
Baca Ini Dulu Sebelum Nonton Debat Capres Anies-Prabowo-Ganjar!

Jakarta, CNBC Indonesia - Tiga calon presiden (capres) kembali akan saling beradu visi dan misi serta gagasan dalam debat kelima pada hari ini, Minggu (4/2/2024).
Debat akan digelar di Jakarta Convention Center (JCC) pada pukul 19: 00 WIB dengan diikuti tiga capres yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjelaskan debat akan berjalan selama 120 menit dalam enam segmen.
Tema besar debat kelima adalah kesejahteraan sosial, pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan inklusi. Sementara sub temanya meliputi pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kebudayaan, teknologi informasi, serta kesejahteraan sosial dan inklusi.
Debat kelima menjadi sangat penting karena menjadi kesempatan terakhir bagi masing-masing capres untuk membeberkan gagasan mereka sekaligus menarik pemilih, terutama swing voters.
Tema debat kelima juga sangat dekat dengan masyarakat sehingga solusi dan gagasan capres menarik ditunggu.
Setidaknya ada beberapa isu yang kemungkinan besar menjadi bahan pembahasan dalam debat terkait tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kebudayaan, teknologi informasi, serta kesejahteraan sosial dan inklusi.
Berikut beberapa isu yang kemungkinan dibahas:
1. Anggaran Pendidikan Terus Naik Tapi Kualitas Pelajar RI Rendah
Kualitas pendidikan Indonesia belum membaik signifikan meskipun anggaran pendidikan terus melonjak. Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp665 triliun pada 2024.
Sesuai amanat UUD 1945 dan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dari total APBN. Kebijakan tersebut sudah dimulai sejak 2009.
Sejak tahun tersebut, pemerintah telah melakukan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20% dariAPBN. Anggaran pendidikan pun bengkak 206,8% dari Rp 216,72 triliun pada 2010 menjadi Rp 665 triliun pada 2024.
Sayangnya, anggaran pendidikan yang melonjak tidak diikuti dengan perbaikan signifikan kualitas pelajar RI.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) secara konsisten mengadakan penilaian kualitas pendidikan suatu negara melalui Program for International Student Assessment (PISA) untuk mengevaluasi prestasi siswa yang berusia 15 tahun dalam tiga tahun sekali.
Baru-baru ini pada 5 Desember 2023 lalu, OECD melaporkan hasil skor PISA Indonesia periode 2022 yang hasilnya turun cukup dalam. Bahkan, skor literasi membaca Indonesia menjadi yang terendah di antara skor PISA tahun-tahun sebelumnya. Hal ini merefleksikan mutu pendidikan di Tanah Air masih rendah.
Penilaian OECD melalui PISA didasarkan pada tiga aspek yakni Matematika, Membaca, dan Sains. Sebagai catatan, survei PISA 2022 seharusnya dilaksanakan pada 2021, akan tetapi ditunda karena pandemi Covid-19.
Indonesia memang mencatatkan peningkatan peringkat PISA secara global di posisi ke-66 dari 81 negara pada 2022 atau 15 terendah di dunia. Capaian ini naik dari posisi PISA 2018 yang berada di urutan 72 dari 79 negara yang berpartisipasi.
Anggaran pendidikan yang tinggi juga kerap tidak diserap maksimal. Dalam penelusuranCNBC Indonesia, rata-rata anggaran pendidikan hanya terserap 90,6%. Setiap tahun rata-rata anggaran pendidikan yang tidak terserap menembus Rp 50,3 triliun.
2. Pengangguran dan Kualitas SDM Tenaga Kerja yang Rendah
Isu pengangguran sangat erat dengan ketenagakerjaan di Indonesia. Angka pengangguran di Indonesia memang sudah turun dari 7,07% per Agustus 2020 menjadi 5,32% per Agustus 2023.
Jumlah pengangguran juga berkurang dari 9,77 juta pada Agustus 2020 menjadi 7,86 juta pada Agustus 2023. Namun, tingkat pengangguran belum kembali ke era sebelum pandemi yakni 4,94% (Februari 2020). Meski pengangguran turun, kualitas tenaga kerja Indonesia juga masih memprihatinkan.
Pasalnya, angkatan kerja di Tanah Air masih didominasi masyarakat berpendidikan rendah, akan tetapi tingkat pengangguran dari lulusan universitas naik dikala jumlah pengangguran nasional turun.
World Competitiveness Yearbook (WCY) pada 2020 menempatkan daya saing SDM Indonesia pada peringkat 40 dari 63 negara dalam hasil survei mereka. Indonesia turun delapan peringkat dari tahun sebelumnya.
Bank Dunia juga menghitung Human Capital Index (HCI) untuk melihat sejauh mana peran pendidikan dan kesehatan terhadap produktivitas ke depannya. Pada tahun 2020, HCI Indonesia sebesar 0,54, berada pada peringkat 96 dari 175 negara.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Agustus 2023 angkatan kerja paling banyak berasal dari penduduk yang berpendidikan tingkat dasar, mencapai 52,41%.
Di sisi lain, pada periode yang sama jumlah pengangguran terbuka mencapai 7,86 juta orang, turun sekitar 560.000 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan kondisi Februari 2023 juga terjadi penurunan sekitar 130.000 orang.
Penurunan pengangguran ini sebenarnya menjadi kabar gembira karena yang menunjukkan pemulihan ekonomi pasca pandemi. Namun, sayangnya hal tersebut tidak disertai penyerapan tenaga kerja dari kalangan pendidikan tinggi.
Kontributor utama penurunan pengangguran lebih banyak masih disumbang segmen pendidikan dasar (SD/SMP sederajat) dan tingkat menengah (SMA/SMK) yang sama-sama menyusut. Kontras dengan itu, tingkat pengangguran lulusan universitas atau setara D3 ke atas malah mengalami kenaikan dari 4,76% menjadi 5,10%.
Ekonomi yang semakin pulih setelah diterpa pandemi Covid-19 malah membuat sarjana makin sulit dapat pekerjaan. Bila ditelisik lagi, penduduk usia muda dari rentang 15 - 24 tahun, data BPS menunjukkan tingkat pengangguran cukup tinggi, mencapai 19,40%. Jika diibaratkan dari 100 orang angkatan bekerja usia muda, ada 19 diantaranya yang menganggur.
3. Kemiskinan Turun Tapi Jurang Si Kaya dan Miskin Melebar
Angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2023 turun menjadi 9,36% dari 10,19% pada September 2020 saat Indonesia dilanda pandemi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 25,90 juta orang, menurun 1,65 juta orang dibandingkan September 2020. Namun, penurunan kemiskinan justru dibarengi dengan besarnya ketimpangan antara si kaya dan si miskin atau gini ratio.
Pada Maret 2023 gini ratio tercatat sebesar 0,388 atau naik dibandingkan pada Maret 2022 yang tercatat 0,381. Tingkat gini ratio juga melesat dibandingkan era sebelum pandemi yakni 0,380.
Masih tingginya tingkat ketimpangan di Indonesia yang mencapai 0,388 per Maret 2023 tersebut, semakin jauh dari target Presiden Joko Widodo (Jokowi) di dalam RPJMN 2024, yang mengharapkan gini ratio Indonesia turun menjadi 0,374.
4. Stunting, Ancaman Anak RI
Melansir dari buku saku Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi stunting di Indonesia tiap tahunnya terus menyusut, tetapi jika membandingkan dengan target RPJM Nasional 2020-2024 yakni 14%..
Jika ingin mencapai target angka stunting di 14% pada 2024 mendatang, paling tidak di 2023 harus bisa mencapai prevalensi stunting sebesar 17,8%.
Ada lebih dari 20% anak di Indonesia yang terkena stunting dan potensi merugikan negara hingga lebih dari Rp 500 triliun tiap tahunnya.
Persoalan stunting ini bukanlah masalah sepele, kerugian negara akibat ini bisa ratusan triliun. Berdasarkan hasil riset Bank Dunia menggambarkan kerugian akibat stunting mencapai 3 - 11% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Dengan nilai PDB Indonesia pada 2022 sebesar Rp19.588,4 triliun, maka kerugian ekonomi akibat stunting diperkirakan mencapai Rp587 triliun-Rp2.154 triliun per tahun.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, dari 33 provinsi di Indonesia ternyata 17 diantaranya masih memiliki prevalensi stunting di atas capaian nasional. Lima provinsi yang mengalami stunting tertinggi ada provinsi Papua, Nusa Tenggara Barat (NTB), Aceh, Papua Barat, dan Sulawesi Tengah.
Di sisi lain, yang berhasil capai target prevalensi stunting oleh RPJM nasional hanya ada dua provinsi, yakni DKI Jakarta dan Bali masing-masing sebesar 14,8% dan 8%.
Penanganan serius terhadap isu stunting menjadi sangat penting, pasalnya besar kerugian yang akan ditanggung pemerintah ini punya dampak domino ke penyakit lain hingga pengaruh ke kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) kita ke pasar tenaga kerja.
Stunting merujuk pada kondisi tinggi anak yang lebih pendek dari tinggi badan seumurannya lantaran kekurangan gizi dalam waktu lama pada masa 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Ketika seorang anak menderita stunting, dalam tumbuh kembangnya menjadi dewasa akan lebih rentan mengalami kegemukan sehingga rentan terhadap serangan penyakit seperti jantung, stroke, diabetes, hingga gagal ginjal.
Jika dampak tersebut berlarut-larut, stunting bisa menjadi penghambat bagi bonus demografi Indonesia. Sebagaimana kita tahu, mayoritas penduduk kita adalah masyarakat berusia produktif.
5. Ancaman Middle Income Trap, Generasi Muda RI Jadi Generasi Emas atau Cemas?
Hal ini karena hingga 2022, Indonesia masih terjebak dalam negara dengan level pendapatan menengah atau dapat dikatakan Indonesia masih terjerat olehmiddle income trap. Kondisi ini membuat Indonesia harus sangat berjuang keras untuk menggapai Generasi Emas 2045.
Middle income trapatau perangkap pendapatan menengah merupakan istilah untuk menggambarkan bagaimana sebuah negara berpenghasilan menengah, tak mampu keluar dari jeratannya untuk menjadi negara maju. Begitu setidaknya mengutip pengertian Bank Dunia atau World Bank.
Berdasarkan data Kementerian PPN/Bappenas, Indonesia sudah menjadi bagian dari negara berpendapatan menengah atau middle income sejak 1982-1983. Ekonomi Indonesia kemudian ambruk karena Krisis Keuangan/Moneter pada 1997/1998. Badai krisis membuat Indonesia negaralow incomeatau negara berpenghasilan rendah/rentan.
Indonesia baru kembali masuk ke negara berpendapatan menengah ke bawah(lower middle income) pada 2002. Indonesia sempat masuk ke kelas negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income) pada 2019-2020. Namun, perubahan hitungan Bank Dunia pada 2021 membuat Indonesia turun lagi menjadi negara lower middle income.
Sebagai catatan, per 1 Juli 2021, Bank Dunia membuat klasifikasi negara terbaru, yang dihitung berdasarkan Pendapatan Nasional Bruto atau Gross National Income (GNI) per kapita. Kategori peringkat tersebut yakni negara berpenghasilan rendah atau Low Income dengan GNI sebesar US$ 1.046.
Negara berpenghasilan menengah ke bawah (US$ 1.046 - US$ 4,045), negara berpenghasilan menengah ke atas (US$ 4.096 - US$ 12.695) dan negara berpenghasilan tinggi atau high income dengan GNI lebih dari US$ 12.695). Indonesia dengan GNI US$ 4.580 kini berstatus negaraupper-middle income.
Dalam hitungan Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dibutuhkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% dalam periode 2020-2030 sebagai prasyarat keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah.
Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama sembilan tahun terakhir hanya berada di kisaran 4,2%.
Pemerintah bukan tidak menyadari pentingnya keluar dari jebakan kelas menengah. Untuk lepas dari middle income trap, pemerintah bahkan membuat visi dan misi khusus.
Indonesia bahkan menetapkan visi Indonesia Emas pada 2045, tepat pada 100 tahun usia kemerdekaannya.
Pada tahun tersebut, Indonesia diperkirakan sudah memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai US$ 9.100 miliar dengan PDB per Kapita sebesar US$ 21.000 - 27.000.
Dengan kata lain, Indonesia diharapkan sudah terbebas dari jebakanmiddle income trappada tahun tersebut. Berdasarkan data Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia pada 2022 mencapai US$ 4.788. Namun menurut Badan Pusat Statistik, PDB per kapita Indonesia di 2022 mencapai US$ 4.784.
6. Ancaman AI di Tengah Kualitas SDM Rendah
Dana Moneter Internasional (IMF) melihat perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) berpotensi memperbesar ketimpangan serta menyebabkan 40% pekerjaan hilang digantikan AI.
Prediksi dari World Economic Forum (WEF), dalam waktu lima tahun ke depan, seperempat pekerjaan di seluruh dunia akan terpengaruh oleh kehadiran teknologi ini.
Menurut laporan terbaru WEF, pasar kerja global akan mengalami churn sebesar 23%.Berdasarkan riset Future of Jobs Report (2023) yang dikutip dari World Economic Forummemperkirakan 83 juta pekerjaan akan hilang, tetapi diimbangi dengan penciptaan69 juta pekerjaan baru. Sehingga,terdapat surplus 14 juta posisi pada 2027 nanti.
Dengan begitu besarnya ancaman AI sementara kualitas SDM rendah maka beban kepada perbaikan kualitas tenaga kerja Indonesia akan berlipat.
7. RI Ingin Internet Murah dan Cepat Tapi Kecepatan Masih Lelet
Melansir dari data Ookla, lembaga yang memperlihatkan kecepatan internet di sejumlah negara dunia. Pada Desember 2023, Indonesia menjadi negara yang punya kecepatan internet terlambat nomor dua di Asia Tenggara setelah Sri Lanka.
Untuk kategori mobile, internet Indonesia berada di peringkat 97 dari 148 negara dengan kecepatan 24,96 Mbps. Sementara untuk kategori internet fixed broadband menempati urutan 126 dari 178 negara tercatat, dengan kecepatan 27,76 Mbps.
Salah satu alasan yang membuat internet di Indonesia masih lelet adalah beban hak penyelenggaraan (BHP) frekuensi yang ditanggung operasional telekomunikasi RI terlalu tinggi.
Kondisi ini menjadi persoalan besar di tengah upaya pemerintah mencanangkan internet cepat dan murah.
Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) merencanakan membuat kebijakan melarang penjualan layanan internet di bawah 100 Mbps. Menkominfo Budi Arie mengatakan internet sudah jadi kebutuhan pokok, seharusnya penyedia layanan menjual dengan internet yang cepat.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif menjelaskan infrastruktur belum siap untuk menggelar kecepatan 100 Mbps. Setidaknya baru 80% di pulau Jawa yang mampu melakukannya.
"Secara infrastruktur agak sulit saat ini, karena Indonesia saat ini luas dan berpulau-pulau. Kalau menerapkan di pulau Jawa, kalau kita lihat penetrasi internet sebenarnya pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, sisanya bagian timur Indonesia. di Jawa sendiri untuk 100 Mbps mungkin 80% operator mungkin siap, kalo di pulau lainnya saya masih agak sanksi juga," jelas Arif dalam programProfit CNBC Indonesia.
Harga layanan juga belum bisa seragam. Dia mencontohkan perbedaan hargabackbone fiber opticdi pulau Jawa di bawah Rp 10 juta untuk 1 Gbps. Namun di wilayah seperti Makassar atau Manado bisa mencapai Rp 40-50 juta.
Kecepatan 100 Mbps sebenarnya telah disediakan oleh sejumlah pemain, tetapi dengan harga yang cukup mahal. Arif mengatakan berkisar Rp 500-700 ribu.
Sementara untuk rata-rata penggunaan dengan kecepatan 20-30 Mbps, tarifnya berkisar Rp 100-300 ribu. Ini jadi masalah jika aturan 100 Mbps jadi terlaksana, apakah harganya akan disamaratakan berkisar Rp 500 ribu atau diturunkan sesuai dengan kemampuan kebanyakan masyarakat.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
