
Sidang MK Memanas, Asing Kabur & The Fed Masih Galak, RI Bisa Apa?

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street ditutup beragam dengan mayoritas menguat pada perdagangan Rabu kemarin atau Kamis dini hari waktu Indonesia. Wall Street bergerak beragam setelah data menunjukkan pertumbuhan industri jasa AS semakin melambat pada Maret lalu, namun kenaikan tersebut terbatas setelah Ketua The Fed, Jerome Powell mengindikasikan penurunan suku bunga masih belum terlihat.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup turun 0,11% ke posisi 39.127,14. Namun untuk S&P 500 dan Nasdaq Composite berhasil ditutup menghijau. S&P 500 naik 0,11% ke 5.2011,49, sedangkan Nasdaq berakhir menguat 0,23% menjadi 16.277,46.
Semalam, Institute for Supply Management melaporkan PMI non-manufaktur atau jasa turun menjadi 51,4 pada Maret lalu, dari sebelumnya di angka 52,6 pada Februari lalu, dan lebih lemah dari perkiraan pasar dalam survei Reuters.
Meski melandai, tetapi sektor jasa di Negeri Paman Sam masih berada di zona ekspansif. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
"Ini semua ada hubungannya dengan The Fed dan ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga yang ditolak. Saya pikir itulah yang membebani pasar di sini dan telah terjadi setidaknya selama beberapa hari," kata Tim Ghriskey, ahli strategi portofolio senior. di Ingalls & Snyder di New York, dikutip dari Reuters.
Sementara itu, Lapangan kerja sektor swasta di AS kembali meningkat pada Maret lalu, membuat pasar semakin skeptis bahwa pemangkasan suku bunga acuan AS bakal dipangkas pada pertemuan Juni mendatang.
Automatic Data Processing (ADP) melaporkan lapangan kerja sektor swasta di AS meningkat sebesar 184,000 pada Maret lalu. Angka ini mengikuti kenaikan 155,000 (direvisi dari 140,000) yang tercatat pada Februari lalu dan berada di atas ekspektasi pasar sebesar 148,000.
"Bagi mereka yang tetap bekerja, kenaikan gaji dari tahun ke tahun tetap sebesar 5,1 persen setelah mengalami perlambatan yang stabil selama berbulan-bulan," tulis publikasi tersebut.
"Pada saat yang sama, keuntungan bagi mereka yang berganti pekerjaan meningkat secara dramatis hingga 10 persen, peningkatan kedua berturut-turut," tambah ADP.
Data inflasi yang masih cukup panas dan sektor manufaktur serta jasa yang masih bergeliat tampaknya membuat investor khawatir bahwa The Fed akan membutuhkan waktu lebih lama untuk menurunkan suku bunga acuannya.
Hal ini membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali meningkat, yakni naik 2 basis poin (bp) menjadi 4,349%, menjadi yang tertinggi sejak November 2023.
Namun, indeks dolar AS terpantau masih melandai hingga 0,54% ke posisi 104,25 pada perdagangan kemarin.
Di lain sisi, Powell dalam pidatonya di acara Economic Outlookdi Stanford Business, Government, and Society Forum, Stanford, California, mengatakan bahwa butu waktu yang cukup lama bagi para pengambil kebijakan untuk mengevaluasi keadaan inflasi saat ini, sehingga menentukan waktu potensi penurunan suku bunga masih belum pasti.
(chd/chd)