Newsletter

Musim Window Dressing Tiba, Pesta Bisa Rusak Karena Amerika

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
11 December 2024 06:15
Bendera Amerika Serikat
Foto: Bendera Amerika Serikat (Photo by Win McNamee/Getty Images)

Pasar keuangan Indonesia, baik IHSG maupun rupiah cenderung akan kembali dipengaruhi oleh sentimen global, terutama terkait dengan masih lesunya perekonomian China dan jelang rilis data inflasi AS periode November 2024.

Neraca Perdagangan China

Kemarin, China telah merilis data perdagangannya pada periode November 2024. Hasilnya pun cenderung mengecewakan. Data ekspor China pada bulan lalu melambat menjadi 6,7% (yoy), dari 12,7% pada Oktober, serta terkontraksinya impor sebesar 3,9%, menggarisbawahi lemahnya permintaan domestik di China.

Kontraksi impor yang lebih tajam dari estimasi menunjukkan adanya dampak dari tekanan tarif yang dikenakan oleh AS serta terbatasnya efektivitas stimulus ekonomi China.

Sebagai mitra dagang utama Indonesia, lemahnya perdagangan China mempengaruhi pasar komoditas global, termasuk ekspor Indonesia. Komoditas seperti batubara dan minyak kelapa sawit (CPO), yang merupakan andalan ekspor Indonesia, berisiko menghadapi penurunan permintaan.

Hal ini diperburuk oleh pelebaran surplus perdagangan China dengan AS menjadi US$ 34,9 miliar dari US$ 33,5 miliar pada bulan sebelumnya, yang berpotensi memperburuk hubungan dagang antara kedua negara besar tersebut.

Inflasi AS

Pada malam hari ini waktu Indonesia, AS akan merilis data inflasinya pada periode November 2024. Ekonom yang disurvei oleh Dow Jones memperkirakan bahwa inflasi umum naik 0,3% pada November secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 2,7% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Jika hal ini benar terjadi, maka probabilitas bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menurunkan suku bunganya di bulan ini akan semakin kecil mengingat angka inflasi yang terus meningkat.

Sejauh ini, menurut perangkat CME FedWatch, probabilitas pasar yang memperkirakan The Fed akan kembali memangkas suku bunga acuannya masih cukup besar yakni mencapai 8,61%. Angka ini mengalami peningkatan dari sehari sebelumnya yang mencapai 85%.

Dengan meningkatnya probabilitas pasar yang memperkirakan The Fed akan kembali memangkas suku bunga acuannya, maka sejatinya pasar masih cukup optimis bahwa bank sentral Negeri Paman Sam akan kembali memangkas suku bunga acuannya pada pertemuan pekan depan.

Namun yang perlu diwaspadai adalah pernyataan Ketua The Fed, Jerome Powell yang menekankan kehati-hatian mengenai pendekatan bank sentral dalam melonggarkan kebijakan moneter karena ketahanan ekonomi.

Hal ini karena data tenaga kerja di AS makin pulih, membuat kemungkinan The Fed akan kembali merubah sikapnya pada pertemuan terakhir di 2024.

Sebelumnya, inflasi AS naik tipis pada bulan Oktober karena The Federal Reserve (The Fed) mencari petunjuk tentang seberapa besar penurunan suku bunga oleh Bank Sentral AS.

Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi, ukuran umum yang dipilih The Fed sebagai pengukur inflasi, meningkat 0,2% pada bulan tersebut dan menunjukkan tingkat inflasi 12 bulan sebesar 2,3%. Keduanya sejalan dengan perkiraan konsensus Dow Jones, meskipun tingkat tahunan lebih tinggi dari level 2,1% pada bulan September.

Tidak termasuk makanan dan energi, inflasi inti menunjukkan pembacaan yang lebih kuat, dengan peningkatan sebesar 0,3% secara bulanan dan pembacaan tahunan sebesar 2,8%. Keduanya juga memenuhi ekspektasi. Tingkat tahunan adalah 0,1 poin persentase di atas bulan sebelumnya.

Harga jasa menghasilkan sebagian besar inflasi untuk bulan tersebut, naik 0,4%, sementara barang turun 0,1%. Harga makanan sedikit berubah, sementara energi turun 0,1%.

Para pembuat kebijakan The Fed menargetkan inflasi pada tingkat tahunan 2%. Inflasi PCE telah berada di atas level tersebut sejak Maret 2021 dan mencapai puncaknya sekitar 7,2% pada Juni 2022, yang mendorong The Fed untuk melakukan kampanye kenaikan suku bunga yang agresif.

Penjualan Ritel RI Mampu Tumbuh

Bank Indonesia (BI) mengumumkan penjualan ritel periode Oktober 2024. Tercatat untuk periode Oktober 2024 data penjualan ritel Indonesia tumbuh hingga 1,5%. Sebelumnya, penjualan ritel di Indonesia tumbuh sebesar 4,8% (yoy) pada September 2024, melambat dibandingkan dengan kenaikan 5,8% pada bulan sebelumnya.

Hal ini menandai bulan keenam berturut-turut ekspansi dalam omzet ritel tetapi laju paling lambat sejak Januari,mencerminkan daya beli masyarakat yang masih tertahan. Penurunan ini disebabkan oleh perlambatan penjualan makanan yang hanya naik 3,3% dari 6,9% pada September, sementara penjualan di sektor informasi dan komunikasi mencatat penurunan lebih tajam sebesar -25,1%.

Di sisi lain, bahan bakar dan suku cadang otomotif mencatat peningkatan, masing-masing sebesar 9,3% dan 8,8%. Untuk November, proyeksi pertumbuhan ritel diperkirakan membaik menjadi 1,7%.

Deretan Saham Untuk Menyambut Window Dressing

Pasar saham mulai memasuki periode window dressing di bulan Desember. Istilah ini merujuk pada tindakan manajer investasi yang membeli atau menjual saham untuk meningkatkan performa portofolio sebelum laporan kepada klien.

Tujuan window dressing saham adalah membuat kinerja terlihat menjanjikan bagi manajer investasi dan mempercantik laporan keuangan bagi perusahaan atau emiten. Fenomena ini umumnya terjadi pada akhir tahun, terutama pada Desember atau awal tahun seperti Januari.

Terdapat tujuh saham berlabel bluechips yang memiliki kinerja mentereng kala musim musim window dressing pada akhir tahun.

Saham bluechips menjadi emiten yang dipilih oleh banyak perusahaan investasi karena memiliki kinerja keuangan dan bisnis yang konsisten baik dan mampu bertahan serta bangkit dalam kondisi sulit. Selain itu saham bluechips juga menjadi pemimpin di setiap sektornya. Alasan lain adalah saham bluechips memiliki nilai kapitalisasi pasar yang besar sehingga mampu dibeli oleh investor dengan modal yang besar seperti perusahaan investasi atau investor individu baik dari dalam maupun luar negeri.

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menjadi emiten yang memiliki kinerja harga saham dengan rata-rata kenaikan terbanyak pada Desember dalam sepuluh tahun terakhir (2013-2023).

Emiten dengan kode saham BBRi tersebut memiliki rata-rata pertumbuhan harga saham sebesar 3,98% dalam sepuluh tahun terakhir. Adapun BBRI mencatat 8 kenaikan harga saham pada Desember dan hanya dua kali berada di teritori negatif.

Pertumbuhan harga saham BBRi tertinggi terjadi pada 2017. Kala itu harga saham Bank yang berorientasi pada sektor UMKM tersebut melejit 13,4%.

Tahun lalu kinerja saham BBRI juga signifikan, dengan pertumbuhan harga saham tercatat 8,53% dalam sebulan.

Sementara performa terburuk terjadi pada 2013, yakni melemah 2,68%. Penurunan lainnya terjadi pada 2022 hanya sebesar 0,8% saja.

(saw/mae)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular