Plastik, BBM Sampai Snack Bakal Kena Cukai

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
24 July 2024 16:10
Suasana aktivitas pasar Nangka, Jakarta Pusat, Rabu (19/2). Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menerapkan cukai terhadap produk plastik secara keseluruhan, bukan hanya kantong plastik. Pasalnya, dari sebagian besar anggota berpandangan bahwa, apabila pemerintah ingin mengedepankan aspek lingkungan dan kesehatan, seharusnya cukai plastik bukan hanya ditunjukkan untuk kantong kresek saja. Tapi juga terhadap beberapa produk plastik lainnya, seperti minuman kemasan, kemasan makanan instan, dan lain sebagainya. Sri Mulyani juga mengajukan pengenaan beberapa produk kena cukai ke Komisi XI DPR. Salah satu barang yang akan kena cukai adalah kendaraan bermotor khususnya kendaraan yang masih mengeluarkan emisi CO2. Ketentuan yang akan diatur adalah, dikecualikan pada kendaraan:

Kendaraan yang tak menggunakan BBM seperti kendaraan listrik

Kendaraan umum, kendaraan pemerintah, kendaraan keperluan khusus seperti ambulan dan damkar

Kendaraan untuk kebutuhan ekspor

Berdasarkan bahan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang diterima CNBC Indonesia, belum ada besaran tarif yang diusulkan. Besaran tarif dapat berubah tergantung tujuan dari kebijakan pemerintah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Plastik (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Masyarakat kembali dihebohkan dengan isu penambahan objek kena cukai baru-baru ini, di mana isu tersebut menjelaskan bahwa barang yang akan dikenakan cukai nantinya bertambah,

Adapun barang-barang tersebut mulai dari bahan bakar minyak (BBM), produk pangan olahan bernatrium dalam kemasan atau snack kemasan, minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), serta shifting PPnBM Kendaraan Bermotor ke Cukai. Bahkan, tiket konser diisukan juga akan dikenakan cukai.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang melakukan kajian dan prakajian ekstensifikasi cukai untuk menggali potensi produk baru yang bisa dikenakan pungutan cukai.

"Kita sudah melakukan ini, saya kira ini perlu ada dorongan bapak/ibu sekalian, kajian ini perlu disampaikan supaya bisa menjadi inspirasi kebijakan kedepannya," ungkap Iyan dalamĀ streamingĀ Youtube Kuliah Umum PKN STAN 'Menggali Potensi Cukai', dikutip Rabu (24/7/2024).

Iyan menyebut pengenaan cukai untuk produk pangan olahan bernatrium dalam kemasan berkaitan dengan kesehatan karena bisa memicu penyakit tidak menular (PTM).

"Olahan bernatrium ternyata ada program di Bappenas yang RPJMN itu GGL (gula, garam dan lemak), ini berkaitan dengan penyakit tidak menular dan bahaya, lebih bahaya daripada penyakit yang menular karena tanpa sadar bapak/ibu sekalian mengonsumsi setiap hari," ujar Iyan.

Meski begitu, sejauh ini yang sudah jelas akan diterapkan oleh pemerintah adalah pengenaan cukai untuk produk plastik dan MBDK. Pasalnya targetnya sudah tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun keduanya juga masih digodok oleh pemerintah dan belum diterapkan hingga kini.

Sebagai informasi, saat ini objek cukai baru berlaku untuk etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan hasil tembakau. Jika dibandingkan dengan negara kawasan ASEAN, barang kena cukai di Indonesia masih jauh tertinggal.

"Malaysia aja sudah 4, kartu aja kena cukai. Di Brunei ada 22, fotografi kena cukai. Kemudian Filipina ada 8. Singapura (ada 4) meliputi miras, tembakau, kendaraan, minyak bumi. Harusnya di Jakarta juga (kendaraan) dikenakan cukai karena sudah mulai mengganggu masyarakat dan mengganggu ekonomi," tuturnya.

Ini Jenis Plastik yang Bakal Dikenakan Cukai

Isu penambahan objek barang yang akan dikenakan cukai juga menyasar ke produk plastik. Sejatinya, isu cukai plastik sudah berhembus cukup lama sebelum kembali ramai baru-baru ini.

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Kemenkeu, Iyan Rubiyanto mengatakan terdapat empat jenis produk plastik yang akan disasar untuk dikenakan cukai yaitu kantong plastik, kemasan plastik multilayer, styrofoam dan sedotan plastik.

"Produk-produk ini yang kami sasar ke depan kalau memang (plastik) dikenakan cukai," kata Iyan dalam Kuliah Umum PKN STAN 'Menggali Potensi Cukai', dikutip Rabu (24/7/2024).

Di sisi lain, DJBC akan menetapkan sejumlah produk plastik yang tidak dipungut cukai yaitu yang masuk dalam kategori angkut terus/lanjut, diekspor, dimasukkan dalam pabrik dan musnah sebelum dikeluarkan dari pabrik.

Selain itu, produk plastik yang dibebaskan cukai yaitu untuk penelitian/pengembangan ilmu pengetahuan, untuk perwakilan negara asing/tenaga ahli, barang bawaan penumpang, pelintas batas dan kiriman batas tertentu, juga untuk tujuan sosial.

Pengenaan cukai plastik akan menyasar pabrikan untuk produksi dalam negeri dan importir untuk produksi luar negeri. Terkait tarifnya, kata Iyan, akan ditetapkan spesifik per kilogram.

"Tarif cukainya spesifik per kilogram, pelunasannya sama pabrik dan pelabuhan kalau impor, cara pelunasannya kita usulkan lebih sederhana yaitu menggunakan pembayaran, tidak menggunakan pita cukai," jelasnya.

Asal tahu saja, komposisi sampah plastik yang terus meningkat menimbulkan beban ekonomi yang besar, baik dari sisi dampak maupun penanganannya. Hal ini lah yang menjadi latar belakang pemerintah berencana mengenakan cukai produk plastik.

Dalam paparan Iyan, Indonesia menempati urutan ke-5 dari 195 negara penghasil sampah plastik setelah US, India, China dan Brazil. Selain itu, Indonesia juga menjadi urutan ke-5 dari 138 negara penghasil sampah plastik ke laut di dunia setelah Filipina, India, Malaysia dan China.

Komposisi sampah plastik di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi sampah plastik naik dari 17,11% pada 2020, menjadi 17,13% pada 2021 dan naik lagi menjadi 18,2% pada 2022.

Sayangnya sampai saat ini belum jelas kapan akan mulai diterapkan pungutan cukai terhadap produk plastik.

"Tinggal menunggu kondisi masyarakat dan perekonomian. Jangan sampai kita menggunakan cukai ini kemudian menghambat atau menurunkan ekonomi atau industri," pungkasnya.

Bea Cukai RI Tanggapi Isu Ekstensifikasi Cukai

Bea Cukai pun memberi tanggapan atas isu yang beredar di masyarakat terkait adanya ekstensifikasi cukai, atau penambahan objek baru yang akan dikenakan cukai.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heriyanto mengatakan bahwa isu kebijakan ekstensifikasi cukai tersebut disampaikan dalam kuliah umum di ruang lingkup akademik.

"Bahasan kebijakan ekstensifikasi cukai itu mengemuka di acara kuliah umum PKN STAN yang mengangkat tema Menggali Potensi Cukai: Hadapi Tantangan, Wujudkan Masa Depan Berkelanjutan. Jadi, sifat kebijakan ekstensifikasi tersebut masih usulan-usulan dari berbagai pihak, belum masuk kajian, dan juga dalam rangka untuk mendapatkan masukan dari kalangan akademisi," ujarnya.

Nirwala menjelaskan pada dasarnya kriteria barang yang dikenakan cukai ialah barang yang mempunyai sifat atau karakteristik konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Hingga saat ini, barang yang dikenakan cukai baru ada tiga jenis, yaitu etil alkohol atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau.

Adapun terkait wacana optimalisasi penerimaan negara melalui ekstensifikasi objek cukai, Nirwala menjelaskan bahwa proses suatu barang yang akan ditetapkan menjadi barang kena cukai itu sangat panjang dan melalui banyak tahap, termasuk mendengarkan aspirasi masyarakat.

"Prosesnya dimulai dari penyampaian rencana ekstensifikasi cukai ke DPR, penentuan target penerimaan dalam RAPBN bersama DPR, dan penyusunan peraturan pemerintah sebagai payung hukum pengaturan ekstensifikasi tersebut," rincinya.

Pemerintah juga sangat hati-hati dalam menetapkan suatu barang sebagai barang kena cukai. Sebagai contoh, pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik, yang penerimaannya sudah dicantumkan dalam APBN, belum diimplementasikan.

"Karena, pemerintah sangat prudent dan betul-betul mempertimbangkan berbagai aspek, seperti kondisi ekonomi masyarakat, nasional, industri, aspek kesehatan, lingkungan, dan lainnya. Kami akan mendengarkan aspirasi stakeholders, dalam hal ini DPR dan masyarakat luas," tegas Nirwala.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation