Waspada! Tensi Konflik Timteng Mendidih, Pasar Keuangan Rawan Ambruk
- Ketegangan di timur Tengah yang semakin mendidih membuat laju IHSG dan rupiah bisa bergerak secara fluktuatif
- Pekan ini akan ada rilis dua data ekonomi penting Indonesia yakni laju Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Manufaktur
- Akan ada rilis PMI China dan Non Farm Payroll (NFP) Amerika Serikat
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia rawan terguncang setelah tensi geopolitik di Timur Tengah lebih panas, meningkatkan potensi kenaikan harga minyak mentah sehingga risiko lonjakan inflasi semakin tinggi.
Selain itu, pasar finansial akan bergerak mengikuti data dan kebijakan dari berbagai ekonomi dunia. Sentimen dari dalam negeri akan rilis data inflasi dan manufaktur Indonesia yang menjadi sorotan utama. Sementara dari luar negeri datang dari China dan Amerika Serikat, serta pidato pejabat The Fed, akan menjadi penggerak utama.
Ulasan beragam sentimen yang mempengaruhi gerak pasar keuangan Indonesia tersaji di halaman tiga. Kemudian dilanjutkan halaman empat ada agenda dan jadwal emiten serta rilis data ekonomi.
Pasar keuangan Indonesia bergerak dengan volatil, baik pasar saham maupun nilai tukar rupiah, pada perdagangan pekan lalu.
Indeks Harga Saham Gabungan, indeks acuan utama pasar saham, berada di 7.696,92 pada penutupan perdagangan Jumat (27/9/2024), turun 0,6% dalam seminggu.
Penurunan perdagangan pekan lalu diiringi oleh aksi jual beli asing bersih yang cukup besar.
Berdasarkan statistik Bursa Efek Indonesia, nilai jual beli asing bersih tercatat Rp3,37 triliun. Nilai tersebut berbanding terbalik dari perdagangan minggu sebelumnya, di mana asing ramai membanjiri pasar saham Indonesia. Nilai beli bersih asing mencapai Rp4,71 triliun.
IHSG juga menjadi salah satu indeks dengan performa terburuk di regional Asia. Performa pasar saham RI kalah jauh dibandingkan dengan indeks saham Vietnam, India, Korea Selatan, dan Hong Kong.
Nasib mata uang Garuda tidak kalah 'ngenes' dibandingkan pasar saham. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar bak roller coaster pada pekan terakhir perdagangan September. Penyebabnya adalah sentimen.
Melansir Refinitiv, mata uang RI ditutup di angka Rp15.120/US$ pada perdagangan Jumat (27/9/2024), menguat 0,26% dari penutupan sebelumnya (26/9/2024).
Selama sepekan, nilai tukar rupiah berhasil menguat 0,17% dari posisi Rp15.195/US$ dan bahkan pada pekan ini tepatnya 25 September 2024, rupiah sempat menguat ke posisi Rp15.095/US$ dan merupakan posisi terkuat sejak 31 Juli 2023.
Penyebab terjadinya fluktuasi di pasar keuangan Indonesia selama sepekan kemarin adalah ramai rilis kabar genting dari Amerika Serikat (AS) dan China.
The Conference Board melaporkan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) AS sebesar 6,9 poin menjadi 98,7, penurunan terbesar sejak Agustus 2021.
Melemahnya kepercayaan konsumen AS ini membuat pasar memprediksi bahwa The Fed mungkin akan menurunkan suku bunga lebih lanjut, ini akan menekan dolar yang kemudian akan membuat aliran dana asing kembali mengalir deras ke Tanah Air.
Ekspektasi konsumen terhadap ekonomi AS dalam enam bulan ke depan turun menjadi 81,7, mencerminkan pesimisme yang kian meningkat. Kondisi ini diperburuk oleh pasar tenaga kerja yang melemah dan tingginya biaya hidup. Tekanan ini membuat konsumen AS lebih menahan belanja mereka, yang berdampak pada melemahnya dolar AS.
Dari sisi eksternal, sentimen positif bagi rupiah juga datang dari China. Bank Sentral China (PBoC) mengumumkan stimulus moneter besar-besaran, termasuk pemangkasan giro wajib minimum sebesar 50 basis poin dan suku bunga repo tujuh hari menjadi 1,5%.
Kebijakan ini diharapkan membantu mendorong perekonomian China yang sedang tertekan, memberikan dampak positif bagi perdagangan global dan mendukung penguatan rupiah.
Langkah PBoC ini memberikan kelonggaran bagi sektor properti dan rumah tangga di China, meskipun ada kekhawatiran terkait profitabilitas perbankan. Kombinasi sentimen negatif dari AS dan stimulus dari China menciptakan momentum positif bagi rupiah.
Adapun gejolak yang membuat rupiah turun adalah sentimen dari Amerika Serikat, yang tengah menantikan rilis data final pertumbuhan ekonomi (PDB) kuartal II-2024.
Konsensus pasar memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan meningkat signifikan, dari 1,4% menjadi 3%. Proyeksi ini mengindikasikan keberhasilan para pembuat kebijakan AS dalam mengendalikan inflasi tanpa memicu resesi.
Kondisi ini mendorong spekulasi bahwa bank sentral AS (The Fed) tidak akan segera menurunkan suku bunga, membuat pelaku pasar mengambil posisi lebih berhati-hati terhadap aset-aset berisiko, termasuk mata uang di negara berkembang seperti rupiah.
Selain itu, pidato Ketua The Fed, Jerome Powell, dan beberapa pejabat tinggi lainnya turut menjadi fokus pasar global. Powell diperkirakan akan memberikan isyarat terkait arah kebijakan suku bunga di masa depan.
Jika sinyal tersebut mengindikasikan suku bunga akan tetap tinggi lebih lama, maka hal ini akan semakin memperkuat posisi dolar AS dan berujung pada tekanan terhadap mata uang Garuda serta pasar saham.
Alhasil, investor cenderung mengalihkan modal dari negara-negara berkembang, yang berujung pada pelemahan rupiah dan IHSG.
(ras/ras)