Peringatan Keras untuk Investor Indonesia: Saatnya Embrace The Chaos!

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
20 January 2025 06:15
USA-ELECTION/TRUMP
Foto: REUTERS/Brian Snyder

Pasar keuangan global menghadapi pekan penuh dinamika menjelang pelantikan Presiden AS Donald Trump untuk masa jabatan kedua pada Senin waktu AS (20/1/2025). Dalam konteks ini, pergerakan indeks saham utama di AS menunjukkan tren positif yang signifikan, terutama setelah laporan inflasi yang lebih rendah dari perkiraan. Namun, ketidakpastian kebijakan Trump di bidang perdagangan dan ekonomi tetap menjadi sorotan utama bagi investor, baik di dalam maupun luar negeri.

Sejumlah lembaga dan analis pun sudah mewanti-wanti bahwa era Trump 2.0 akan membuat dunia chaos karena kebijakan proteksionismenya. Dunia sudah mengalami pelajaran pahit di era Trump pertama (2017-2020) terutama saat perang dunia memanas pada 2018.

Volume perdagangan dunia pada 2018 melambat menjadi 3,7% dari pertumbuhan pada tahun sebelumnya sebesar 4,7%. Penurunan aktivitas ekonomi dunia berkontribusi pada penurunan sebagian besar harga komoditas global. Data Bank Dunia menunjukkan pertumbuhan global langsung terjun dari 3,3% pada 2018 menjadi 2,7% pada 2019.

Indeks S&P 500 mencatatkan kenaikan mingguan terbaiknya sejak pemilu November, melonjak lebih dari 3%, sementara Nasdaq Composite tumbuh 2,6%. Dow Jones Industrial Average memimpin dengan lonjakan hampir 4%. Kenaikan ini didorong oleh meredanya kekhawatiran bahwa Federal Reserve akan menahan pemotongan suku bunga sepanjang tahun 2025. Namun, volatilitas masih membayangi, dengan analis memproyeksikan tahun yang lebih fluktuatif di bawah kepemimpinan Trump

Dunia dan Indonesia Bersiap Chaos di era Trump 2.0

Dalam lanskap domestik, pasar saham Indonesia menghadapi tekanan berat. Tekanan terhadap pasar keuangan sudah terasa sejak Trump terpilih pada pilpres. Sejak Trump terpilih 5 November hingga akhir pekan lalu, IHSG sudah jeblok 3,14%. Tekanan sangat berat juga terjadi pada awal hingga pertengahan Januari 2025.

IHSG anjlok 1,74% sepanjang 1 Januari hingga 14 Januari 2025, diperdagangkan di level 6.956,66. Ini mengingatkan pada pola serupa saat pelantikan pertama Trump pada 2017, ketika IHSG juga melemah akibat sentimen negatif terhadap kebijakan proteksionisme yang digencarkan Trump.

Selain itu, tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin tajam. Data Refinitiv menunjukkan rupiah terdepresiasi sebesar 1,05% sejak akhir Desember 2024, lebih dalam dibandingkan pelemahan 0,87% pada periode serupa tahun 2017.

Dari masa pilpres 5 November 2024 Presiden AS hingga akhir perdagangan pekan lalu, rupiah sudah terperosok 3,9% dari Rp 15.730 per US$1 menjadi Rp 16.350/US$1.

Rupiah bukan satu-satunya mata uang yang melemah. Kebijakan Trump yang pro-dalam negeri telah menarik investor balik ke negaranya. Alhasil, indeks dolar menguat tajam dan imbal hasil US Treasury terbang.
Indeks dolar AS melesat dari 103,423 pada 5 November 2024 atau saat pilpres menjadi 109,347 pada perdagangan akhir pekan lalu.  Indeks dolar (DX) bahkan sempat melesat ke 109,956 pada Senin pekan lalu (13/1/2025) atau rekor tertingginya sejak November 2022 atau lebih dari dua tahun.


Imbal hasil US Treasury juga terbang dari 4,29% pada 5 November 2024 menjadi 4,62% ada akhir pekan lalu. Indeks bahkan sempat melesat ke 4,8% pada Senin pekan lalu.

Di pasar global, penguatan dolar AS menjadi salah satu faktor kunci. Kebijakan ekonomi pro-Amerika dan proteksionisme Trump telah memicu arus modal kembali ke AS, mendorong dolar AS ke level tertinggi sejak November 2022.

Kebijakan pro-dalam negeri Trump dikhawatirkan bisa kembali mengungkit inflasi AS sehingga The Fed akan kesulitan memangkas suku bunga secara signifikan.

Sementara itu, pelaku pasar menunggu dampak kebijakan Trump terhadap perdagangan global, khususnya Asia. Trump telah berulang kali menegaskan niatnya untuk meningkatkan tarif perdagangan, terutama terhadap Tiongkok. Kebijakan ini menimbulkan kecemasan di pasar Asia, termasuk Indonesia, yang sempat mendapat ancaman evaluasi status Generalized System of Preferences (GSP) pada 2018. GSP, yang memberikan penghapusan bea masuk pada beberapa produk ekspor, menjadi salah satu penopang surplus perdagangan Indonesia dengan AS sebesar US$9,5 miliar.

Dari sisi domestik, tantangan lain muncul dengan bergabungnya Indonesia ke dalam aliansi BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan). Trump telah mengancam akan menerapkan tarif 100% pada negara-negara BRICS jika mereka menciptakan mata uang baru yang menyaingi dolar AS. Hal ini berpotensi meningkatkan tekanan pada pasar keuangan Indonesia, yang sudah menghadapi ketidakpastian akibat kebijakan Trump.

Data menunjukkan Indonesia adalah salah satu dari penyumbang defisit terbesar untuk AS sehingga bisa menjadi perhatian Trump.


Para analis memperingatkan bahwa tekanan terhadap rupiah dan IHSG masih akan berlanjut jika kebijakan Trump memperburuk sentimen pasar. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyebutkan tiga risiko utama: tekanan terhadap nilai tukar rupiah, potensi arus modal keluar, dan ketidakpastian pasar keuangan. Meski demikian, ada harapan bahwa sentimen positif dari laporan laba perusahaan dan penguatan ekonomi domestik dapat memberikan dukungan bagi pasar Indonesia.

Dalam minggu yang akan datang, pelaku pasar akan mencermati laporan keuangan dari 43 perusahaan S&P 500, termasuk Netflix, United Airlines, Johnson & Johnson, dan 3M Company. Selain itu, data aktivitas sektor jasa dan manufaktur di AS, serta pembaruan sentimen konsumen, akan menjadi indikator penting untuk menilai arah kebijakan ekonomi Trump ke depan.

Pekan ini menandai momen penting bagi pasar global, di mana dinamika politik dan ekonomi AS akan menjadi faktor penentu arah pasar. Dengan volatilitas yang diproyeksikan terus berlanjut, investor diharapkan tetap waspada dan mempertimbangkan diversifikasi portofolio untuk menghadapi ketidakpastian di tahun 2025.

Suku Bunga Bank Sentral China

Pada hari ini, Senin (20/1/2025), bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) akan mengumumkan keputusan suku bunga acuan terbarunya. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan PBoC akan kembali menahan suku bunga acuannya kali ini.

Suku bunga acuan (Loan Prime Rate/LPR) tenor 1 tahun diprediksi tetap berada di level 3,1%. Sedangkan LPR tenor 5 tahun juga diprediksi masih berada di level 3,6%.


Meski PBoC diprediksi akan menahan kembali suku bunga acuannya, tetapi Rabu lalu, PBoC menyuntikkan likuiditas jangka pendek ke dalam sistem keuangan sebesar 958,4 miliar yuan atau setara Rp 2.131,4 triliun.

Injeksi dana itu dilakukan melaluiseven-day reverse repurchase agreements(reverse repo) dalam operasi pasar terbuka harian. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi kedua yang pernah tercatat dalam data yang dihimpun oleh Bloomberg sejak 2004.

PBoC mengatakan, transaksi reverse repo tersebut akan mengimbangi dampak dari berakhirnya pinjaman jangka menengah, musim puncak pembayaran pajak, serta permintaan uang tunai menjelang libur Imlek, sekaligus menjaga kecukupan likuiditas sistem perbankan,

Dukungan likuiditas yang signifikan tersebut akan menjadi angin segar bagi bank-bank di China yang mengalami krisis kas awal pekan ini.

Data Ekonomi AS

Sentimen ekonomi dari AS pada pekan ini cenderung tidak sebesar dengan sentimen pelantikan Trump pada Senin besok. Pada pekan ini, hanya beberapa data yang perlu dicermati oleh pelaku pasar.

Data-data tersebut yakni data klaim pengangguran untuk periode pekan yang berakhir 18 Januari 2025 dan data penjualan rumah AS periode Desember 2024.

Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan angka klaim pengangguran mingguan kali ini cenderung naik tipis menjadi 219.000, dari pekan sebelumnya sebesar 217.000.

Namun yang terpenting, data ini juga akan dipantau oleh pelaku pasar mengingat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan terbarunya pada pertemuan 29 Januari mendatang.

Data tenaga kerja termasuk klaim pengangguran akan dicermati oleh pelaku pasar global, mengingat langkah The Fed yang kembali berubah dan mereka mengindikasikan tidak akan terburu-buru untuk memangkas suku bunga acuannya.

Sejauh ini, berdasarkan perangkat CME FedWatch, pasar yang memperkirakan The Fed akan menahan suku bunga acuannya mencapai 97,9%, nyaris 100%.

(emb/emb)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular