Newsletter

Bersiaplah! 3 "Badai" Bisa Guncang Pasar Hari Ini

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
15 January 2025 06:00
BI
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Pasar keuangan hari ini rawan gejolan karena ada tiga kabar super penting yang bisa menjadi "badai" yang bisa semakin mengguncang saham, rupiah, hingag obligasi. "Badai" bisa datang dari pengumuman neraca dagang, keputusan BI, dan puncaknya inflasi AS.

Neraca Dagang Indonesia Surplus Lagi, Beruntun Selama 56 Bulan

Neraca dagang Indonesia diperkirakan kembali surplus pada periode Desember 2024, namun lebih rendah dari posisi sebelumnya.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Desember 2024 akan mencapai US$3,55 miliar.

Surplus tersebut lebih rendah dibandingkan November 2024 yang mencapai US$4,42 miliar. Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 56 bulan beruntun sejak Mei 2020.

Salah satu penyebab penurunan surplus neraca perdagangan adalah harga batu bara global yang lesu di akhir tahun kemarin. Padahal ekspor Indonesia bergantung kepada batu bara.

Ekonom Bank Syariah Indonesia (BSI), Kurniawati Yuli Ashari menyampaikan bahwa harga batu bara cenderung mengalami penurunan. Apalagi batu bara merupakan komoditas utama ekspor Indonesia.

Dilansir dari Refinitiv, harga batu bara secara bulanan pada Desember 2024 mengalami depresiasi sebesar 7,57% yakni dari US$137,4 per ton menjadi US$127 per ton.

Ketergantungan Indonesia pada batu bara dalam komposisi neraca perdagangan terlihat dalam realisasi ekspor batu bara di 2024 yang tercatat cukup besar yakni 436,32 juta ton.

Menanti Sabda Bank Indonesia

Salah satu yang menjadi perhatian yakni suku bunga (BI rate) di tengah gejolak yang ada saat ini.

BI rate terakhir kali diturunkan sebesar 25 basis poin (bps) pada September 2024 dan selanjutnya ditahan pada Oktober, November, dan Desember 2024 di level 6%.

Konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 15 lembaga/institusi secara absolut memproyeksikan bahwa BI akan kembali menahan suku bunganya di level 6%. Jika hal ini terjadi, maka BI telah menahan suku bunganya selama empat bulan beruntun.

Sebelumnya pada Desember 2024 lalu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang juga menyampaikan bahwa BI diperkirakan masih akan menahan suku bunganya di 6% untuk mengantisipasi perkembangan di global.

"Perkiraannya masih tetap di 6%, antisipasi perkembangan di Global. Pasca rilis data ekonomi US yang masih solid sehingga market memperkirakan BI rate masih akan tetap di 6%, dan juga menyongsong Inagurasi Trump pada 20 Januari mendatang ya BI perkiraannya akan cautious. Ya sejalan DXY yg masih terus menguat bahkan sampai ke level 109," kata Hosianna.

Begitu pula dengan Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega,Ralph Birger Poetiray yang mengatakan bahwa situasi eksternal yang tidak mendukung membuat BI tampaknya tidak akan menurunkan suku bunga di bulan ini.

"Setelah bulan November Trump di nyatakan sebagai pemenang, dengan semboyannya "Make America Great Again" berangsur-angsur USD mengalami penguatan ditambah oleh kenaikan imbal hasil US Treasury yang berimbas pada tertekannya rupiah dan Surat berharga negara kita," ujar Birger.

"Ke depannya saya masih melihat bahwa Bank Indonesia berpeluang untuk menurunkan paling tidak 2 kali sampai akhir 2025. Dengan interest rate differential antara Indonesia dan AS yang sangat menarik dan juga di mulainya pemerintahan baru di AS, di harapkan market akan risk on lagi dan hal ini membuat pasar Indonesia berangsur-angsur membaik kembali," pungkas Birger.

Inflasi Konsumen AS Diperkirakan Stabil

Amerika Serikat akan mengumumkan tingkat inflasi periode Desember 2024. Tingkat inflasi menjadi indikator penting dalam memproyeksi arah kebijakan suku bunga The Fed. Trading Economics memperkirakan tingkat inflasi AS pada periode Desember 2024 tidak berubah, tetap 3,3% yoy.

Tingkat inflasi AS memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan suku bunga The Fed. Bank sentral Amerika Serikat tersebut menutup tahun ini dengan kembali memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps). Namun, The Fed mengisyaratkan hanya akan memangkas suku bunga dua kali pada 2025.

Sinyal Likuiditas Bank Semakin Sulit

Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa pertumbuhan secara tahunan (year on year/yoy) pertumbuhan kredit seringkali berada di atas pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK).

Jika dilihat lebih rinci, selisih antara kedua hal tersebut juga tampak semakin melebar bulan demi bulan. Sebagai contoh pada Januari 2023, pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan masing-masing sebesar 10,53% dan 8,5% (selisih 2,05 poi

mengalami pelebaran masing-masing menjadi 11,8% dan 5,8% (selisih 6 poin persentase).

Selisih tersebut pun masih cukup lebar hingga pada data terakhir yakni

n persentase).

Sementara pada Januari 2024, pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan November 2024 yang menunjukkan pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan masing-masing sebesar 10,79% dan 6,3% (selisih 4,49 poin persentase).

Pelebaran selisih ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan penyaluran kredit dari perbankan tampak lebih agresif dilakukan dibandingkan dana (DPK) yang disimpan. Dalam waktu dekat memang hal ini relatif aman, namun dalam jangka panjang terlebih apabila tidak ditindaklanjuti, maka perbankan akan kehilangan power untuk menyalurkan kredit ke masyarakat/korporat.

 

(ras/ras)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular