Newsletter

BREN Buat Investor Saham Ketar-Ketir, Rupiah Makin Terancam Amerika

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
24 September 2024 06:00
Prajogo Pangestu. (CNN Indonesia/Dinda Audriene)
Foto: Prajogo Pangestu. (CNN Indonesia/Dinda Audriene)

Pada hari ini, pelaku pasar perlu mencermati beberapa sentimen, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Pergerakan BREN masih menjadi perhatian utama pasar hari ini, terutama karena saham tersebut terkena Auto Reject Bawah (ARB) dua hari.
Menghijaunya Wall Street diharapkan bisa menjadi sentimen positif bagi pasar saham Indonesia tetapi naiknya indeks dolar perlu diwaspadai. 

Berikut sentimen pasar yang perlu dicermati oleh pelaku pasar pada hari ini.

Nasib REN

Market cap saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) kehilangan lebih dari Rp500 triliun setelah mengalami Auto Reject Bawah (ARB) dua hari beruntun gara-gara didepak dari indeks FTSE.
Pada Kamis pekan lalu (19/9/2024), FTSE Russell mengumumkan bahwa saham BREN PT, perusahaan energi terbarukan milik konglomerat Prajogo Pangestu akan dihapus dari FTSE Global All Cap Index.

Penghapusan ini berlaku efektif mulai 25 September 2024. Manajemen FTSE mengungkapkan alasan penghapusan tersebut karena saham BREN hanya dikuasai empat pemegang saham utama sebanyak 97% dari seluruh saham yang beredar.

Dalam dua hari perdagangan setelah pengumuman FTSE mengeluarkan BREN, saham-nya mengalami ARB beruntun dan telah anjlok 35,83% ke posisi Rp 7.075 per lembar hingga akhir perdagangan kemarin. Dalam periode tersebut BREN kapitalisasi pasar-nya sudah menguap Rp 528,45 triliun.

Kapitalisasi saham BREN kini kurang dari Rp 1 kuadriliun yang membuatnya harus rela tergeser sebagai saham paling ber-value di bursa, digantikan lagi oleh saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA)

Realisasi APBN Agustus 2024 Tekor Rp 153,7 Triliun

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per Agustus 2024 tercatat defisit sebesar Rp153,7 triliun atau 0,68% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

"Defisit APBN hingga akhir Agustus Rp153,7 triliun atau 0,68% dari PDB, masih dalam track sesuai APBN 2024," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers, Senin (23/9/2024).

Meski demikian keseimbangan primer masih surplus Rp 161,8 triliun. Pendapatan negara tercatat sebesar Rp 1.777 triliun (63,4%), kontraksi 2,5% secara year on year (yoy). Ia mengatakan, kontraksi ini lebih kecil dibanding bulan yang sama tahun lalu sebesar 6,5%.

"Ini kontraksi 2,5% secara yoy, namun kontraksi ini lebih kecil dibanding bulan sebelumnya 6,5% atau Juli bisa mencapai 8%," kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN Kita di kantornya, Jakarta, Senin (23/9/2024).

Sri Mulyani mengatakan, meski penerimaan negara merosot hingga bulan ini, namun sampai akhir tahun ia pastikan akan bisa mencapai target Rp 2.802,3 triliun.

"Sampai akhir tahun kita bisa jaga agar pendapatan terus bisa mengejar sesuai target meskipun kita hadapi situasi tidak ringan, terutama beberapa pos pendapatan seperti dari pajak badan," tegasnya.

Sementara itu, belanja negara tumbuh melesat 15,3% yoy menjadi Rp 1.930,7 triliun. Capaian belanja negara ini mencapai 58,1% dari pagu tahun ini.

Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pertumbuhan belanja negara sangat kuat sejak awal tahun ini. Hal ini karena adanya belanja kebutuhan Pemilu pada awal tahun dan belanja bantuan sosial (Bansos) El-Nino.

 

Ekonomi Indonesia Pada Kuartal III-2024 Bakal Tumbuh 5,06%.

Dalam konferensi pers APBN per Agustus 2024, Sri Mulyani juga memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2024 akan tumbuh di kisaran 5,06%.

"Kami memperkirakan untuk kuartal III masih akan relatif stabil di atas 5%. Menurut estimasi di BKF (Badan Kebijakan Fiskal) 5,06%, jadi ini mungkin masih akan on track disekitar angka tersebut," ujar Sri Mulyani saat konferensi pers APBN di kantornya, Jakarta, Senin (23/9/2024).

Dengan perkiraan itu, dia mengatakan target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2024 masih akan sesuai perkiraan yakni di kisaran 5,2%.

Sebab, pada kuartal II-2024, realisasi pertumbuhan ekonomi RI di kisaran 5,05% secara tahunan (yoy). Semester I-2024 secara kumulatif atau cumulative to cumulative (ctc) tumbuh 5,08%.

"Untuk sampai dengan kuartal III-2024, kami perkirakan masih akan terjaga momentumnya," ucap Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengatakan, terjaganya pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% ini akan menjadi capaian yang baik bagi Indonesia di tengah lingkungan global yang terus dinamis.

Adapun faktor dorongan utama laju pertumbuhan itu ia katakan adalah mulai meredanya tren suku bunga acuan global, ditandai dengan turunnya kebijakan moneter bank sentral AS Fed Fund Rate (FFR) sebesar 50 basis points (bps) bulan ini.

"Volatilitas di pasar keuangan mulai menunjukkan penurunan dan makin baik, sementara arah kebijakan moneter di negara maju juga menunjukkan tren yang membaik," tegas Sri Mulyani.

"Hal yang tak bisa diprediksi adalah geopolitik, termasuk kondisi pemilu di AS yang akan menentukan arah kebijakan. Ini masih akan harus kita waspadai," ungkapnya.

 

Asing Terus Banjiri Pasar Keuangan RI

Investor asing hingga Senin kemarin masih membanjiri pasar keuangan RI. Hal ini terjadi pasca bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk memangkas suku bunganya sebesar 50 basis poin (bps).

Masuknya dana asing ini menjadi catatan positif di masa-masa terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) serta menjelang pemerintahan baru Prabowo Subianto pada 20 Oktober mendatang.

Dengan aliran dana asing yang masif maka rupiah diharapkan semakin kuat sehingga mengurangi beban pemerintahan baru dalam menjaga stabilitas nilai tukar.

Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 17-19 September 2024, investor asing tercatat beli neto Rp 25,6 triliun terdiri dari beli neto Rp 19,76 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), Rp 4,19 triliun di pasar saham, dan beli neto sebesar Rp 1,66 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 19 September 2024, investor asing tercatat beli neto sebesar Rp 51,85 triliun di pasar saham, Rp 21,39 triliun di pasar SBN dan Rp 186,85 triliun di SRBI.

Sementara itu di pasar saham RI, berdasarkan data pasar, pada perdagangan kemarin, asing tercatat memburu sebanyak Rp 1,24 triliun di seluruh pasar dengan rincian sebesar Rp 1,01 triliun di pasar reguler dan sebesar Rp 228,01 miliar di pasar tunai dan negosiasi.

Dalam sepekan terakhir saja, asing sudah mencatatkan net buy sebesar Rp 22,66 triliun di seluruh pasar dengan rincian sebesar Rp 5,01 triliun di pasar reguler dan sebesar Rp 17,65 triliun di pasar tunai dan negosiasi.

Adapun sepanjang tahun ini, berdasarkan data pasar, asing di pasar saham RI sudah melakukan net buy sebesar Rp 56,12 triliun, yakni di pasar reguler sebesar Rp 8,44 triliun dan di pasar tunai dan negosiasi sebesar Rp 47,68 triliun.

Berdasarkan pemantauan CNBC Indonesia Research, sejak awal 2023 hingga saat ini, total net foreign inflow sejumlah Rp 25,6 triliun merupakan yang terbesar dan derasnya dana asing ke SBN juga merupakan yang terbesar dalam lebih dari 1,5 tahun terakhir.

Hal ini tak lepas dari semakin menariknya pasar keuangan domestik pasca The Fed memangkas suku bunganya dengan cukup besar yakni 50 bps didorong oleh meredanya inflasi serta angka ketenagakerjaan yang terus mendingin.

Untuk diketahui, saat ini suku bunga The Fed berada di level 4,75-5,00% , yang akan memberikan keringanan bagi masyarakat Amerika pada biaya bulanan kartu kredit, pinjaman pribadi, pembiayaan mobil, dan hipotek.

Bahkan tidak sampai disitu, anggota Fed memperkirakan suku bunga acuan median akan turun menjadi 4,4% pada akhir tahun, mencerminkan sekitar 50 bps pemotongan lebih lanjut dalam dua pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) berikutnya, menurut proyeksi ekonomi kuartalan Fed.

Hal ini semakin memperlebar selisih (spread) antara suku bunga BI dengan The Fed.

Selisih suku bunga yang sebelumnya sebesar 75 bps, tampak mengalami kenaikan menjadi 100 bps pasca The Fed pangkas 50 bps dan BI hanya menurunkan 25 bps.

Dengan semakin melebarnya selisih ini, maka investor asing akan semakin tertarik dengan pasar keuangan domestik karena dapat memberikan imbal hasil yang tinggi.

Lebih lanjut, SBN semakin diminati pelaku pasar karena tampak imbal hasil SRBI terus mengalami penurunan seiring berjalannya waktu. Terkhusus untuk tenor 12 bulan dari yang sempat menyentuh 7,54% pada Juni 2024 menjadi sekitar 7,1%.

Efek pelonggaran suku bunga BI ini juga berdampak pada semakin berkurangnya penerbitan SRBI.

CGS International mencatat dalam penerbitan terbaru, nominal issued untuk SRBI enam bulan maupun 12 bulan terpantau terus mengalami penurunan. Untuk tenor enam bulan, penerbitan SRBI tak sampai Rp1 triliun dan untuk tenor 12 bulan tak sampai Rp13 triliun.

CGSIFoto: Nominal Issued & Yield SRBI
Sumber: CGS International

Ketika jumlah penerbitan SRBI terus menurun, maka investor cenderung akan mencari instrumen investasi lainnya yang memberikan imbal hasil yang cukup tinggi, dan SBN adalah jawabannya.

 Data Ekonomi AS dan Pidato Pejabat The Fed

Dari AS, data ekonomi terbaru menunjukkan data awal dari aktivitas manufaktur AS yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) versi S&P Global pada periode September 2024 mencapai level terendah dalam 15 bulan terakhir.

Data awal PMI manufaktur Negeri Paman Sam pada bulan ini berada di angka 55,4, persis seperti yang diharapkan pasar dan naik 0,2 poin dari Agustus lalu.

Di lain sisi, Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic mengatakan bahwa ia mendukung pemangkasan suku bunga setengah persen pada pekan lalu dan yakin para pembuat kebijakan dapat bergerak lebih cepat daripada yang ia perkirakan untuk melonggarkan kebijakan moneter.

"Kemajuan inflasi dan pendinginan pasar tenaga kerja telah muncul jauh lebih cepat daripada yang saya bayangkan di awal musim panas. Saat ini, saya membayangkan normalisasi kebijakan moneter lebih cepat daripada yang saya kira tepat bahkan beberapa bulan yang lalu," katanya dalam sambutannya di Pusat Ekonomi dan Keuangan Eropa.

Sebagai pemilih tahun ini di Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang menetapkan suku bunga, Bostic menambahkan bahwa risiko pelemahan pasar tenaga kerja lebih lanjut menjadi perhatian yang sama besarnya dengan inflasi, yang memberi dorongan kepada The Fed untuk terus memangkas.

"Jika ekonomi era pandemi telah mengajarkan kita sesuatu, itu adalah untuk mengharapkan kejutan. Menurut saya, penyesuaian 50 basis poin pada pertemuan minggu lalu memposisikan kita dengan baik jika risiko terhadap mandat kita ternyata kurang seimbang daripada yang saya pikirkan," katanya lagi.

Dalam beberapa hari ke depan, masih ada beberapa pidato dari para pejabat The Fed, di mana pada pertemuan pekan lalu mayoritas pejabat The Fed sepakat untuk mengambil langkah memangkas suku bunga demi menyelamatkan perekonomian AS.

Indeks Dolar dan Imbal Hasil US Treasury Naik Lagi

Indeks dolar dan imbal hasil U STreasury merangkak lagi. Indeks dolar ditutup menguat 100,851 pada perdagangan kemarin, Senin (23/9/2024). Posisi tersebut adalah yang terkuat dalam empat hari terakhir.
Sementara itu, imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun naik ke 3,74% atau tertinggi dalam tiga hari terakhir. Imbal hasil kembali ke level 3,7% setelah lama turun ke 3,6%.

Kenaikan indeks dolar dan imbal hasil US Treasury patut diperhatikan pasar. Pasalnya, kondisi tersebut bisa kembali membawa investor asing balik ke AS. Akibatnya rupiah bisa tertekan.

(chd/chd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular