Alarm Ekonomi RI Dalam Bahaya Bunyi Jelang Jokowi Lengser

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
08 August 2024 15:25
Potret Pekerja Jakarta Usai Putusan Kenaikan UMP 2024. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Potret Pekerja Jakarta Usai Putusan Kenaikan UMP 2024. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia-Sejumlah indikator ekonomi Indonesia tengah dalam bahaya muncul menjelang berakhirnya periode kedua masa pemerintahan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2024. Salah satunya ialah maraknya data pemutusan hubungan kerja hingga data setengah pengangguran.

Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati mengatakan, maraknya data PHK dan setengah pengangguran itu muncul di tengah-tengah level pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terjaga di level 5,05% pada kuartal II-2024.

Hal ini mengindikasikan ada permasalahan ekonomi struktural yang tak pernah terurus dan tak mendapat perhatian lima tahun terakhir. Salah satunya ialah penciptaan lapangan pekerjaan formal yang berkualitas bagi masyarakat Indonesia.

"Iya, betul sekali (sudah alarm), karena memang data-data yang ada itu biasanya telat. Jadi kalau kita ingin melihat kesejahteraan, biasanya kan melalui lapangan kerja, nah yang kita lihat kan baru pertumbuhan ekonomi," kata Ninasapti dalam Program Closing Bell CNBC Indonesia dikutip Kamis (8/8/2024).

Untuk data PHK sendiri, berdasarkan catatan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pada periode Januari-Juni 2024 memang telah mencapai 32.064 orang. Angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data tingkat pengangguran malah berkebalikannya. Data yang paling baru dikeluarkan BPS per Februari 2024 menunjukkan data pengangguran turun dari bulan yang sama tahun lalu 7,99 juta (5,45% dari angkatan kerja) menjadi 7,2 juta (4,82% dari angkatan kerja).

Meski begitu, Ninasapti menekankan, di tengah anjloknya data tingkat pengangguran yang turun itu, sebetulnya ada data yang mengkhawatirkan dan menjadi alarm untuk ekonomi Indonesia, yaitu data tingkat setengah pegangguran. Data itu naik pada Februari 2024 menjadi 8,52% dari sebelumnya hanya 7,86%.

"Tingkat pengangguranya memang turun, tetapi setengah pengangguranya naik setahun terakhir. Jadi Februari sekitar 9,5 juta dan 12,11 juta itu di Februari 2024 kemarin. Jadi setahun terakhir itu peningkatan setengah pengangguran," ucap Ninasapti.

Inilah yang menurutnya menyebabkan data kelas menengah yang merupakan kelas pekerja mengalami tekanan daya beli saat ini. Jumlah kelas menengah itu pun kian menyusut karena pengeluarannya juga semakin terbatas.

"Itu yang kelas menengah yang negatif, tetapi yang atas positif, yang paling bawah juga positif. Jadi ini yang kita khawatirkan. Jadi ketidakmerataan dari antarkelasnya," tuturnya.

Karena terbatasnya permintaan untuk konsumsi itu, indikator geliat industri yang tergambar dari Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia tercatat mengalami kontraksi pada Juli 2024 yang menjadi koreksi pertama sejak 2021 atau tiga tahun terakhir.

S&P Global pada Kamis (1/8/2024) telah merilis data PMI Manufaktur Indonesia, yang menunjukkan jatuh dan terkontraksi ke 49,3 pada Juli 2024. PMI Manufaktur Indonesia terus memburuk dan turun selama empat bulan terakhir yakni sejak April-Juli 2024.

"PMI untuk manufaktur, kita pertama kali masuk dalam zona kontraksi, itu betul. Kemudian indikasi penurunan daya beli di kelompok menengah sebenarnya, karena kalau untuk kelompok miskin, kan ditunjukkan bahwa angka kemiskinannya turun," ujar Ninasapti.

"Sehingga ini yang kelihatannya perlu mendapat perhatian lebih besar daripada sebelumnya adalah memang untuk kelompok menengah," tegasnya.

Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Edi Priyono sebetulnya juga sudah mengakui bahwa ada permasalahan yang muncul di ekonomi Indonesi di tengah baiknya data-data ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia per kuartal II-2024 yang masih tumbuh di level 5,05%.

Lalu inflasi terjaga di kisaran 2,13% hingga kemiskinan turun menjadi di level 9,09%. Indeks ketimpangan atau gini ratio pun kata Edi datanya makin mendekati nol, yakni hanya sebesar 0,379.

"Dari awal ketika kita melihat bahwa pertumbuhan kita baik, tapi kemudian ada banyak PHK di sana-sini. Tapi di sisi lain kemiskinan kita turun, kita juga mempertanyakan dalam arti, kok begini ya?" kata Edi dalam program Closing Bell CNBC Indonesia.

Karena data yang muncul itu bersinggungan, Edi mengatakan, pemerintah pun menugaskan tim ke BPS untuk melihat lebih detail sumber masalahnya. Akhirnya ditemukan sumber masalahnya terletak pada mulai ambruknya daya beli kelas menengah, hingga terjadi penyusutan jumlah kelas menengah di Indonesia.

"Dan ternyata memang jawabanya ada di situ. Jadi ada penurunan, katakanlah penurunan pendapatan di kelompok yang bukan kelompok miskin, tapi juga bukan kelompok kaya. Itulah kelas menengah," kata Edi.

Oleh sebab itu, Edi memastikan, pemerintah akan semakin memfokuskan kebijakan-kebijakan yang kembali menggeliatkan aktivitas ekonomi kelas menengah tersebut, tidak lagi hanya fokus kelas bawah melalui program bantuan sosial, dan kelas atas melalui insentif pajak atau insentif fiskal.

"Dan itu yang tadi saya bilang dari awal, bahwa ini kelompok yang memang perlu mendapatkan perhatian lebih besar dibandingkan sebelumnya. Meskipun sampai saat ini juga bukan berarti tidak ada perhatian sama sekali," ucap Edi.


(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cuma Orang Kaya Banyak Jajan, Kelas Menengah RI Nasibnya Begini!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular