra)Foto: Nurseri dan Reklamasi pasca tambang Harita Nikel, di Obi, Halmahera Selatan. (CNBC Indonesia/Pratama Guitarra)
Nurseri dan Reklamasi pasca tambang Harita Nikel, di Obi, Halmahera Selatan. (CNBC Indonesia/Pratama Guitarra)

 

Harita sudah mengikuti audit IRMA secara sukarela pada 2024.  PT Vale Indonesia juga sudah resmi mendaftarkan situs Sorowako untuk diaudit secara independen sesuai IRMA.

Langkah mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan standar internasional seperti HPAL dan IRMA merupakan bukti jika perusahaan Indonesia terus bergerak menuju bisnis yang berkelanjutan.
Bila Dunia Barat terus menuding dan menutup mata terhadap transformasi nyata di lapangan, mungkin yang mereka takutkan bukan polusi tetapi dominasi dari Indonesia.

 

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular