Newsletter

Terjepit Sentimen AS & China, Bisakah IHSG - Rupiah Tahan Guncangan?

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
11 November 2024 06:00
Ilustrasi bearish market vs bullish market
Foto: Pixabay/gerd Altmann
  • Pasar keuangan Indonesia relatif postif pekan lalu, IHSG dan rupiah ditutup menguat pada akhir pekan lalu
  • Wall Street pesta pora pekan lalu setelah terpilihnya Trump
  • Sentimen inflasi AS, terpilihnya Trump, dan pembicaraan UMP bisa menjadi penggerak pasar hari ini dan sepanjang pekan ke depan

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan domestik kembali menunjukkan tren positif pada akhir pekan lalu, dengan penguatan signifikan pada nilai tukar rupiah dan stabilitas Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Pasar keuangan Indonesia diharapkan kembali menunjukkan kinerja positif pekan ini. Selengkapnya mengenai proyeksi pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

Setelah pemotongan suku bunga oleh The Fed, rupiah ditutup menguat ke level Rp15.665 per dolar AS pada Jumat (8/11/2024), naik 0,41% dalam sehari. Penguatan ini terjadi meski pasar global diterpa ketidakpastian setelah pemilu AS, di mana Donald Trump kembali memenangkan kursi presiden.

Selama sepekan, rupiah berhasil mencatatkan apresiasi sebesar 0,32% dari level sebelumnya di Rp15.715 per dolar AS. Kestabilan nilai tukar ini mencerminkan optimisme pasar terhadap arah kebijakan moneter The Fed yang lebih longgar. Sementara itu, Indeks Dolar AS (DXY) bertahan stabil di level 104,508, menunjukkan pilihan investor global pada aset safe haven, namun tidak memberikan tekanan signifikan terhadap mata uang di negara berkembang seperti Indonesia.



Pergerakan IHSG juga terangkat oleh respons positif pasar terhadap langkah pemangkasan suku bunga The Fed. IHSG ditutup menguat 0,6% ke posisi 7.287,19 pada perdagangan Jumat (8/11/2024).

Selama hari itu, IHSG sempat menembus level psikologis 7.300, meskipun pada akhirnya mengalami koreksi dan menetap di level 7.280-an. Volume transaksi harian mencapai Rp9,9 triliun dengan pergerakan 17 miliar saham melalui 1,1 juta kali transaksi.

Secara sektoral, sektor bahan baku memimpin penguatan IHSG, tumbuh sebesar 3,09% di akhir perdagangan. Emiten-emiten unggulan seperti PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA), dan PT Barito Pacific Tbk (BRPT) menjadi motor penggerak IHSG dengan kontribusi masing-masing sebesar 35,6, 24,3, dan 3,2 poin indeks. Selain itu, saham-saham pertambangan dari Grup Salim, seperti PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) dan emiten teknologi PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), juga memberikan dukungan signifikan terhadap IHSG.

Sentimen positif ini tidak hanya didorong oleh langkah The Fed, tetapi juga oleh kestabilan cadangan devisa Indonesia. Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa cadangan devisa pada akhir Oktober 2024 naik menjadi USS 151,2 miliar, meningkat US$ 1,3 miliar dari bulan sebelumnya. Peningkatan ini disumbangkan oleh penerimaan pajak, jasa, dan penarikan pinjaman luar negeri pemerintah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa cadangan devisa Indonesia cukup kuat untuk mendukung stabilitas ekonomi dalam negeri. Menurut BI, cadangan devisa ini setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor serta pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka tersebut berada jauh di atas standar kecukupan internasional yang setara dengan 3 bulan impor.

Dengan adanya kestabilan makroekonomi ini, Bank Indonesia memandang bahwa cadangan devisa Indonesia dapat terus mendukung ketahanan sektor eksternal. Prospek ekspor yang tetap positif serta neraca transaksi modal yang diperkirakan surplus, seiring meningkatnya minat investor pada imbal hasil yang menarik, turut menjaga ketahanan ekonomi Indonesia di tengah kondisi global yang penuh tantangan.

