
China Buat Dunia Kecewa, Kini Investor Dibuat Deg-Degan oleh Amerika

Saham di bursa AS mengalami rebound pada Selasa atau Rabu dini hari waktu Indonesia seiring dengan penurunan harga minyak dan investor mengevaluasi ketegangan yang sedang berlangsung di Timur Tengah.
Dilansir dari CNBC International, Indeks S&P 500 naik 0,97% dan ditutup di 5.751,13, sedangkan Nasdaq Composite naik 1,45% menjadi 18.182,92. Indeks Dow Jones Industrial Average bertambah 126,13 poin, atau 0,3%, dan berakhir di 42.080,37.
Futures minyak West Texas Intermediate turun 4,6% pada hari Selasa saat para pedagang memantau kemungkinan pembalasan Israel terhadap serangan rudal Iran dan upaya AS untuk mencegah konflik regional yang lebih luas.
Pergerakan ini memberikan tekanan pada saham energi, dengan sektor S&P merosot 2,6%. Marathon Petroleum dan Valero Energy masing-masing kehilangan 7,7% dan 5,3%. "Perang sepertinya menjadi perhatian utama semua orang. Gambaran besarnya adalah pemilihan, dan ada banyak ketidakpastian terkait pajak dan bagaimana itu akan memengaruhi pendapatan ke depannya."" kata Robert Pavlik, manajer portofolio senior di Dakota Wealth Management, kepada CNBCÂ International.
Saham teknologi menguat pada hari Selasa, dengan Nvidia dan Broadcom masing-masing naik 4% dan 3%. Meta Platforms, Tesla, dan Microsoft juga naik setidaknya 1%, sementara Palo Alto Networks melonjak 5%. Awal bulan perdagangan baru ini membawa volatilitas saat kekhawatiran meningkat tentang eskalasi konflik di Timur Tengah.
Kenaikan imbal hasil obligasi juga memberi tekanan pada pasar, dengan suku bunga Treasury 10 tahun mencapai lebih dari 4%.
Pasar sedikit pulih di akhir minggu lalu setelah laporan pekerjaan yang sangat baik, dan Dow mencatatkan rekor penutupan tertinggi sepanjang masa. Namun, antusiasme memudar minggu ini saat investor beralasan bahwa Federal Reserve mungkin tidak akan seagresif itu dalam pemotongan suku bunga di masa depan mengingat kekuatan pasar tenaga kerja.
Data ekonomi jangka pendek juga semakin menunjukkan ketahanan ekonomi, meningkatkan kekhawatiran bahwa bank sentral mungkin "akan lambat" dalam melakukan pemotongan suku bunga ke depan, tambah Pavlik dari Dakota.
(rev/rev)