Newsletter

Trump Beri Kabar Gembira: Wall Street Pesta, IHSG-Rupiah Bisa Terbang?

Revo M, CNBC Indonesia
10 April 2025 05:57
Donald Trump dengan Saham & Dolar
Foto: Donald Trump dengan Saham & Dolar/ Aristya Rahadian

Sentimen penggerak pasar keuangan domestik hari ini tampaknya masih datang dari eksternal khususnya perang dagang antara AS dengan China yang semakin bersitegang dan saling berbalas soal tarif impor yang dikenakan.

Di sisi lain, bank sentral AS (The Fed) juga telah menunjukkan hasil FFederal Open Market Committee (FOMC) Minutes yang berkeinginan untuk secara drastis memperlambat laju pengurangan neraca bulan lalu didukung oleh hampir semua peserta dalam pertemuan dua hari tersebut.

FOMC Minutes

Pada dini hari tadi, The Fed merilis hasil risalah yang berisi soal keputusan The Fed untuk secara drastis memperlambat laju pengurangan neraca bulan lalu.

Keputusan tersebut diambil setelah pemaparan dari manajer akun terbuka sistem The New York Fed, yang menjelaskan alasan untuk memperlambat pengurangan neraca di tengah ketidakpastian terkait seberapa cepat Kongres akan menaikkan plafon utang pemerintah federal.

"Manajer mencatat bahwa baik menghentikan sementara atau cukup memperlambat pengurangan neraca akan memberikan perlindungan yang berarti" terhadap kemungkinan cadangan bank sentral turun dengan cepat setelah masalah plafon utang terselesaikan.

Dalam pertemuan kebijakan pada 18-19 Maret tersebut, bank sentral menyatakan akan menurunkan batas maksimum pelepasan surat utang pemerintah AS dari sebelumnya US$25 miliar per bulan menjadi US$5 miliar mulai bulan ini, sementara tetap mempertahankan batas US$35 miliar untuk pelepasan obligasi hipotek yang selama ini sulit dipenuhi.

Perlambatan dalam apa yang disebut pengetatan kuantitatif (quantitative tightening/QT) ini sudah diperkirakan secara luas. Hampir berhentinya QT memungkinkan The Fed menghadapi periode ketidakpastian pasar uang akibat masalah pengelolaan kas pemerintah di tengah pembatasan hukum terhadap pinjaman pemerintah.

Perlambatan QT ini ditentang oleh Gubernur The Fed, Christopher Waller, yang kerap skeptis terhadap penggunaan kepemilikan surat berharga oleh The Fed sebagai alat kebijakan.

Tujuan The Fed dengan QT adalah menarik likuiditas dari sistem keuangan dalam jumlah yang cukup agar volatilitas suku bunga jangka pendek kembali normal dan untuk menjaga kendali ketat atas suku bunga federal funds-alat utama bank sentral dalam mempengaruhi perekonomian.

Para pejabat sedang mencari sinyal dari pasar mengenai seberapa banyak likuiditas yang bisa mereka tarik dengan aman tetapi karena Departemen Keuangan tengah bergulat dengan masalah plafon utang, sinyal-sinyal itu menjadi kabur.

Tanpa adanya isu plafon utang, kemungkinan besar The Fed akan melanjutkan QT secara penuh. Dalam pernyataannya bulan lalu setelah pertemuan FOMC, Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan bahwa indikasi pasar menunjukkan "jumlah cadangan masih melimpah."

Masalah batas utang ini, jika tidak ada tindakan cepat dari Kongres, kemungkinan akan terus berlangsung dalam waktu dekat.

Bulan lalu, Kantor Anggaran Kongres (Congressional Budget Office) mengatakan bahwa kemampuan pemerintah untuk mengelola kas tanpa menambah utang diperkirakan akan habis pada Agustus atau September.

Trump Tunda Tarif yang Lebih Tinggi Selama 90 Hari

Hal positif tampaknya akan terefleksi bagi pasar keuangan domestik usai Trump mengumumkan untuk menunda tarif yang lebih tinggi selama 90 hari untuk sebagian besar negara, sebuah pembalikan mengejutkan dalam perang dagangnya yang telah mengguncang pasar secara drastis.

Dalam sebuah unggahan di platform X sekitar pukul 13:30 waktu setempat, Trump menulis bahwa ia mengambil keputusan tersebut karena lebih dari 75 mitra dagang tidak melakukan pembalasan dan telah menghubungi AS untuk "membahas" beberapa isu yang telah ia angkat sebelumnya.

Namun, penundaan tersebut tidak berlaku untuk China, yang telah melakukan pembalasan-dengan menaikkan tarif hingga 84%. Sebaliknya, Trump justru menaikkan tarif untuk negara tersebut menjadi 125%, berlaku segera.

"Berdasarkan kurangnya rasa hormat yang ditunjukkan China terhadap Pasar Dunia, saya dengan ini menaikkan Tarif yang dikenakan kepada China oleh Amerika Serikat menjadi 125%, berlaku segera. Pada suatu titik, semoga dalam waktu dekat, China akan menyadari bahwa hari-hari menipu AS, dan negara-negara lain, tidak lagi dapat dipertahankan ataupun diterima." tulis Trump.

Namun, perang dagang ini belum sepenuhnya berakhir, dan penundaan tersebut tidak mengembalikan dunia ke situasi sebelum Trump memicu ketidakstabilan global; tarif 10% secara menyeluruh tetap diberlakukan.