Sementara itu, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun melandai ke 6,73% pada akhir pekan lalu, dari 6,78% pada hari sebelumnya. Imbal hasil berbanding terbalik dengan harga.Imbal hasil yang melandai menandai SBN tengah dicari investor sehingga harganya naik.

Pasar saham Amerika Serikat (AS) kembali menorehkan rekor baru pada akhir pekan, dipicu oleh kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS yang berhasil mendorong Dow Jones untuk pertama kalinya menembus level 44.000.

Pada perdagangan Jumat (8/11/2024), Dow Jones naik 0,59% ke posisi 43.988,99. Di sisi lain, S&P 500 juga menguat 0,38% ke 5.995,54, sementara Nasdaq Composite ditutup di level 19.286,78, mencatatkan rekor intraday meski kenaikannya terbatas.

Kemenangan Trump membawa harapan baru bagi pasar, di mana kebijakan pertumbuhan domestik yang dijanjikan diyakini akan memberikan angin segar bagi sektor-sektor tertentu seperti usaha kecil dan teknologi.

Barclays mencatat bahwa optimisme ini didorong oleh ekspektasi deregulasi serta peluang merger dan akuisisi yang lebih luas di bawah administrasi Trump. Namun, para pelaku pasar tetap waspada terhadap potensi lonjakan inflasi yang mungkin muncul akibat defisit anggaran besar dan kebijakan tarif yang agresif.

inerja saham-saham tertentu semakin menguat pasca pemilu, khususnya perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan Trump. Tesla, yang CEO-nya Elon Musk turut mendukung Trump, mencatatkan kenaikan 8,2% dan kini memiliki kapitalisasi pasar di atas USS 1 triliun. Saham Trump Media juga melonjak 15% setelah Trump menyatakan tidak berencana menjual sahamnya di perusahaan tersebut, memperlihatkan dukungan solid terhadap aset-aset yang terkait dengan presiden terpilih.

Tidak hanya dukungan dari sektor politik, The Fed juga memberikan dorongan bagi pasar pekan ini. Bank sentral AS memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin, sebuah langkah yang semakin meningkatkan sentimen positif di pasar. Ketua The Fed, Jerome Powell, menegaskan bahwa mereka tetap merasa optimis terhadap kondisi ekonomi saat ini. Sikap fleksibel The Fed yang memprioritaskan stabilitas turut meningkatkan kepercayaan para pelaku pasar akan keberlanjutan tren bullish di Wall Street.

Namun, di tengah optimisme ini, kekhawatiran tetap muncul di kalangan investor mengenai valuasi pasar yang semakin tinggi. Sebagian analis memandang bahwa kenaikan signifikan yang terjadi sejak pemilu telah mendorong sentimen pasar hingga mencapai wilayah "overbought." Strategi investasi yang berfokus pada momentum saham-saham pemenang pasca pemilu terus menambah lonjakan ini, namun risiko koreksi masih menghantui terutama di tengah ketidakpastian kebijakan dan ketegangan perdagangan AS di masa mendatang.

Sementara itu, analis Truist Wealth, Keith Lerner, menyarankan agar para investor tetap mengikuti tren utama namun tetap waspada terhadap potensi volatilitas. Menurutnya, ketika segala sesuatunya tampak berjalan dengan baik, justru perlu diwaspadai adanya potensi gangguan yang tak terduga. Kendati demikian, Lerner tetap optimis bahwa tren naik ini akan bertahan hingga akhir tahun, mengingat kekuatan fundamental dan sentimen pasar yang positif.

Di sisi lain, S&P 500 kemungkinan akan mengalami perombakan dengan prediksi masuknya Emcor Group ke indeks tersebut, menggantikan Amentum Holdings yang kapitalisasi pasarnya relatif lebih kecil. Emcor, perusahaan engineering dengan nilai pasar mencapai USD 23 miliar, dipandang sebagai kandidat paling masuk akal untuk menggantikan Amentum yang berada di S&P Midcap 400.

Dengan berbagai sentimen positif yang menopang pasar saat ini, Wall Street tampak siap menyambut akhir tahun dengan kekuatan yang solid. Meski begitu, investor tetap diharapkan waspada terhadap dinamika politik dan ekonomi yang bisa memicu fluktuasi dalam beberapa pekan mendatang.

 

Sepekan ke depan, pasar Asia, khususnya Indonesia, lalu Amerika Serikat, dan China, akan berhadapan dengan rangkaian rilis data ekonomi yang diperkirakan dapat membawa dinamika signifikan bagi sentimen investasi dan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.

Indeks Keyakinan Konsumen dan Penjualan Ritel RI

Di Indonesia, pekan ini akan dimulai dengan pengumuman Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) untuk Oktober
2024 pada hari ini Senin (11/11/2024) Konsensus berada di angka 123,2. Jika data ini melampaui ekspektasi, maka potensi sentimen positif bagi perekonomian dalam negeri semakin kuat, menunjukkan optimisme konsumen terhadap stabilitas ekonomi di tengah tantangan ekonomi global yang masih berlanjut.

Menarik dilihat seperti apa pergerakan IKK dan penjualan ritel. Data Bank Indonesia juga menunjukkan IKK terus melandai dari kisaran 125 di awal tahun menjad hanya 123 pada September 2024. Melemahnya indeks terutama disebabkan pesimisnya masyarakat terhadap kondisi lapangan kerja.
Indeks ketersediaan lapangan kerja merosot ke 131,1 pada September 2024, rekor terendahnya sepanjang tahun ini.

Kemudian pada Selasa (12/11/2024) Bank Indonesia akan merilis data Penjualan Ritel Tahunan yang konsensusnya diperkirakan tumbuh sebesar 2,5%. Data ini sangat penting bagi Indonesia, karena peningkatan penjualan ritel akan menjadi indikasi bahwa pengeluaran konsumen masih solid. Ditambah lagi, jika angka ini sesuai atau bahkan melampaui konsensus, ini bisa mengangkat ekspektasi terhadap ketahanan permintaan domestik di tengah inflasi yang terkendali. Hal ini juga menjadi penting mengingat adanya potensi penurunan permintaan dari Tiongkok yang bisa berdampak pada pasar ekspor Indonesia.

Pembahasan UMP
Pembahasan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 025 masih berlangsung. Pengusaha maupun buruh belum mencapai kesepakatan terkait aturan yang akan digunakan untuk menentukan kenaikan upah minimum untuk tahun 2025 nanti.
Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan mengabulkan sebagian besar permohonan dalam uji materiil Undang-Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Termasuk, pasal mengenai upah.

Sementara, sejak 10 November 2023, telah diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 36/2021 tentang Pengupahan. PP ini digunakan pemerintah sebagai dasar penentuan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kota/ kabupaten (UMK) tahun 2024.

Namun, buruh menolak PP No 51/2023 kembali digunakan untuk UMP 2025. Menyusul adanya putusan MK tersebut.Pembahasan UMP diperkirakan masih akan panas sepekan ini.

Data Ekonomi China

Pada hari yang sama, Senin (11/11/2024) China dijadwalkan merilis data penjualan kendaraan tahunan. Data ini diperkirakan mengalami kontraksi sebesar -2,0%. Jika hasilnya lebih rendah dari perkiraan, maka ini akan mencerminkan lemahnya permintaan domestik di negara tersebut dan bisa menjadi sinyal negatif bagi pasar.

Sebagai salah satu perekonomian terbesar di dunia, China saat ini sedang berupaya meningkatkan konsumsi domestik sebagai upaya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, terutama setelah tekanan yang diakibatkan oleh perlambatan sektor properti dan deflasi yang mendorong Beijing untuk meluncurkan langkah stimulus fiskal besar-besaran senilai US$ 1,4 triliun pada pekan sebelumnya.

Pekan ini juga akan menjadi sorotan bagi perekonomian China pada Jumat (15/11/2024), ketika data mengenai Investasi Aset Tetap, Produksi Industri, dan Penjualan Ritel akan diumumkan.

Ketiga data tersebut diharapkan menunjukkan adanya tanda-tanda pemulihan, namun sinyal yang lebih lemah akan memperkuat argumen bahwa Beijing mungkin perlu melakukan stimulus tambahan untuk menggerakkan kembali roda ekonomi. Jika data menunjukkan perlambatan lebih jauh, maka proyeksi dampak dari perang dagang dengan AS akan semakin nyata, terutama dengan kemungkinan penerapan tarif impor tinggi dari administrasi AS yang baru.

Dengan potensi kenaikan tarif hingga 50% pada produk-produk impor dari China, ketegangan perdagangan antara AS dan China kembali menjadi perhatian utama bagi pasar Asia.

Kebijakan tarif tinggi dari AS diperkirakan akan menekan ekspor China, yang merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Jika kondisi ini terjadi, maka potensi penurunan permintaan dari China akan berdampak langsung terhadap ekspor Indonesia. Morgan Stanley bahkan memperingatkan bahwa dampak dari kebijakan tarif ini mungkin lebih kecil dibandingkan periode 2018-2019, namun penurunan kepercayaan korporasi dan investasi global dapat memperlambat siklus ekonomi di kawasan Asia.

Inflasi AS

Di Amerika Serikat, fokus investor akan tertuju pada data inflasi yang akan dirilis pada Rabu (13/11/2024). Konsensus menyebutkan angka inflasi inti diharapkan mencapai 3,3% secara tahunan, sementara inflasi umum diperkirakan sebesar 2,4%. Jika data inflasi ternyata melebihi ekspektasi, ini bisa memicu sentimen hawkish dari bank sentral AS The Federal Reserve (Teh Fed), di mana tekanan untuk menaikkan suku bunga akan semakin kuat.

Kenaikan suku bunga berpotensi memperkuat dolar AS, yang secara otomatis akan berdampak negatif pada nilai tukar mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena meningkatkan beban biaya impor dan menekan likuiditas.

Pada Kamis (14/11/2024), data Producer Price Index (PPI) tahunan AS akan diumumkan dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 1,8%.

Selain itu, pasar juga akan memantau angka klaim pengangguran awal yang diperkirakan di kisaran 225 ribu. Jika data pengangguran lebih tinggi dari ekspektasi, ini akan menimbulkan kekhawatiran terhadap kekuatan pemulihan sektor tenaga kerja AS. Dengan kondisi inflasi yang tetap tinggi, peningkatan angka pengangguran dapat mengakibatkan ketidakpastian pada proyeksi pertumbuhan ekonomi AS ke depan, sehingga berpotensi menurunkan optimisme pasar.

Secara keseluruhan, pekan ini akan menjadi periode yang penuh kehati-hatian bagi pasar Asia. Dengan berbagai faktor eksternal yang sangat dinamis, termasuk kemungkinan kebijakan proteksionis dari AS, pasar di kawasan ini diperkirakan akan mengalami volatilitas yang tinggi. Sentimen investor akan bergantung pada perkembangan data ekonomi yang dirilis dan bagaimana respons kebijakan dari masing-masing negara.

Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Indonesia: Indeks Kepercayaan Konsumen (OCT)

  • China: Penjualan Kendaraan Tahunan (YoY OCT)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • IPO DAAZ

  • RUPSlb masa

  • Cash Dividend SMAR

Berikut untuk indikator ekonomi RI :


CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular