
Putin Dibuat Pusing dengan Batu bara, Berharap dari China pun Tak Bisa

Jakarta, CNBC Indonesia- Rusia tengah dipusingkan dengan sanksi ekspor, melemahnya harga batu bara serta proyeksi melandainya permintaan pasir hitam ke depan.
Sektor batu bara Rusia berada di ujung krisis terdalam sejak dekade 1990-an. Presiden Rusia, Vladimir Putin, pun mengeluarkan sejumlah kebijakan luar biasa untuk menolong produsen batu bara.
Salah satu raksasa tambang Rusia, Mechel, menjadi produsen pertama yang mendapat bantuan pemerintah dalam upaya penyelamatan industri yang tengah terhimpit sanksi global dan jatuhnya permintaan ekspor akibat perang berkepanjangan di Ukraina.
Mechel mengumumkan telah memperoleh penangguhan pembayaran pajak dan jaminan sosial selama tiga tahun, dengan nilai total 13 miliar rubel atau sekitar US$ 166 juta.
Tak hanya itu, perusahaan juga akan menikmati penghematan tambahan 500 juta rubel per bulan berkat kebijakan nasional seperti penangguhan pajak ekstraksi mineral dan iuran asuransi sosial. Meski demikian, CEO Mechel Oleg Korzhov menyebut perusahaan bakal memangkas volume pengiriman batu bara sebesar 25% pada 2025 dibandingkan tahun lalu.
Bagi Rusia, batu bara memang bukan kontributor utama Produk Domestik Bruto (PDB)-tertinggal jauh dari sektor minyak dan gas. Namun, industri ini menopang ratusan ribu pekerja di kota-kota tunggal industri (mono-industrial towns) di Siberia dan Ural.
Ketika tambang seperti Spiridonovskaya di Kemerovo terpaksa menghentikan operasi karena kekurangan pembiayaan, sinyal darurat pun menyala.
Menurut Isaac Levi dari Centre of Research on Energy and Clean Air (CREA), dukungan negara kini menjadi satu-satunya cara bagi perusahaan batu bara Rusia agar tak gulung tikar.
"Dengan harga global yang rendah, penguatan rubel, serta sanksi yang membatasi pasar dan logistik, menjual batu bara dengan nilai tukar saat ini adalah bisnis yang nyaris merugi," katanya kepada Newsweek.
Kondisi ini turut diperparah oleh penurunan permintaan dari China, yang sebelumnya menjadi salah satu pasar utama batu bara Rusia. Anjloknya produksi baja di Negeri Tirai Bambu turut menyeret harga batu bara dunia.
Sementara itu, India belum mampu menutup kekosongan pasar yang ditinggalkan oleh Eropa setelah sanksi impor batu bara Rusia diberlakukan sejak 2022.
Data Badan Energi Internasional (EIA) memperkirakan ekspor batu bara Rusia akan terus jatuh dari kisaran 211 juta ton pada 2023 menjadi 178 juta ton pada 2027.
Pukulan tak berhenti di sektor energi. PMI (Purchasing Managers' Index) manufaktur Rusia untuk Juni 2025 anjlok ke 47,5, turun dari 50,2 bulan sebelumnya. Angka di bawah 50 mengindikasikan kontraksi aktivitas bisnis. Beberapa pejabat tinggi Rusia bahkan mengakui krisis tengah menjalar.
Gubernur Bank Sentral Elvira Nabiullina menyebut kondisi untuk tumbuh "telah habis," sementara Menteri Ekonomi Maxim Reshetnikov memperingatkan bahwa Rusia kini berada di "ambang resesi."
Dalam skenario ini, masa depan industri batu bara Rusia bergantung pada dua hal, pemulihan permintaan dari China dan pelonggaran tekanan moneter dalam negeri. Jika suku bunga acuan Rusia turun, nilai tukar dolar naik, dan biaya produksi menurun, barulah tekanan terhadap sektor bisa mereda.
Presiden Rusia Vladimir Putin, di Mei 2025, menyetujui serangkaian langkah Mei untuk mendukung industri batu bara Rusia, termasuk subsidi untuk transportasi dan ekspor. Langkah ini diharapkan bisa mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh menyusutnya permintaan global, transisi ke energi terbarukan, dan sanksi ekonomi.
Langkah tersebut di antaranya:
1. Diskon 12,8% dari Russian Railways (RZD) untuk pengiriman batu bara ekspor ke pelabuhan barat dan selatan, berlaku mulai 1 Mei hingga 31 Desember 2025.
2.Penerapan kembali koefisien pengurangan tarif:
Koefisien 0,4 untuk pengangkutan batu bara lebih dari 3.300 km.
Koefisien 0,895 untuk pengiriman ekspor.
Kedua rasio ini sebelumnya berlaku hingga Juni 2022.
3. Subsidi dari anggaran federal akan dialokasikan ke Russian Railways (RZD) untuk menutup kekurangan pendapatan akibat diskon tarif.
4. Kesepakatan antara RZD dan perusahaan batu bara di Khakassia untuk menjamin volume ekspor batu bara ke arah timur pada tahun 2025.
5. Pembentukan instrumen pendanaan berbasis VEB.RF untuk restrukturisasi, rehabilitasi, dan penyelamatan perusahaan batu bara yang bermasalah.
6. Beberapa perusahaan dapat menerima penangguhan pembayaran pajak dan premi asuransi.
7. Usulan untuk memulai negosiasi internasional agar bea masuk atas batu bara Rusia ke China dan India dihapuskan.
China Ikut Menekan
Lebih dari separuh perusahaan batu bara di Rusia kini tidak lagi menghasilkan keuntungan, dan wilayah-wilayah seperti Kemerovo dan Khakassia mengalami penutupan tambang, pemogokan, serta pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini mengancam ekonomi lokal dan mendorong para pemimpin politik setempat untuk mencari dukungan darurat.
Ketergantungan Moskow pada subsidi, peralihan ekspor, dan kontrol negara mengabaikan penyusutan pasar, hambatan infrastruktur, serta pergeseran preferensi pembeli. Kepentingan politik domestik dan tekanan dari kelompok pelobi terus mendorong kebijakan ekspansi yang tidak akan efektif dalam jangka panjang.
Pada 7 Mei 2025, Presiden Putin menyetujui serangkaian langkah untuk membantu industri batu bara Rusia yang sedang sakit, termasuk subsidi untuk transportasi batu bara dan jaminan ekspor. Namun, langkah-langkah ini diperkirakan tidak akan cukup untuk menyelamatkan industri yang semakin tidak menguntungkan.
Terlebih, sifat struktural krisis yang didorong oleh sanksi ekonomi dan penurunan konsumsi batu bara global. Kremlin mengabaikan penyebab utama penurunan industri ini dan memilih untuk menopangnya secara artifisial melalui subsidi negara.
Uni Eropa dan China, dua pelanggan batu bara terbesar Rusia, telah lama menjalankan kebijakan untuk mengurangi konsumsi batu bara bahkan sebelum invasi penuh Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.
Produsen batu bara Rusia tidak menanggapi perubahan kebijakan ini secara serius, apalagi karena keuntungan tak terduga yang diperoleh industri ini pada 2022-2023 akibat krisis energi global.
Namun pada 2024, tantangan nyata mulai terlihat. Industri ini mengalami kerugian bersih sebesar 112,6 miliar rubel (US$sekitar 1,4 miliar), berbanding terbalik dengan laba bersih sebesar 374,7 miliar rubel (sekitar US$4,8 miliar pada 2023.
Persentase perusahaan batu bara yang merugi meningkat dari 31,5% pada 2023 menjadi 53,3% pada 2024. Menurut Kementerian Energi Rusia, 27 perusahaan batu bara berada di ambang kebangkrutan, dan 62 perusahaan mengalami kerugian bersih "di atas rata-rata".
Dua wilayah Rusia dengan populasi non-etnis Rusia yang signifikan terkena dampak paling parah. Di wilayah Kuzbass, Kemerovo, 57% perusahaan batu bara tidak lagi menghasilkan keuntungan, menyebabkan penutupan tambang, gaji yang tidak dibayarkan, dan PHK.
Pada Oktober 2024, para penambang batu bara di tambang Inskaya melakukan protes atas gaji yang belum dibayar, menggunakan taktik seperti mogok kerja dan mogok makan mirip dengan protes era akhir Uni Soviet.
Di Republik Khakassia, lebih dari 13.000 orang terlibat langsung dalam produksi batu bara, dan beberapa sektor pendukung sangat bergantung pada tambang batu bara. Pemerintah daerah telah menyatakan kekhawatiran mendalam dan mengambil langkah untuk menstabilkan industri ini.
Berbagai kelompok dalam struktur kekuasaan Rusia telah mengusulkan solusi. Rencana Kementerian Energi mencakup subsidi langsung sebesar US$2,3 miliar, yang ditujukan untuk:
- mengurangi biaya transportasi laut hingga 1,5-2 kali lipat,
- menjaga tarif kereta api ke arah timur tetap di bawah level 2024,
- menekan tarif logistik,
- serta memberi subsidi investasi bagi perusahaan tambang batu bara.
Instansi pemerintah seperti Kementerian Ekonomi, Kementerian Transportasi, dan Dinas Pajak Federal, bersama para ahli, menyusun tiga langkah utama untuk membantu industri ini. Di antaranya reorientasi ekspor batu bara. Para ahli menyarankan agar ekspor dialihkan ke Serbia, Turki, Timur Tengah, dan Afrika Utara, yang dianggap lebih potensial dibanding pasar Asia yang terlalu kompetitif.
Langkah lainnya adalah pengelolaan langsung perusahaan tambang yang bangkrut oleh entitas milik negara seperti VEB.RF (bank pembangunan dan investasi milik negara).
Kebijakan lain adalah pembatasan izin tambang baru, terutama di wilayah yang jauh dari pasar ekspor utama.
Namun, solusi tersebut tetap bergantung pada subsidi berkelanjutan dan tidak menyentuh akar persoalan. Pasalnya, permintaan batu bara global menurun drastis, baik di negara maju maupun berkembang, karena pergeseran ke energi terbarukan dan gas alam cair (LNG).
Harga batu bara anjlok, membuat marjin keuntungan menyempit dan bisnis tambang tidak lagi layak secara ekonomi.
Kebijakan negara lain juga ikut menekan batu bara. China, India, dan Turki menerapkan tarif dan regulasi protektif terhadap batu bara asing. Khusus untuk Rusia, China menerapkan tarif 3-6% pada 2023, sementara batu bara dari negara lain tidak dikenai tarif serupa.
Ekspor batu bara Rusia ke China memang naik pada tahun ini. Namun, angkanya masih bisa berubah ke depan.
Dikutip dari Reuters dengan mengutip media Rusia Kommersant, eksportir batu bara Rusia berhasil memperluas pangsa pasar mereka di China seiring menurunnya kontrak pasokan dari Indonesia.
Sementara volume pengapalan dan harga batu bara anjlok, prospek ekspor ke China dan India tetap suram. bne IntelliNews sebelumnya telah mengulas secara rinci bagaimana para penambang dan eksportir batu bara Rusia beroperasi dengan margin nol atau bahkan negatif.
Namun, ekspor batu bara Rusia ke China naik 2% secara tahunan pada Januari-April 2025, memanfaatkan penurunan pengiriman dari Indonesia sebesar 10%.
Meski total impor batu bara China turun 11% menjadi 153 juta ton, Rusia, Australia, dan Mongolia secara kolektif merebut sebagian pangsa pasar yang hilang dari Indonesia.
Masalah infrastruktur dan logistik juga menghambat pengiriman batu bara Rusia ke luar negeri. Ekspor ke China meningkat pesat antara 2022-2023, menyebabkan kemacetan di jalur timur.
Masalah ini berlanjut hingga 2025, dan pihak berwenang harus memilih prioritas pengangkutan. Menurut Russian Railways (RZD), mengangkut bahan bakar lain lebih menguntungkan 1,8 kali lipat dibanding batu bara. Kuota angkutan batu bara ke timur bahkan diperkirakan menyebabkan kerugian sebesar 200 miliar rubel US$2,5 miliar) bagi RZD pada 2025.
Sanksi ekonomi Barat juga memperparah kondisi. Meski embargo UE terhadap batu bara Rusia berdampak terbatas, sanksi sekunder AS dan Barat membuat banyak bank asing enggan bekerja sama dengan perusahaan Rusia.
Moskow belum menawarkan solusi yang menyentuh akar krisis. Sementara ekspor batu bara ke barat dan timur ambruk, Kremlin justru mendorong peningkatan produksi di Republik Sakha dan wilayah Primorsky, padahal gudang penyimpanan batu bara sudah penuh. Para ahli menyebut ini sebagai hasil dari politik internal dan lobi elit, termasuk dari Sergey Tsivilyov , mantan gubernur Kemerovo, kini Menteri Energi dan anggota elite Partai Rusia Bersatu.
Tsivilyov, bersama gubernur wilayah penghasil batu bara, terus menekan RZD untuk menurunkan tarif logistik batu bara.
Dalam jangka pendek, negara kemungkinan besar akan meredam dampak ekonomi lewat subsidi, bantuan sosial, dan perekrutan militer. Namun dalam jangka panjang, belum jelas bagaimana Moskow akan menangani kebangkrutan massal dan potensi kehancuran total industri batu bara nasional.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)