Kelas Menengah RI 'Turun Kelas', Ini Biang Keroknya!

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
24 July 2024 12:55
Potret Pekerja Jakarta Usai Putusan Kenaikan UMP 2024. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Potret Pekerja Jakarta Usai Putusan Kenaikan UMP 2024. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kelas menengah turun kelas selama satu dekade terakhir. Menyebabkan perekonomian Indonesia stagnan dan daya beli masyarakat merosot. Pemicunya, deindustrialisasi dini yang semakin mengkhawatirkan terjadi di Tanah Air.

Hal ini diungkapkan oleh Ekonom senior dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin. Deindustrialisasi dini tersebut tercermin dari kontribusi industri manufaktur atau pengolahan terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terus merosot 10 tahun terakhir.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) sumbangan industri manufaktur terhadap PDB masih sebesar 23,56% pada kuartal I-2014. Namun, pada kuartal I-2024 distribusinya tersisa 19,28% terhadap PDB.

"Salah satu fenomena yang sangat mengkhawatirkan adalah deindustrialisasi dini, sektor manufaktur saat ini hanya mewakili 18% GDP, turun dari 10 tahun lalu sekitar 22-23%," kata Wijayanto kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2024)

Efek dari deindustrialisasi itu menurut Wijayanto berpengaruh langsung ke masyarakat, sebab industri manufaktur menjadi motor penerimaan pajak dan pencipta lapangan kerja berkualitas. "Karena ia menciptakan supply chain yang panjang, yang menciptakan lapangan kerja berkualitas dan value added (pajak)," tegasnya.

Ia membuktikan, deindustrialisasi dini itu telah membuat jumlah pekerja formal turun 10 tahun terakhir, dari porsinya sebesar 60% menjadi hanya 30-40% menyebabkan pekerja informal otomatis membengkak. Efek lanjutan dari kondisi itu ialah rasio pajak terhadap PDB ikut merosot dari 2014 sebesar 13,7% dari PDB kini tersisa 10,21%.

Akibatnya, tak heran kelas menengah di Indonesia kini terus turun karena masyarakat yang memiliki pendapatan rutin dan berada di sektor pekerjaan yang berkualitas seperti memiliki jenjang karir yang jelas dan pendapatan bulanan rutin semakin minim jumlahnya.

"Dengan kata lain 70% tenaga kerja kita di sektor informal atau low quality job saat ini, yang tidak bayar pajak dan tidak ada kepastian kerja. Belum lagi, mood pengusaha saat ini adalah lay-off atau rasionalisasi, bukan expansi," tegasnya.

"Pemerintah kurang berpihak kepada sektor industri, khususnya manufaktur," ungkap Wijayanto.

Bagi masyarakat yang masih masuk kelas menengah saja, ia katakan saat ini pendapatannya terus terhimpit, menyebabkan daya belinya turun. Selain ditekan inflasi bahan pangan, juga banyak kebijakan yang akan terus mengikis pendapatannya.

"Pekerja formal adalah kelompok kelas menengah. Mereka terhimpit, tidak dapat perhatian, bahkan diminta bayar pajak dan iuran lebih seperti Tapera, kenaikan UKT dan BPJS. Sementara yang atas dapat insentif pajak yang bawah dapat bansos, yang di tengah terhimpit," papar Wijayanto.

Sebelumnya, Ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan era 2013-2014 Chatib Basri mengungkapkan jumlah kelas menengah di Indonesia sudah terus merosot sejak 2019. Ia mengatakan, data Bank Dunia mengungkapkan pada 2018, kelas menengah sebesar 23% dari jumlah penduduk sedangkan 2019 tersisa 21% seiring membengkaknya kelompok kelas menengah rentan atau aspiring middle class (AMC) dari 47% menjadi 48%.

"Kecenderungan ini terus terjadi. Tahun 2023, kelas menengah turun menjadi 17%, AMC naik menjadi 49%, kelompok rentan meningkat menjadi 23%. Artinya sejak 2019, sebagian dari kelas menengah "turun kelas" menjadi AMC dan AMC turun menjadi kelompok rentan," tegas Chatib.

Dengan garis kemiskinan tahun 2024 sekitar Rp 550.000, Chatib mengatakan, mereka dengan pengeluaran Rp 1,9 juta-Rp 9,3 juta per bulan masuk kategori kelas menengah. AMC adalah kelompok pengeluaran 1,5-3,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 825.000-Rp 1,9 juta. Adapun rentan miskin, kelompok pengeluaran 1-1,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 550.000-Rp 825.000 per bulan.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan, tak terjaganya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah itu secara nyata membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di level 5%.

"Kenapa kita juga kurang bisa tumbuh di atas 5%, masih ke trap di angka 5%, karena kelas menengah yang harusnya menjadi motor, karena ada multiplier backward forward di dalam negeri yang tinggi, ya karena konsumsinya berkurang," kata Telisa dalam program Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Selasa (23/7/2024)

"Itu ya pengaruhi untuk boosting ekonomi ke depan, karena mereka secara jumlah populasi lumayan banyak sekitar 50% penduduk," tegasnya.


(arm/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Situasi RI Terbaru: Kelas Atas Aman, Menengah-Bawah Menderita

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular