
Terjepit Sentimen AS & China, Bisakah IHSG - Rupiah Tahan Guncangan?

Sepekan ke depan, pasar Asia, khususnya Indonesia, lalu Amerika Serikat, dan China, akan berhadapan dengan rangkaian rilis data ekonomi yang diperkirakan dapat membawa dinamika signifikan bagi sentimen investasi dan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.
Indeks Keyakinan Konsumen dan Penjualan Ritel RI
Di Indonesia, pekan ini akan dimulai dengan pengumuman Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) untuk Oktober 2024 pada hari ini Senin (11/11/2024) Konsensus berada di angka 123,2. Jika data ini melampaui ekspektasi, maka potensi sentimen positif bagi perekonomian dalam negeri semakin kuat, menunjukkan optimisme konsumen terhadap stabilitas ekonomi di tengah tantangan ekonomi global yang masih berlanjut.
Menarik dilihat seperti apa pergerakan IKK dan penjualan ritel. Data Bank Indonesia juga menunjukkan IKK terus melandai dari kisaran 125 di awal tahun menjad hanya 123 pada September 2024. Melemahnya indeks terutama disebabkan pesimisnya masyarakat terhadap kondisi lapangan kerja.
Indeks ketersediaan lapangan kerja merosot ke 131,1 pada September 2024, rekor terendahnya sepanjang tahun ini.
Kemudian pada Selasa (12/11/2024) Bank Indonesia akan merilis data Penjualan Ritel Tahunan yang konsensusnya diperkirakan tumbuh sebesar 2,5%. Data ini sangat penting bagi Indonesia, karena peningkatan penjualan ritel akan menjadi indikasi bahwa pengeluaran konsumen masih solid. Ditambah lagi, jika angka ini sesuai atau bahkan melampaui konsensus, ini bisa mengangkat ekspektasi terhadap ketahanan permintaan domestik di tengah inflasi yang terkendali. Hal ini juga menjadi penting mengingat adanya potensi penurunan permintaan dari Tiongkok yang bisa berdampak pada pasar ekspor Indonesia.
Pembahasan UMP
Pembahasan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 025 masih berlangsung. Pengusaha maupun buruh belum mencapai kesepakatan terkait aturan yang akan digunakan untuk menentukan kenaikan upah minimum untuk tahun 2025 nanti.
Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan mengabulkan sebagian besar permohonan dalam uji materiil Undang-Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Termasuk, pasal mengenai upah.
Sementara, sejak 10 November 2023, telah diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 36/2021 tentang Pengupahan. PP ini digunakan pemerintah sebagai dasar penentuan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kota/ kabupaten (UMK) tahun 2024.
Namun, buruh menolak PP No 51/2023 kembali digunakan untuk UMP 2025. Menyusul adanya putusan MK tersebut.Pembahasan UMP diperkirakan masih akan panas sepekan ini.
Data Ekonomi China
Pada hari yang sama, Senin (11/11/2024) China dijadwalkan merilis data penjualan kendaraan tahunan. Data ini diperkirakan mengalami kontraksi sebesar -2,0%. Jika hasilnya lebih rendah dari perkiraan, maka ini akan mencerminkan lemahnya permintaan domestik di negara tersebut dan bisa menjadi sinyal negatif bagi pasar.
Sebagai salah satu perekonomian terbesar di dunia, China saat ini sedang berupaya meningkatkan konsumsi domestik sebagai upaya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, terutama setelah tekanan yang diakibatkan oleh perlambatan sektor properti dan deflasi yang mendorong Beijing untuk meluncurkan langkah stimulus fiskal besar-besaran senilai US$ 1,4 triliun pada pekan sebelumnya.
Pekan ini juga akan menjadi sorotan bagi perekonomian China pada Jumat (15/11/2024), ketika data mengenai Investasi Aset Tetap, Produksi Industri, dan Penjualan Ritel akan diumumkan.
Ketiga data tersebut diharapkan menunjukkan adanya tanda-tanda pemulihan, namun sinyal yang lebih lemah akan memperkuat argumen bahwa Beijing mungkin perlu melakukan stimulus tambahan untuk menggerakkan kembali roda ekonomi. Jika data menunjukkan perlambatan lebih jauh, maka proyeksi dampak dari perang dagang dengan AS akan semakin nyata, terutama dengan kemungkinan penerapan tarif impor tinggi dari administrasi AS yang baru.
Dengan potensi kenaikan tarif hingga 50% pada produk-produk impor dari China, ketegangan perdagangan antara AS dan China kembali menjadi perhatian utama bagi pasar Asia.
Kebijakan tarif tinggi dari AS diperkirakan akan menekan ekspor China, yang merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Jika kondisi ini terjadi, maka potensi penurunan permintaan dari China akan berdampak langsung terhadap ekspor Indonesia. Morgan Stanley bahkan memperingatkan bahwa dampak dari kebijakan tarif ini mungkin lebih kecil dibandingkan periode 2018-2019, namun penurunan kepercayaan korporasi dan investasi global dapat memperlambat siklus ekonomi di kawasan Asia.
Inflasi AS
Di Amerika Serikat, fokus investor akan tertuju pada data inflasi yang akan dirilis pada Rabu (13/11/2024). Konsensus menyebutkan angka inflasi inti diharapkan mencapai 3,3% secara tahunan, sementara inflasi umum diperkirakan sebesar 2,4%. Jika data inflasi ternyata melebihi ekspektasi, ini bisa memicu sentimen hawkish dari bank sentral AS The Federal Reserve (Teh Fed), di mana tekanan untuk menaikkan suku bunga akan semakin kuat.
Kenaikan suku bunga berpotensi memperkuat dolar AS, yang secara otomatis akan berdampak negatif pada nilai tukar mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena meningkatkan beban biaya impor dan menekan likuiditas.
Pada Kamis (14/11/2024), data Producer Price Index (PPI) tahunan AS akan diumumkan dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 1,8%.
Selain itu, pasar juga akan memantau angka klaim pengangguran awal yang diperkirakan di kisaran 225 ribu. Jika data pengangguran lebih tinggi dari ekspektasi, ini akan menimbulkan kekhawatiran terhadap kekuatan pemulihan sektor tenaga kerja AS. Dengan kondisi inflasi yang tetap tinggi, peningkatan angka pengangguran dapat mengakibatkan ketidakpastian pada proyeksi pertumbuhan ekonomi AS ke depan, sehingga berpotensi menurunkan optimisme pasar.
Secara keseluruhan, pekan ini akan menjadi periode yang penuh kehati-hatian bagi pasar Asia. Dengan berbagai faktor eksternal yang sangat dinamis, termasuk kemungkinan kebijakan proteksionis dari AS, pasar di kawasan ini diperkirakan akan mengalami volatilitas yang tinggi. Sentimen investor akan bergantung pada perkembangan data ekonomi yang dirilis dan bagaimana respons kebijakan dari masing-masing negara.
(emb/emb)