
The Fed Tolak Agresif Turunkan Suku Bunga, Pasar RI Baik-Baik Saja?

Pasar keuangan RI pada perdaganganhari ini dipengaruhi oleh sentimen domestik dan luar negeri. Terutama pidato dari keta bnak sentral AS The Federal reserve atau The Fed Jerome Powell.
Powell Akan Lebih Hati-Hati Soal Suku Bung
Powell menyatakan bahwa perekonomian AS saat ini lebih kuat dibandingkan yang diperkirakan bank sentral pada bulan September ketika mulai menurunkan suku bunga. Ia juga memberikan sinyal bahwa ia mendukung langkah yang lebih hati-hati dalam pemotongan suku bunga ke depan.
"Ekonomi AS berada dalam kondisi yang sangat baik dan tidak ada alasan untuk itu tidak berlanjut. Risiko penurunan di pasar tenaga kerja tampaknya lebih kecil, pertumbuhan jelas lebih kuat dari yang kami duga, dan inflasi sedikit lebih tinggi," kata Powell dalam acara New York Times. "Kabar baiknya adalah kita bisa lebih berhati-hati saat mencoba menemukan posisi netral."
Powell juga menjelaskan bahwa pemotongan suku bunga setengah poin pada bulan September dirancang untuk "mengirimkan sinyal kuat bahwa kami akan mendukung pasar tenaga kerja jika terus melemah." Namun, dalam beberapa bulan setelahnya, data revisi menunjukkan bahwa ekonomi lebih kuat dari perkiraan semula.
Sebelumnya pada hari Rabu, dua pejabat Fed lainnya, Presiden Fed St. Louis Alberto Musalem dan Presiden Fed Richmond Thomas Barkin, menyatakan bahwa mereka masih menunggu data sebelum memutuskan apakah suku bunga perlu diturunkan lagi.
Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), yang menjadi ukuran utama inflasi, telah berjalan stagnan di kisaran 2,6%-2,8% sejak Mei, jauh di atas target 2% bank sentral. Meskipun para pejabat Fed optimis bahwa tekanan harga akan mereda, mereka tetap ingin melihat bukti konkret sebelum melanjutkan pemotongan suku bunga lebih jauh.
Sementara itu, data ekonomi lainnya menunjukkan hasil yang campur aduk. Penjualan otomotif di November mencapai level tertinggi dalam lebih dari tiga tahun, menunjukkan konsumsi tetap kuat. Namun, survei bisnis utama menunjukkan beberapa pendinginan di sektor jasa, dengan kekhawatiran tentang tarif impor baru yang dapat meningkatkan harga. Powell menekankan bahwa keputusan kebijakan Fed saat ini sepenuhnya didasarkan pada kondisi ekonomi saat ini, bukan pada kebijakan yang mungkin diterapkan di masa depan.
Ekonomi RI DIproyeksi Tumbuh 5,15% pad a 2025
Permata Institute for Economic Research (PIER) melalui laporan Economic Outlook 2025 bertajuk "Economic Forces at Play: Balancing Domestic Drivers and Global Uncertainty" memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,15% pada 2025.
Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menjelaskan, proyeksi optimis ini memberikan dasar kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, memaksimalkan potensi konsumsi rumah tangga, memperkuat diversifikasi ekspor, serta menarik investasi asing langsung.
Laporan tersebut juga memaparkan kondisi di tingkat domestik, di mana inflasi Indonesia diproyeksikan masih berada dalam target Bank Indonesia, yakni 3,12%. Meskipun, kenaikan tarif PPN dan cukai menjadi 12% pada plastik, rokok, serta minuman manis akan memberikan tekanan terhadap inflasi.
Kemudian nilai tukar rupiah diperkirakan menguat di rentang Rp15.200-Rp15.700/USD. Hal ini didukung oleh aliran investasi langsung dan portofolio yang masuk.
Selain itu, imbal hasil obligasi diproyeksikan menurun karena kebijakan suku bunga yang lebih rendah dari Bank Indonesia dan The Fed.
Indeks Dolar Terus Kuat
Indeks dolar Amerika Serikat (AS) DXY terus berada di level yang cukup tinggi pasca Presiden Terpilih Donald Trump menang dalam pemilu AS melawan Kamala Harris.
Dilansir dari Refinitiv, DXY pada penutupan perdagangan kemarin (3/12/2024) ditutup di angka 106,36. Angka ini telah melonjak 2,84% sejak 5 November 2024 atau sekitar satu bulan yang lalu.
Sementara sepanjang bulan ini hingga 3 Desember 2024, DXY telah naik sebesar 0,59%.
Menangnya Trump dalam pemilu AS tampak menimbulkan kekhawatiran pelaku pasar akan kebijakan Trump yang dinilai Amerika sentris dengan menaikkan tarif perdagangan dari luar negeri termasuk China.
Pada akhirnya membuat inflasi di AS berpotensi kembali mengalami kenaikan dan bank sentral AS (The Fed) semakin sulit untuk memangkas suku bunga acuannya.
Dilansir dari baystreet.ca, suku bunga yang tinggi meningkatkan daya tarik utang AS dan dolar AS. Dalam skenario terbaik, The Fed akan memangkas suku bunga baik bulan ini atau Januari. Setelah itu, mereka akan mempertahankan suku bunga jika ekonomi AS menghangat. Fed harus mencegah inflasi melebihi 2,5%.
Seiring dengan menguatnya DXY, tampak rupiah mengalami depresiasi. Pada 5 November 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di angka Rp15.730/US$ dan pada 3 Desember 2024 berada di posisi Rp15.935/US$ atau melemah 1,3% dalam kurun waktu satu bulan.
Dengan terpilihnya Trump, inflasi yang menjadi momok menakutkan banyak banyak negara dunia dimungkinkan sulit turun.
Lambatnya penurunan inflasi akan berdampak kepada suku bunga acuan atau Fed Fund Rate. Terbaru BI memperkirakan FFR hanya dipangkas 50 bps pada 2025.
(ras/ras)