Newsletter

Bersiaplah! 3 "Badai" Bisa Guncang Pasar Hari Ini

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
15 January 2025 06:00
Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Jelang Rilis Suku Bunga BI pasar saham bergejolak
  • Akan diumumkan neraca dagang Indonesia
  • Akan ada pengumuman inflasi AS

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham Indonesia terus tertekan di tengah ketidakpastian global dan dana asing yang terus keluar dari emiten big caps, terutama emiten bank KBMI IV.

Di sisi lain, pasar juga menanti pengumuman data-data ekonomi penting pada hari ini. Tercatat ada tiga rilis data yang patut dicermati karena memengaruhi gerak pasar saham maupun nilai tukar rupiah. Adapun data tersebut adalah neraca dagang beserta ekspor dan impor, suku bunga Bank Indonesia, dan inflasi Amerika Serikat.

Proyeksi dan ulasan mengenai sentimen penggerak pasar keuangan hari ini ada di halaman tiga. Kemudian jadwal rilis data ekonomi dan agenda emiten tersaji di halaman empat.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup merana pada akhir perdagangan Selasa (14/1/2025), di tengah masih wait and see pasar atas beragam data penting yang akan rilis hari ini.

IHSG ditutup merosot 0,86% ke posisi 6.956,66. IHSG pun terkoreksi ke level psikologis 6.900 pada perdagangan kemarin.

Nilai transaksi indeks mencapai sekitar Rp9,9 triliun dengan melibatkan 16,3 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 294 saham menguat, 298 saham melemah, dan 210 saham stagnan.

Secara sektoral, sektor kesehatan dan konsumer primer menjadi penekan terbesar IHSG di akhir perdagangan yakni masing-masing mencapai 1,36% dan 0,94%.

Sementara dari sisi saham, emiten energi baru terbarukan (EBT) konglomerasi Prajogo Pangestu PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan emiten perbankan raksasa PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) menjadi penekan terbesar IHSG masing-masing mencapai 14,3 dan 11,2 indeks poin.

IHSG kembali merana di tengah wait and see investor yang masih terjadi menjelang rilis data inflasi AS serta keputusan suku bunga terbaru BI hari ini.

Sementara itu, nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat. Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup menguat 0,06% di angka Rp16.260/US$ pada hari ini, Selasa (14/1/2025). Hal ini berbanding terbalik dengan posisi kemarin (13/1/2025) yang anjlok 0,56%.

Selain itu, imbal hasil obligasi Indonesia 10 tahun mencatatkan posisi tertinggi sejak November 2022. Hal ini terjadi karena pasar saat ini dipenuhi oleh ketidakpastian, mulai dari geopolitik, kondisi ekonomi dalam negeri yang tidak stabil, hingga jelang pelantikan Donald Trump sebagai presiden AS.

Imbal hasil obligasi 10 tahun memiliki hubungan negatif terhadap pasar saham. Ketika yield melonjak, pasar saham akan melemah, dan terjadi sebaliknya.

Saham AS naik pada hari Selasa setelah indeks harga produsen (PPI), salah satu dari dua laporan inflasi utama minggu ini, menunjukkan hasil yang lebih rendah dari perkiraan.

Dow Jones Industrial Average naik 162 poin atau 0,4%. S&P 500 bertambah 0,4%, dan Nasdaq Composite, yang didominasi saham teknologi, meningkat 0,7%.

Beberapa saham teknologi besar berhasil naik, membuat sektor ini berwarna hijau pada Selasa pagi, setelah mengalami kerugian pada Senin dan pekan sebelumnya karena investor keluar dari sektor tersebut. Saham Tesla dan Palantir masing-masing naik sekitar 3%.

Indeks harga produsen, yang mengukur inflasi di tingkat grosir, hanya meningkat 0,2% pada Desember, menurut laporan Biro Statistik Tenaga Kerja. Para ekonom yang disurvei oleh Dow Jones sebelumnya memperkirakan kenaikan sebesar 0,4%. Core PPI, yang tidak memasukkan makanan dan energi, tidak mengalami perubahan alias tetap.

Investor kini menantikan laporan indeks harga konsumen (CPI) pada hari Rabu untuk mencari petunjuk mengenai langkah selanjutnya dari Federal Reserve terkait kebijakan suku bunga.

"Jika CPI ternyata lebih tinggi dari perkiraan, itu tentu akan menjadi kabar buruk bagi pasar saham, karena ini akan mengisyaratkan bahwa The Fed akan lebih lambat dalam menurunkan suku bunga," kata Sam Stovall, kepala strategi investasi di CFRA Research.

Perdagangan pada Fed funds futures menunjukkan hampir pasti bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga pada akhir pertemuan dua harinya akhir bulan ini. Harga pasar juga menunjukkan peluang sebesar 79% bahwa suku bunga akan tetap berada dalam kisaran target saat ini, yaitu 4,25%-4,5% pada Maret, menurut CME FedWatch Tool.

Di sisi laporan keuangan, bank-bank besar akan memulai musim laporan keuangan kuartal keempat minggu ini. JPMorgan Chase, Citigroup, Goldman Sachs, dan Wells Fargo dijadwalkan merilis hasil mereka pada hari Rabu. Sementara itu, Morgan Stanley dan Bank of America akan melaporkan hasil mereka pada hari Kamis.

Pasar keuangan hari ini rawan gejolan karena ada tiga kabar super penting yang bisa menjadi "badai" yang bisa semakin mengguncang saham, rupiah, hingag obligasi. "Badai" bisa datang dari pengumuman neraca dagang, keputusan BI, dan puncaknya inflasi AS.

Neraca Dagang Indonesia Surplus Lagi, Beruntun Selama 56 Bulan

Neraca dagang Indonesia diperkirakan kembali surplus pada periode Desember 2024, namun lebih rendah dari posisi sebelumnya.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Desember 2024 akan mencapai US$3,55 miliar.

Surplus tersebut lebih rendah dibandingkan November 2024 yang mencapai US$4,42 miliar. Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 56 bulan beruntun sejak Mei 2020.

Salah satu penyebab penurunan surplus neraca perdagangan adalah harga batu bara global yang lesu di akhir tahun kemarin. Padahal ekspor Indonesia bergantung kepada batu bara.

Ekonom Bank Syariah Indonesia (BSI), Kurniawati Yuli Ashari menyampaikan bahwa harga batu bara cenderung mengalami penurunan. Apalagi batu bara merupakan komoditas utama ekspor Indonesia.

Dilansir dari Refinitiv, harga batu bara secara bulanan pada Desember 2024 mengalami depresiasi sebesar 7,57% yakni dari US$137,4 per ton menjadi US$127 per ton.

Ketergantungan Indonesia pada batu bara dalam komposisi neraca perdagangan terlihat dalam realisasi ekspor batu bara di 2024 yang tercatat cukup besar yakni 436,32 juta ton.

Menanti Sabda Bank Indonesia

Salah satu yang menjadi perhatian yakni suku bunga (BI rate) di tengah gejolak yang ada saat ini.

BI rate terakhir kali diturunkan sebesar 25 basis poin (bps) pada September 2024 dan selanjutnya ditahan pada Oktober, November, dan Desember 2024 di level 6%.

Konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 15 lembaga/institusi secara absolut memproyeksikan bahwa BI akan kembali menahan suku bunganya di level 6%. Jika hal ini terjadi, maka BI telah menahan suku bunganya selama empat bulan beruntun.

Sebelumnya pada Desember 2024 lalu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang juga menyampaikan bahwa BI diperkirakan masih akan menahan suku bunganya di 6% untuk mengantisipasi perkembangan di global.

"Perkiraannya masih tetap di 6%, antisipasi perkembangan di Global. Pasca rilis data ekonomi US yang masih solid sehingga market memperkirakan BI rate masih akan tetap di 6%, dan juga menyongsong Inagurasi Trump pada 20 Januari mendatang ya BI perkiraannya akan cautious. Ya sejalan DXY yg masih terus menguat bahkan sampai ke level 109," kata Hosianna.

Begitu pula dengan Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega,Ralph Birger Poetiray yang mengatakan bahwa situasi eksternal yang tidak mendukung membuat BI tampaknya tidak akan menurunkan suku bunga di bulan ini.

"Setelah bulan November Trump di nyatakan sebagai pemenang, dengan semboyannya "Make America Great Again" berangsur-angsur USD mengalami penguatan ditambah oleh kenaikan imbal hasil US Treasury yang berimbas pada tertekannya rupiah dan Surat berharga negara kita," ujar Birger.

"Ke depannya saya masih melihat bahwa Bank Indonesia berpeluang untuk menurunkan paling tidak 2 kali sampai akhir 2025. Dengan interest rate differential antara Indonesia dan AS yang sangat menarik dan juga di mulainya pemerintahan baru di AS, di harapkan market akan risk on lagi dan hal ini membuat pasar Indonesia berangsur-angsur membaik kembali," pungkas Birger.

Inflasi Konsumen AS Diperkirakan Stabil

Amerika Serikat akan mengumumkan tingkat inflasi periode Desember 2024. Tingkat inflasi menjadi indikator penting dalam memproyeksi arah kebijakan suku bunga The Fed. Trading Economics memperkirakan tingkat inflasi AS pada periode Desember 2024 tidak berubah, tetap 3,3% yoy.

Tingkat inflasi AS memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan suku bunga The Fed. Bank sentral Amerika Serikat tersebut menutup tahun ini dengan kembali memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps). Namun, The Fed mengisyaratkan hanya akan memangkas suku bunga dua kali pada 2025.

Sinyal Likuiditas Bank Semakin Sulit

Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa pertumbuhan secara tahunan (year on year/yoy) pertumbuhan kredit seringkali berada di atas pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK).

Jika dilihat lebih rinci, selisih antara kedua hal tersebut juga tampak semakin melebar bulan demi bulan. Sebagai contoh pada Januari 2023, pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan masing-masing sebesar 10,53% dan 8,5% (selisih 2,05 poi

mengalami pelebaran masing-masing menjadi 11,8% dan 5,8% (selisih 6 poin persentase).

Selisih tersebut pun masih cukup lebar hingga pada data terakhir yakni

n persentase).

Sementara pada Januari 2024, pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan November 2024 yang menunjukkan pertumbuhan kredit dan DPK secara tahunan masing-masing sebesar 10,79% dan 6,3% (selisih 4,49 poin persentase).

Pelebaran selisih ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan penyaluran kredit dari perbankan tampak lebih agresif dilakukan dibandingkan dana (DPK) yang disimpan. Dalam waktu dekat memang hal ini relatif aman, namun dalam jangka panjang terlebih apabila tidak ditindaklanjuti, maka perbankan akan kehilangan power untuk menyalurkan kredit ke masyarakat/korporat.

 

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Neraca dagang Indonesia periode Desember 2024 (pukul 11.00 WIB)

  • Ekspor dan Impor Indonesia periode Desember 2024 (pukul 11.00 WIB)
  • Suku Bunga Bank Indonesia (pukul 14.30 WIB)
  • Inflasi konsumen Amerika Serikat periode Desember 2024 (pukul 20.30 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • Dividen: AMAR, BBRI, ADRO, RDTX, BSSR

  • RUPSLB: BYAN

Berikut untuk indikator ekonomi RI :

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular