Newsletter

Pekan Bergejolak: "Tsunami" Sentimen AS & Fed, Kabar Inflasi-Investasi

Revo M, CNBC Indonesia
Senin, 29/04/2024 06:00 WIB
Foto: Infografis/Edward Ricardo
  • IHSG dan Rupiah anjlok pekan lalu akibat faktor internal maupun eksternal
  • Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup di zona hijau ditopang kinerja perusahaan yang cemerlang
  • Pekan ini diisi sentimen suku bunga The Fed, PMI Manufaktur, hingga Inflasi RI yang tampak cukup tinggi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup melemah pada pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi begitu pula Surat Berharga Negara (SBN) kembali dilepas investor asing.

Pasar keuangan diperkirakan bergerak cukup volatil pada pekan ini dengan banyaknya agenda dan data yang akan keluar. Selengkapnya mengenai proyeksi dan sentimen pasar pekan ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini

Pada penutupan perdagangan Jumat (26/4/2024), IHSG ditutup ambles 1,67% secara harian atau 119,22 poin menuju posisi 7.036,07. Sementara secara mingguan, IHSG terpantau ambruk 0,72%.

Posisi penutupan IHSG tersebut menjadi yang terendah sejak 27 November 2023 atau sekitar lima bulan terakhir.

Sepanjang pekan lalu, IHSG berhasil ditutup hijau dalam dua hari dan sebanyak tiga hari, IHSG tercatat berada di zona merah. Bahkan amblesnya IHSG pada penutupan Jumat lalu merupakan yang terparah sejak 26 Oktober 2023 yang pada saat itu IHSG tergelincir 1,75%.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp14,72 triliun dengan melibatkan 16,98 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,1 juta kali. Sebanyak 153 saham menguat, 422 saham melemah, dan 203 saham mendatar.

Investor asing tercatat net sell hingga Rp 2,16 triliun di semua pasar.

Penurunan IHSG didorong oleh kompaknya penurunan semua sektor. Penurunan tertinggi dipimpin oleh sektor cyclical, kesehatan, keuangan, energi dan non-cyclical yang terjun lebih dari 1%.

Saham perbankan raksasa yakni Bank Rakyat Indonesia (BBRI) menjadi penekan utama IHSG sebesar 37 indeks poin. Sementara Bank Mandiri (BMRI) sebesar 18,2 indeks poin, Bank Central Asia (BBCA) sebesar 10,3 indeks poin, dan Bank Negara Indonesia (BBNI) sebesar 5,4%.

Sementara dari pasar mata uang, rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan hari terakhir pekan lalu sebesar 0,12% di angka Rp16.205/US$. Pelemahan ini memperpanjang tren negatif rupiah menjadi dua hari beruntun.

Kendati melemah, dalam sepekan rupiah menguat 0,28%. Kondisi ini berbanding terbalik dengan pelemahan sebesar 2,52% pada pekan lalu. Sedangkan dalam sebulan, rupiah ambruk 2,24%.

Penurunan IHSG dan rupiah ini terjadi pasca Bank Indonesia (BI) secara resmi menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke angka 6,25%.

Hal ini cukup di luar ekspektasi mengingat polling yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 lembaga menunjukkan secara mayoritas memproyeksi bahwa BI masih akan menahan suku bunganya di level 6%.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23-24 April 2024 memutuskan untuk menaikkan BI Rate sebesar 25 bp menjadi 6,25%," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat konferensi pers secara daring, Rabu (24/4/2024).

Kenaikan suku bunga dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap pasar modal. Saat suku bunga naik, investor cenderung beralih ke instrumen investasi yang menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi, seperti obligasi, dibandingkan saham.

Hal ini mengakibatkan harga saham turun karena permintaan turun. Di sisi lain, obligasi yang sudah beredar mengalami penurunan nilai karena imbal hasilnya menjadi kurang menarik dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi yang ditawarkan oleh obligasi baru.

Selain itu, kenaikan suku bunga juga membuat biaya peminjaman bagi perusahaan atau individu yang ingin meminjam uang menjadi lebih mahal, yang dapat mengurangi investasi dan pengeluaran konsumen. Ini bisa berdampak negatif pada kinerja perusahaan dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Sektor perbankan yang merupakan penopang IHSG juga cukup tertekan akibat risiko gagal bayar meningkat akibat mahalnya bunga serta kredit tersalurkan menurun.

Beberapa emiten juga akan langsung terdampak negatif, mulai dari properti, sektor teknologi, hingga otomotif.

Selanjutnya, beralih pada imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang bertenor 10 tahun terpantau mengalami kenaikan menjadi 7,2% pada penutupan perdagangan Jumat (26/4/2024).

Perlu diketahui, hubungan yield dan harga pada SBN ini berbanding terbalik, artinya ketika yield turun berarti harga obligasi naik, hal ini menunjukkan minat investor mulai kembali lagi ke SBN.

Berdasarkan data transaksi 22-25 April 2024 yang dirilis BI, investor asing mencatat jual neto sebesar Rp 2,47 triliun. Net sell terdiri dari jual neto Rp2,08 triliun di pasar Surat Berharga Negara SBN, jual neto Rp2,34 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,95 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).


(rev/rev)
Pages