Untuk Kanada dan Meksiko, barang-barang yang tercakup dalam perjanjian perdagangan AS-Kanada-Meksiko tetap bebas tarif, sementara produk yang tidak termasuk dalam kesepakatan tersebut akan dikenakan tarif 25%. Produk energi dan pupuk dari Kanada akan dikenakan tarif 10%.

Belum jelas negara mana saja yang termasuk dalam kebijakan penundaan ini; pihak Gedung Putih tidak memberikan keterangan. Sebelumnya pada Rabu, Uni Eropa telah memberikan suara untuk memberlakukan tarif balasan baru, namun tarif tersebut baru akan berlaku minggu depan.

Sementara itu, tarif terpisah untuk mobil, baja, dan aluminium impor akan tetap diberlakukan, kata Menteri Keuangan Scott Bessent kemudian. Sementara tarif yang direncanakan untuk produk seperti kayu dan obat-obatan masih akan diberlakukan.

Laju IHK China

Pada pagi hari ini, China akan merilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) yang sebelumnya tampak deflasi baik secara bulanan maupun tahunan.

Harga konsumen di China turun sebesar 0,7% secara tahunan (year-on-year) pada Februari 2025, melebihi perkiraan pasar yang memperkirakan penurunan sebesar 0,5% dan membalikkan kenaikan 0,5% yang terjadi pada bulan sebelumnya. Ini merupakan deflasi konsumen pertama sejak Januari 2024, di tengah melemahnya permintaan musiman setelah Festival Musim Semi yang berlangsung pada akhir Januari.

Secara bulanan, Indeks Harga Konsumen (CPI) turun 0,2%, berubah arah dari kenaikan tertinggi dalam 11 bulan sebesar 0,7% di bulan Januari dan menjadi penurunan pertama sejak November tahun lalu. Penurunan ini juga lebih dalam dari perkiraan konsensus yang memperkirakan penurunan hanya 0,1%.

Sementara konsensus pada hari ini memperkirakan akan terjadi inflasi secara tahunan untuk China meskipun secara bulanan masih diperkirakan akan mengalami deflasi.

Situasi ini mencerminkan kondisi negara China yang masih suffer dengan perekonomiannya yang melambat. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka akan terjadi dampak negatif bagi Indonesia yang merupakan mitra dagangnya.

Inflasi Amerika

Amerika Serikat (AS) akan merilis data IHK baik secara tahunan maupun bulanan pada hari ini.

Sebelumnya pada Februari 2025, laju inflasi tahunan di AS melambat menjadi 2,8% atau lebih rendah jika dibandingkan dengan periode Januari yang tercatat sebesar 3%, dan berada di bawah perkiraan pasar sebesar 2,9%.

Apabila data inflasi kali ini kembali melandai, hal ini akan menjadi memperkuat untuk The Fed dalam memangkas suku bunga acuannya. Ketika hal ini terjadi, maka indeks dolar AS (DXY) berpotensi mengalami depresiasi dan rupiah berpeluang mengalami penguatan.


Pemerintah Tarik Utang Rp 250 Triliun

Pemerintah sudah merealisasikan penarikan utang baru senilai Rp 250 triliun dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Penarikan utang baru untuk pembiayaan anggaran itu sudah sebesar 40,6% dari target defisit. Sedangkan realisasi defisit APBN per akhir Maret 2025 senilai Rp 104,2 triliun, atau 0,45% dari PDB. Nilai defisit itu baru 16,9% dari target yang telah ditetapkan dalam APBN 2025.

"Kita akan tetap menjaga APBN dan terutama utang dan juga defisit kita secara tetap prudent, transparan, hati-hati," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).

Realisasi pembiayaan anggaran yang senilai Rp 250 triliun per akhir Maret 2025 itu jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan tiga bulan pertama pada tahun anggaran 2024 yang hanya sebesar Rp 85,6 triliun. Memang, target pembiayaan anggaran pada 2024 sedikit lebih kecil, yaitu hanya Rp 522,8 triliun.

Adapun rincian pembiayaan anggaran alias gali lubang tutup lubang per 31 Maret 2025 itu berasal dari penarikan utang senilai Rp 270,4 triliun dikurangi dengan pembiayaan non utang sebesar Rp 20,4 triliun.


Defisit APBN per Maret 2025 mencapai Rp 104,2 triliun per akhir Maret 2025, atau setara 0,43% dari produk domestik bruto (PDB).
Angka itu sudah sekitar 16,9% dari target defisit anggaran pendapatan dan belanja negara pada 2025 yang senilai Rp 616,2 triliun atau setara 2,53% dari PDB.

Kita akan tetap menjaga APBN dan terutama utang maupun defisit secara tetap prudent, transparan," kata Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025).

Defisit APBN itu berasal dari pendapatan negara yang baru senilai Rp 516,1 triliun atau 17,2% dari target tahun ini Rp 3.005,1 triliun, dan belanja negara Rp 620,3 triliun atau 17,1% dari target Rp 3.621,3 triliun.

Pendapatan negara itu sendiri terdiri dari realisasi Penerimaan Perpajakan yang sebesar Rp 400,1 triliun, atau setara 16,1% dari target 2025 Rp 2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 115,9 triliun atau 22,6% dari target Rp 513,6 triliun.

Sedangkan penerimaan perpajakan yang berasal dari Penerimaan Pajak sebesar Rp 322,6 triliun per akhir Maret 2025 atau 14,7% dari target Rp 2.189,3 triliun, serta Kepabeanan dan Cukai Rp 77,5 triliun, setara 25,7% dari target Rp 301,6 triliun.

(rev/rev)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular