Daftar Warisan Abadi Soekarno - Jokowi: GBK, KPK, BPJS Hingga MRT

Era Presiden BJ Habibie
Presiden BJ Habibie menjabat sebagai Presiden Indonesia dari 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999, menggantikan Soeharto yang lengser setelah gelombang reformasi.
Meskipun masa kepemimpinannya singkat, Habibie meninggalkan beberapa prestasi penting yang berpengaruh besar pada perkembangan demokrasi, kebebasan, dan kemajuan teknologi di Indonesia. Berikut adalah warisan penting dari era BJ Habibie:
Undang-undang Otonomi Daerah
Salah satu prestasi terbesar BJ Habibie adalah pengesahan Undang-Undang Otonomi Daerah pada tahun 1999. UU ini memberikan wewenang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya dan kebijakan di wilayahnya masing-masing.
Otonomi daerah bertujuan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat serta menciptakan pemerintahan yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal. UU ini juga menjadi tonggak penting dalam desentralisasi kekuasaan setelah era sentralisasi yang diterapkan selama kepemimpinan Soeharto.
Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah mendapatkan kebebasan yang lebih luas dalam mengambil keputusan, terutama dalam hal keuangan, pembangunan, dan manajemen sumber daya.
2. Kebebasan Pers
Di bawah kepemimpinan BJ Habibie, Indonesia mengalami perubahan besar dalam hal kebebasan pers. Habibie mencabut berbagai aturan yang membatasi kebebasan media, termasuk pembatasan penerbitan surat kabar dan majalah. Pers tidak lagi harus mendapatkan izin dari pemerintah untuk terbit, sehingga era kebebasan pers di Indonesia dimulai.
Kebijakan ini memungkinkan media untuk lebih kritis terhadap pemerintah dan membawa isu-isu penting yang sebelumnya ditutup-tutupi ke publik. Kebebasan pers yang diberikan Habibie membuka jalan bagi terbentuknya media yang lebih independen, berani, dan bebas dari sensor pemerintah.
![]() Suasana Pemakaman BJ Habibie (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto) |
3. Pemilu Demokratis 1999
Selama masa jabatan BJ Habibie, Indonesia menggelar Pemilu pertama yang bebas dan demokratis pada tahun 1999. Pemilu ini dianggap sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah demokrasi Indonesia, karena dilakukan secara terbuka dan partisipatif, berbeda dari pemilu pada era Orde Baru yang dikendalikan secara ketat oleh pemerintah.
Pemilu 1999 diikuti oleh banyak partai politik, yang menandai akhir dari dominasi Golkar dan dimulainya era multipartai di Indonesia. Pemilu ini berhasil memilih anggota DPR dan MPR baru yang lebih demokratis, sekaligus membuka jalan bagi terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke-4 RI.
4. Pembebasan Timor Timur
Pada masa pemerintahan Habibie, salah satu isu besar yang dihadapi adalah status Timor Timur (sekarang Timor Leste). Setelah bertahun-tahun menjadi wilayah yang dipersengketakan, Habibie mengambil keputusan untuk mengizinkan Timor Timur mengadakan referendum, yang akhirnya memutuskan untuk merdeka dari Indonesia pada 1999.
Meskipun langkah ini kontroversial, keputusan Habibie untuk menghormati hasil referendum tersebut diakui sebagai langkah yang menunjukkan komitmennya terhadap demokrasi dan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor Timur. Hal ini juga mengakhiri konflik panjang di wilayah tersebut, meskipun menyebabkan gejolak di dalam negeri.
5. Reformasi Hukum
Di bawah kepemimpinan BJ Habibie, pemerintah Indonesia mulai melakukan reformasi di sektor hukum dan peradilan. Langkah-langkah ini termasuk upaya untuk memperkuat independensi lembaga peradilan dan mengakhiri dominasi pemerintah terhadap sistem hukum.
Walaupun proses reformasi ini baru dimulai pada era Habibie, ia meletakkan fondasi untuk perubahan lebih lanjut dalam upaya memperbaiki sistem hukum yang lebih transparan dan adil.
6. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
Habibie juga memainkan peran penting dalam reformasi militer, khususnya dengan mengurangi peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam kehidupan politik dan pemerintahan.
Pada era Orde Baru, ABRI memainkan peran ganda dalam bidang keamanan dan politik. Namun, di bawah pemerintahan Habibie, peran politik ABRI secara bertahap mulai dikurangi sebagai bagian dari reformasi demokrasi yang lebih luas.
Era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
Presiden Abdurrahman Wahid, yang dikenal sebagai Gus Dur, menjabat sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
Selama masa kepemimpinannya, Gus Dur dikenal sebagai sosok yang sangat pluralis dan memperjuangkan kebebasan beragama serta hak-hak kelompok minoritas.
Meskipun masa jabatannya singkat dan penuh dengan tantangan politik, Gus Dur berhasil mewujudkan berbagai kebijakan penting yang mempromosikan kesetaraan, kebebasan, dan pluralisme. Berikut adalah beberapa warisan penting dari era Presiden Abdurrahman Wahid:
Pengakuan Konghucu
Salah satu kebijakan terpenting Gus Dur adalah pengakuan agama Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia. Sebelumnya, di bawah Orde Baru, penganut Konghucu mengalami diskriminasi dan agama mereka tidak diakui secara resmi oleh negara.
![]() Gus Dur |
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur mengembalikan status Konghucu sebagai agama yang sah di Indonesia, sehingga para penganutnya dapat dengan bebas menjalankan ajaran agama mereka tanpa khawatir diskriminasi.
Langkah ini menjadi simbol penting dari komitmen Gus Dur terhadap kebebasan beragama dan perlindungan hak-hak minoritas, terutama bagi masyarakat Tionghoa yang selama ini menghadapi berbagai bentuk diskriminasi.
2. Pencabutan Larangan Budaya Tionghoa
Selain mengakui Konghucu, Gus Dur juga mencabut berbagai larangan yang diberlakukan terhadap ekspresi budaya Tionghoa selama era Orde Baru.
Salah satu langkah yang paling signifikan adalah pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, yang melarang segala bentuk perayaan dan simbol budaya Tionghoa, termasuk perayaan Imlek dan penggunaan aksara Tionghoa di ruang publik.
Dengan langkah ini, Gus Dur memperbolehkan kembali perayaan Tahun Baru Imlek dan budaya Tionghoa lainnya dilakukan secara terbuka di Indonesia.
Pada tahun 2001, Gus Dur bahkan menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, yang kemudian ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh Presiden Megawati pada tahun 2003.
3. Promosi Pluralisme dan Toleransi
Gus Dur adalah tokoh yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme dan memperkuat semangat "Bhinneka Tunggal Ika" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ia secara konsisten mendorong pentingnya keberagaman dan hidup berdampingan secara damai di tengah masyarakat yang multikultural dan multireligius.
Sebagai ulama besar dan intelektual Islam, Gus Dur memiliki pemahaman mendalam tentang pentingnya toleransi beragama dan memperjuangkan hak-hak semua kelompok, termasuk yang berasal dari agama dan etnis minoritas.
Salah satu bentuk nyata dari komitmen pluralismenya adalah keterbukaannya terhadap dialog antaragama dan mendorong harmoni antara umat beragama di Indonesia.
4. Pemulihan Hak-hak Kelompok Minoritas
Gus Dur juga berupaya memulihkan hak-hak kelompok minoritas yang selama ini terpinggirkan. Selain pengakuan Konghucu dan pencabutan larangan budaya Tionghoa.
Gus Dur juga membuka ruang bagi kelompok-kelompok lain yang terpinggirkan, seperti komunitas Ahmadiyah, kelompok minoritas agama lain, dan kelompok adat.
Ia berkeyakinan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum, tanpa memandang latar belakang agama, ras, atau suku. Ini menunjukkan komitmennya terhadap keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Era Presiden Megawati Soekarnoputri (masa jabatan 23 Juli 2001- 20 OKtober 2004)
Presiden Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Presiden ke-5 Republik Indonesia dari 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004.
Sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia, Megawati menghadapi berbagai tantangan, termasuk mengelola dampak krisis ekonomi yang masih terasa setelah krisis Asia 1997 serta memulihkan stabilitas politik pasca reformasi.
![]() Tak Cuma Ganjar, Megawati Juga Kalah di Jateng |
Berikut beberapa prestasi dan kebijakan utama yang menonjol selama masa kepemimpinan Megawati:
Pembentukan KPK
Salah satu warisan paling penting dari era Megawati adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003. KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaga ini dibentuk untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah sangat merusak tatanan pemerintahan dan perekonomian Indonesia.
Dengan pembentukan KPK, Megawati menunjukkan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, meskipun tantangan yang dihadapi dalam melawan praktik korupsi masih sangat besar.
KPK diberi wewenang yang luas untuk menyelidiki, menuntut, dan menindak pelaku korupsi, serta berfungsi sebagai lembaga independen yang diharapkan tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan politik.
![]() KPK Gelar Konferensi Pers (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto) |
2. UU Tindak Pidana Korupsi
Selain pembentukan KPK, di masa kepemimpinan Megawati juga disahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
UU ini memberikan dasar hukum yang lebih kuat untuk pemberantasan korupsi di Indonesia, memperjelas definisi tindak pidana korupsi, serta menetapkan sanksi yang lebih berat bagi pelaku.
Penguatan kerangka hukum ini penting untuk mempercepat proses penindakan terhadap kasus korupsi yang selama ini banyak tersendat, serta memberikan landasan yang kokoh bagi KPK untuk menjalankan tugasnya.
3. Nasionalisasi BUMN
Selama masa pemerintahan Megawati, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk melakukan restrukturisasi dan konsolidasi terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu yang paling menonjol adalah nasionalisasi atau penguatan kendali negara atas beberapa BUMN strategis yang sebelumnya terlibat dalam privatisasi besar-besaran.
Beberapa BUMN yang berhasil dinasionalisasi kembali di bawah kendali negara di antaranya adalah PT Indosat dan beberapa BUMN di sektor infrastruktur dan perbankan. Nasionalisasi ini bertujuan untuk menjaga aset negara yang dianggap penting bagi perekonomian nasional, serta memastikan bahwa pengelolaannya dilakukan untuk kepentingan publik.
4. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Pada masa Megawati, proses desentralisasi yang telah dimulai sebelumnya terus berjalan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah bertujuan untuk memberikan lebih banyak kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya dan pembangunan lokal. Ini menjadi bagian dari agenda reformasi untuk mengurangi sentralisasi kekuasaan di Jakarta dan memberikan lebih banyak kontrol kepada pemerintah daerah.
Megawati mendorong pelaksanaan otonomi daerah sebagai langkah untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, meskipun implementasinya tidak selalu mulus di setiap daerah.
5. Penyelesaian Konflik Aceh dan Maluku
Selama masa pemerintahan Megawati, Indonesia menghadapi beberapa konflik domestik, termasuk di Aceh dan Maluku. Di Aceh, konflik separatis dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berlangsung lama.
Meskipun perjanjian damai belum tercapai selama masa jabatannya, Megawati melakukan upaya diplomasi dan menerapkan kebijakan darurat militer di Aceh sebagai langkah untuk menstabilkan situasi.
Di Maluku, pemerintahannya juga berupaya meredakan ketegangan dan kekerasan yang terjadi antara kelompok Muslim dan Kristen yang menyebabkan konflik sektarian. Berbagai langkah perdamaian ditempuh untuk meredam konflik dan memulihkan keamanan.
(mae)