Newsletter

Mampukah Saham Bank Bangkit di Tengah "Badai" dari China & AS?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Jumat, 27/09/2024 05:55 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Pasar keuangan Tanah Air beragam pada perdagangan kemarin, di mana IHSG dan SBN bergairah, namun sayangnya rupiah menjadi yang terburuk di Asia-Pasifik.
  • Wall Street kompak menguat di tengah meredanya kekhawatiran mengenai perekonomian AS
  • Hari ini  pasar akan memantau rilis data inflasi PCE, data final ekonomi AS pada kuartal II-2024, dan pernyataan Powell terkait arah suku bunga acuan ke depannya.

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air terpantau beragam pada perdagangan Kamis (26/9/2024) kemarin, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik tipis, sedangkan Surat Berharga Negara (SBN) kembali mengalami kenaikan imbal hasil (yield), dan sayangnya rupiah terdepresiasi.

Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih volatile menunggu data inflasi konsumen pribadi AS (PCE). Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

IHSG pada perdagangan kemarin ditutupn aik tipis 0,05% ke posisi 7.744,52. Dalam dua hari terakhir hingga kemarin, IHSG sejatinya bergerak di rentang level psikologis 7.600-7.700.

Pada awal sesi I, IHSG dalam dua hari terakhir selalu terkoreksi ke 7.600-an. Namun menjelang penutupan perdagangan, IHSG berhasil rebound dan pada akhirnya kembali ke level 7.700-an.

Nilai transaksi IHSG pada kemarin mencapai sekitar Rp 17,8 triliun dengan melibatkan 22,6 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,4 juta kali. Sebanyak281saham naik,310 saham terkoreksi, dan 211 saham stabil.

Secara sektoral, sektor properti menjadi penyokong utama yakni sebesar 2,01%. Sedangkan dari sisi saham, emiten energi baru dan terbarukan (EBT) milik konglomerat Prajogo Pangestu yakni PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi penyokong utama yakni mencapai 12,3 indeks poin.

Investor asing kembali melepas saham-saham di RI, terlihat penjualan bersih (net sell) asing makin membesar yakni mencapai Rp 2,27 triliun di seluruh pasar dengan rincian sebesar Rp 2,53 triliun di pasar reguler, tetapi di pasar tunai dan negosiasi asing kembali mencatatkan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 261,06 miliar.

Sementara itu di Asia-Pasifik, mayoritas bursa sahamnya terpantau sumringah. Kecuali indeks Straits Times Singapura, FTSE KLCI Malaysia, dan yang koreksinya paling parah yakni SET Thailand.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin berbalik melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 15.160/US$ di pasar spot, terkoreksi 0,43%.

Sementara di Asia, mata uangnya juga secara mayoritas menguat, dengan baht Thailan menjadi yang paling kencang yakni melonjak 0,89%. Sayangnya, rupiah menjadi yang terburuk di Asia-Pasifik pada perdagangan kemarin.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Kamis kemarin.

Adapun di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin kembali melemah, terlihat dari imbali hasil (yield) yang kembali naik.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 2,8 basis poin (bps) menjadi 6,47%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, maka tandanya investor sedang melepas SBN.

Rupiah yang menjadi terburuk di Asia-Pasifik kemarin karena dipicu oleh sentimen dari Amerika Serikat, yang tengah menantikan rilis data final pertumbuhan ekonomi (PDB) kuartal II-2024.

Konsensus pasar memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan meningkat signifikan, dari 1,4% menjadi 3%. Proyeksi ini mengindikasikan keberhasilan para pembuat kebijakan AS dalam mengendalikan inflasi tanpa memicu resesi.

Kondisi ini mendorong spekulasi bahwa bank sentral AS (The Fed) tidak akan segera menurunkan suku bunga, membuat pelaku pasar mengambil posisi lebih berhati-hati terhadap aset-aset berisiko, termasuk mata uang di negara berkembang seperti rupiah.

Selain itu, pidato Ketua The Fed, Jerome Powell, dan beberapa pejabat tinggi lainnya turut menjadi fokus pasar global. Powell diperkirakan akan memberikan isyarat terkait arah kebijakan suku bunga di masa depan.

Jika sinyal tersebut mengindikasikan suku bunga akan tetap tinggi lebih lama, maka hal ini akan semakin memperkuat posisi dolar AS dan berujung pada tekanan terhadap mata uang Garuda.

Alhasil, investor cenderung mengalihkan modal dari negara-negara berkembang, yang berujung pada pelemahan rupiah.

Dukungan terhadap penguatan ekonomi AS juga didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah, yang diperkirakan akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga 2,7% pada tahun ini.

Optimisme ini membuat aset dalam bentuk dolar AS semakin diminati oleh investor global, sehingga meningkatkan tekanan terhadap rupiah.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) harus terus memantau perkembangan ini guna menjaga stabilitas nilai tukar dan mencegah dampak negatif yang lebih dalam terhadap perekonomian domestik.

Jika rupiah makin merana, maka juga akan berdampak kepada pergerakan IHSG. Hal ini karena saham-saham yang rentan terhadap pergerakan rupiah, utamanya perbankan akan cenderung terbebani.

Apalagi, sektor perbankan raksasa di Indonesia masih menjadi penyokong utama IHSG, sehingga koreksi perbankan tentunya akan membebani IHSG.


(chd/chd)
Pages