
Mampukah Saham Bank Bangkit di Tengah "Badai" dari China & AS?

Pada hari ini, pelaku pasar perlu mencermati beberapa sentimen, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sentimen pasar dalam dua hari terakhir tertuju ke stimulus ekonomi China. Stimulus jumbo sempat mebuat IHSG jeblok tetapi sudah ke arah positif. Sebaliknya, mata uang rupiah masih tersungkur.
Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, kepada CNBC Indonesia mengatakan pasar semula terlalu euforia melihat stimulus dari China. Namun, pada awal pengumuman stimulus, bursa saham RI justru rontok. Dengan adasanya stimulus, pasar saham Tiongkok kini bisa menjadi menarik dengan adanya stimulus sehingga investor asing dapat berpindah ke bursa saham China.
Namun, badai dari China sudah sedikit mereda dan bursa saham Indonesia mulai bangkit meskipun rupiah masih tertekan.
Setelah gonjang ganjing akibat China, pelaku pasar kini mengarahkan mata ke AS, terutama terkait dengan rilis data final produk domestik bruto (PDB) AS periode kuartal II-2024 yang sama seperti data perkiraan kedua.
Selain itu, ada sentimen rilis data klaim pengangguran mingguan AS, pidato para pejabat The Fed terkait arah kebijakan suku bunga ke depannya, dan rilis data inflasi PCE.
Sentimen pasar dalam dua hari terakhir tertuju ke
Berikut sentimen pasar yang perlu dicermati oleh pelaku pasar pada hari ini:
Saham Bank Mulai Bangkit?
Pada perdagangan kemarin, saham-saham perbankan raksasa tampaknya mulai membaik, di mana beberapa sudah ada yang berhasil rebound.
Dari lima saham perbankan raksasa, ada satu saham yang ditutup menghijau kemarin yakni saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) yang ditutup melesat 0,98% ke posisi Rp 3.100/unit.
Namun, secara mayoritas saham perbankan raksasa masih terkoreksi kemarin, di mana saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) masih menjadi yang terparah koreksinya yakni ambles 5,16% menjadi Rp 5.050/unit kemarin.
Diketahui, investor asing masih mencatatkan net sell di beberapa saham perbankan raksasa. Saham BBRI menjadi yang paling banyak dilepas asing kemarin yakni mencapai Rp 2,8 triliun.
Saham perbankan yang masih lesu terjadi karena investor cenderung masih melakukan aksi profit taking di saham-saham perbankan, mengingat harganya yang sudah mengalami kenaikan signifikan hampir sebulan terakhir.Sebelumnya, saham perbankan makin bergairah setelah dipangkasnya suku bunga acuan BI dan The Fed. Pasalnya, dengan tingkat suku bunga yang relatif rendah dapat mendorong daya beli masyarakat, meningkatkan konsumsi sehingga bisa mendorong kredit dan meningkatkan ketertarikan investor atas aset yang lebih berisiko seperti saham.
BI pada pekan lalu memutuskan untuk memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,00%. Bahkan, BI ke depan masih berpotensi memangkas suku bunga acuannya jika kondisi ekonomi dan rupiah semakin membaik.
Begitu juga dengan The Fed, di mana suku bunga acuannya resmi dipangkas sebesar 50 bps menjadi 4,75%-5%. The Fed juga diprediksi masih akan memangkas suku bunga acuannya pada pertemuan berikutnya, dengan catatan inflasi dan tenaga kerja semakin mendingin.
Ekonomi AS Pada Kuartal II-2024 Tumbuh 3%.
Perekonomian AS berkembang lebih cepat dari perkiraan semula untuk tahun-tahun antara 2021 dan 2023, menurut pembaruan data tahunan pemerintah yang dirilis Kamis kemarin.
Kinerja negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini menjadi faktor kunci bagi para pemilih ketika AS bersiap untuk pemilihan presiden pada November mendatang.
Para pemilih telah merasakan dampak dari tingginya biaya hidup dalam beberapa tahun terakhir bahkan ketika inflasi telah mereda. Hal ini dapat mempengaruhi cara mereka menilai pemerintahan Partai Demokrat saat ini ketika mereka menuju tempat pemungutan suara.
Departemen Perdagangan AS mengumumkan PDB tumbuh sebesar 2,9% pada 2023, naik dari perkiraan sebelumnya sebesar 2,5%. Departemen itu menambahkan, pertumbuhan pada 2022 juga direvisi naik dari 1,9% menjadi 2,5%.
Kedua perubahan tersebut terutama mencerminkan revisi naik terhadap belanja konsumen dan investasi bisnis. Belanja konsumen yang lebih baik dari perkiraan berarti pertumbuhan PDB juga direvisi sedikit naik untuk 2021, sementara penurunan PDB pada 2020 tidak berubah.
Namun, kata Departemen Perdagangan, gambaran ekonomi yang lebih luas masih "sedikit berubah" dari perkiraan sebelumnya.
Sementara itu, laporan terpisah pemerintah yang dirilis pada Kamis kemarin menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB pada kuartal kedua tahun ini tidak berubah, yaitu tetap pada 3% secara tahunan, atau sama seperti data PDB perkiraan kedua.
Namun, laju pertumbuhan PDB AS untuk kuartal pertama direvisi sedikit lebih tinggi menjadi 1,6%, berdasarkan data dari Departemen Perdagangan AS.
Klaim Pengangguran AS Sentuh Terendah Sejak 4 Bulan Terakhir.
Klaim tunjangan pengangguran di AS turun ke level terendah dalam empat bulan terakhir, meskipun terjadi perlambatan dalam perekrutan. Data ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja tetap tangguh meski ada tanda-tanda perlambatan ekonomi.
Menurut data Departemen Tenaga Kerja AS yang dirilis semalam waktu Indonesia, klaim awal tunjangan pengangguran turun sebesar 4.000 menjadi 218.000 untuk pekan yang berakhir pada 21 September. Angka ini lebih baik dari perkiraan median para ekonom yang memproyeksikan 223.000 klaim.
Klaim berkelanjutan, yang mewakili jumlah orang yang terus menerima tunjangan, naik menjadi 1,83 juta untuk pekan yang berakhir pada 14 September. Meskipun terjadi kenaikan, angka ini masih di bawah level yang tercatat antara Juni dan Agustus lalu.
Rata-rata klaim selama empat minggu, yang mengurangi volatilitas mingguan, juga mengalami penurunan menjadi 224.750, terendah sejak Juni.
Klaim pengangguran tetap rendah dalam beberapa bulan terakhir, meskipun tingkat pengangguran sedikit meningkat dan pertumbuhan lapangan kerja melambat. Para ekonom menyebut hal ini terjadi karena pekerja yang layak mendapatkan tunjangan tersebut tidak kehilangan pekerjaan mereka.
Meski angka klaim mingguan tetap rendah, beberapa perusahaan besar telah mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam bulan ini.
Paramount Global baru saja melakukan gelombang PHK kedua pada Selasa lalu, sementara General Motors Co minggu lalu menyatakan akan memberhentikan dua pertiga pekerja di pabrik perakitan di Kansas hingga pertengahan 2025.
Jika gelombang PHK meningkat dalam beberapa bulan mendatang, para pejabat The Fed mungkin mempertimbangkan untuk menurunkan suku bunga lebih cepat daripada yang direncanakan saat ini.
Rilis Data Inflasi PCE
Pasar akan menanti rilis data indeks pengeluaran dan konsumsi pribadi (personal consumption expenditure/PCE) atau inflasi AS periode Agustus 2024.
Konsensus pasar di Trading Economics memperkirakan inflasi PCE AS pada bulan lalu akan kembali menurun menjadi 2,4% (year-on-year/yoy). Sementara itu, secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi PCE AS diprediksi tidak banyak berubah dari periode Juli lalu di 0,2%.
Data ini juga akan dipantau ketat mengingat akan mempengaruhi sikap The Fed dalam kebijakan suku bunga acuan berikutnya. Jika inflasi PCE melandai, maka hal ini mengikuti penurunan inflasi utama AS pada Agustus lalu yang makin dekati target The Fed 2%.
Pidato Pejabat The Fed
Para pejabat Federal Reserve berbicara tentang kebijakan moneter dan prospek ekonomi pada berbagai acara yang dijadwalkan.
Adapun semalam, beberapa pejabat The Fed yang akan memberikan pidatonya yakni The Fed Boston Susan M. Collins, Gubernur The Fed Adriana D. Kugler, Presiden The Fed New York John C. Williams, dan Wakil Gubernur The Fed Michael S. Barr.
Sejatinya, Ketua The Fed, Jerome Powell semalam juga memberikan pidatonya melalui rekaman. Namun karena pidato Powell tidak berkaitan dengan kebijakan moneter, maka pergerakan pasar saham AS tidak terlalu terpengaruh dengan pidato Powell semalam.
Beberapa pembuat kebijakan ini tidak memberikan pernyataan yang layak disebutkan, tetapi yang lain melakukannya.
Gubernur The Fed Michelle Bowman, yang tidak setuju dengan keputusan The Fed untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 bps, mengatakan bahwa ia lebih suka "kalibrasi ulang kebijakan yang lebih terukur" dan bahwa ia terus melihat "risiko yang lebih besar" terhadap stabilitas harga.
Saat ini, pasar memperkirakan bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga lebih lanjut sebesar 75 bps secara kolektif dalam dua pertemuan yang tersisa, berdasarkan perangkat CME FedWatch.
Perangkat tersebut juga menunjukkan bahwa kemungkinan The Fed mengumumkan pemotongan suku bunga kedua berturut-turut sebesar 50 bps pada November telah meningkat menjadi 61%, dari sebelumnya mencapai 39% seminggu yang lalu.
Komentar terbaru dari para pembuat kebijakan The Fed mengindikasikan bahwa mereka khawatir akan memburuknya kondisi pasar tenaga kerja.
Dari 12 anggota yang dipimpin Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), hanya Gubernur Fed Michelle Bowman yang mendukung dimulainya siklus pemotongan suku bunga secara bertahap dengan pemotongan suku bunga sebesar 25 bps pada pekan lalu.
