Dihujani Kabar Positif dari AS: Sanggupkah IHSG-Rupiah Happy Weekend?
- Pasar keuangan RI bergerak beragam IHSG koreksi, tetapi rupiah menguat dan obligasi diburu investor lagi.
- Bursa Wall Street kembali bergerak beragam, Nasdaq dan S&P 500 kembali pecah rekor, sementara Dow Jones terkoreksi lagi.
- Hari ini sentimen pasar bakal dipengaruhi lanjutan data pasar tenaga kerja AS, suku bunga Jepang, sampai rapat koordinasi pengendalian inflasi RI.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan RI berakhir beragam pada perdagangan kemarin, Kamis (13/6/2024). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) koreksi tipis, rupiah menguat sementara sampai obligasi masih diincar investor.
Pasar keuangan hari ini diharapkan kompak mengakhiri perdagangan di zona hijau pada hari ini. Sentimen selengkapnya yang potensi mempengaruhi pasar pada hari ini, Jumat (14/6/2024) silahkan dibaca pada halaman 3 artikel ini.
Mulai dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau kembali berakhir di zona merah pada perdagangan kemarin, Kamis (13/6/2024), setelah sempat menghijau di sepanjang perdagangan hari ini.
Hingga akhir perdagangan, IHSG ditutup terpangkas 0,27% ke posisi 6.831,56. Sepanjang perdagangan kemarin, IHSG sempat bergerak di zona merah tipis sekitar pukul 11:00 WIB.
Namun secara menyeluruh, IHSG bergerak di zona hijau. IHSG pun kembali gagal untuk menembus lagi level psikologis 6.900.
Nilai transaksi indeks pada akhir perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 14 triliun dengan volume transaksi mencapai 43 miliar lembar saham dan sudah ditransaksikan sebanyak 812.373 kali. Sebanyak 251 saham menguat, 285 saham melemah, dan 235 sisanya cenderung stagnan.
Tercatat sektor bahan baku menjadi penekan terbesar IHSG di akhir perdagangan, yakni mencapai 0,73%.
Selain itu, beberapa saham juga terpantau menjadi penekan (laggard) IHSG pada akhir perdagangan hari ini. Berikut daftarnya.
Saham telekomunikasi PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) menjadi penekan terbesar IHSG di akhir perdagangan hari ini, yakni mencapai 9,4 indeks poin.
Investor asing mencatat net buy atau beli bersih Rp 2,98 triliun di seluruh pasar saat IHSG terkoreksi. Namun, net buy ini seluruhnya disumbang dari transaksi di pasar nego dan tunai sebesar Rp3,86 triliun, sementara dari pasar reguler asing masih net sell sebesar Rp 879,21 miliar.
Tercatat ada transaksi saham PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) senilai total Rp 3,9 triliun di pasar negosiasi. Selain itu, net buy asing juga tercatat di saham-saham blue chip, ada PT Astra International Tbk (ASII) Rp 61,81 miliar, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Rp 53,04 miliar, dan PT Amman Mineral International Tbk (AMMN) Rp 45,35 miliar.
Aliran dana asing yang masuk besar kemarin di pasar saham, tampaknya juga berimplikasi pada gerak nilai tukar rupiah yang ditutup sumringah.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup menguat 0,15% di angka Rp16.265/US$ pada perdagangan Kamis (13/6/2024). Apresiasi ini mematahkan tren pelemahan rupiah yang telah terjadi tiga hari beruntun sejak 10 Juni 2024
Pergerakan rupiah kemarin juga didominasi oleh sentimen dari eksternal khususnya AS.
Pada Rabu malam (12/6/2024), AS mengumumkan inflasi melandai ke 3,3% (year on year/yoy) pada Mei 2024, dari 3,4% (yoy) pada April. Inflasi melaju ke level terendah tiga bulan dan sesuai dari proyeksi pasar sebesar 3,4% (yoy).
Setelah rilis data inflasi, beberapa jam kemudian, Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk kembali mempertahankan suku bunga acuan di level 5,25-5,50%.
Lebih lanjut, dalam dokumen dot plot, The Fed memproyeksikan akan terjadi pemangkasan suku bunga sebanyak satu kali di tahun ini dan dilanjutkan pada 2025 sebanyak empat kali atau 100 basis poin (bps).
Hal ini memberikan angin segar bagi mata uang Garuda karena jika pembabatan suku bunga tersebut benar-benar terjadi, maka tekanan terhadap rupiah akan semakin berkurang dan peluang rupiah menguat akan semakin besar.
Angin segar juga datang ke pasar obligasi, ini tercermin dari yield obligasi acuan RI bertenor 10 tahun yang akhirnya mulai melandai menjauhi level 7%.
Melansir data Refinitiv, yield SBN tenor 10 tahun pada penutupan perdagangan kemarin turun sekitar 6 basis poin (bps) menjadi 6,96%. Penurunan akhirnya terjadi setelah yield melambung tiga hari beruntun.
Perlu dipahami, bahwa ketika yield obligasi turun, maka harga obligasi akan mulai meningkat yang menjadi tanda bahwa investor mulai kembali memburu surat utang RI.
(tsn/tsn)