
Siaga Satu! Hari Ini Ada Kabar Genting dari BI, China, Sampai The Fed

Pergerakan pasar keuangan Tanah Air hari ini, Rabu (17/1/2024) diperkirakan bakal volatile lantaran banyak sentimen mulai dari hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, pertumbuhan ekonomi China, pidato pejabat The Fed, hingga hasil lelang Surat Utang Negara (SUN) kemarin.
Semalam pergerakan wall street juga berakhir di zona merah, hal ini perlu diantisipasi lantaran bisa meningkatkan volatilitas pada pasar saham RI. Secara lebih lengkap, berikut sentimen yang akan mempengaruhi pasar hari ini :
Minat Asing Deras, Hasil Lelang SUN Sesuai Target
Melalui sistem lelang Bank Indonesia (BI) pada Selasa (16/1/2024), pemerintah telah melaksanakan lelang Surat Utang Negara (SUN) dengan total yang dimenangkan sesuai target sebesar Rp24 triliun dari penawaran yang masuk Rp67,56 triliun. Capaian tersebut merupakan yang tertinggi dalam kurun waktu setahun terakhir,
Minat asing yang masuk juga melonjak tinggi, nyaris dua kali lipat dibandingkan lelang sebelumnya mencapai Rp12,34 triliun, dengan nilai serapan kurang lebih hanya sepertiganya saja yaitu sebesar Rp4,69 triliun.
Mulai tingginya minat asing untuk membeli SBN menunjukkan Indonesia kembali menarik di mata investor meski situasi politik tengah memanas. Besarnya investor asing yang masuk bisa menopang penguatan rupiah.
Rilis Pertumbuhan Ekonomi China & Peluncuran Stimulus Jumbo
Beralih sentimen berikutnya pada hari ini akan datang dari negeri Tirai Bambu lantaran akan merilis data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) pada kuartal IV-2023.
Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan PDB Negeri Tirai Bambu pada kuartal IV-2023 diprediksi tumbuh menjadi 5,3% secara tahunan (year on year/yoy), dari sebelumnya sebesar 4,9% pada kuartal III-2023.
Namun, secara basis kuartalan (quarter-to-quarter/qtq), PDB China pada kuartal IV-2023 diprediksi turun menjadi 1,2%, dari sebelumnya yang tumbuh 1,3% (qtq).
China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia pun mengalami dampak dari kondisi ketidakpastian global.
Dana Moneter International (IMF) memang masih mempertahankan proyeksi ekonomi China di angka 5,2% untuk 2023 dan 4,5% untuk 2024. Namun, IMF menggarisbawahi bahwa setelah pelonggaran besar-besaran sejak akhir tahun lalu dengan mengurangi pembatasan terkait Covid-19 terjadi, potensi untuk tumbuh tinggi pun menjadi hilang.
Lebih lanjut, tidak seperti negara lainnya yang tertekan inflasi, China justru masih mengalami deflasi. Pada Desember 2023 atau akhir 2023, consumer price index (CPI) juga masih mengalami deflasi di angka 0,3% yoy, dari yang sebelumnya deflasi 0,5% yoy.
Kendati mengalami perbaikan, namun CPI China masih relatif menunjukkan bahwa ekonominya cukup lambat. Ini menjadi alarm peringatan berlanjutnya pelemahan permintaan. Salah satu alasannya adalah konsumen menunda pembelian mereka dengan harapan harga yang lebih rendah.
Di tambah, krisis properti di China yang belum berakhir turut membebani perekonomian China. Setelah kasus Evergrande dan Kaisa Group Holdings, kini krisis properti bertambah yakni Zhongzhi Enterprise Group.
Krisis properti dan masih lesunya perekonomian China membuat Bank Dunia (World Bank) pun memproyeksikan perekonomian China tumbuh sebesar 4,5% pada 2024, melambat dari 2023 yang diperkirakan tumbuh sebesar 5,2%.
![]() Orang-orang berjalan di area perbelanjaan utama di Shanghai, China, 14 Maret 2023. (REUTERS/Aly Song/File Photo) |
Bank Dunia menyatakan, perkiraan pertumbuhan 4,5% pada 2024 tersebut merupakan pertumbuhan yang paling lambat dalam tiga dekade, di luar periode pandemi Covid-19. Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh konsumsi domestik yang diperkirakan akan tertahan, sementara krisis di sektor properti akan menghambat peningkatan investasi.
Perlambatan ekonomi China yang merupakan penyokong utama pertumbuhan Asia akhirnya membuat pemerintah mempertimbangkan untuk kembali meluncurkan stimulus jumbo melalui obligasi spesial "ultra long" sebesar satu triliun yuan atau US$ 139 miliar yang setara Rp2.166 triliun (Asumsi kurs Rp15.585/US$).
Penerbitan obligasi spesial ini terbilang cukup langka, setidaknya ini terhitung yang keempat kalinya dalam 26 tahun terakhir. Melansir dari otoritas Tiongkok, di dalam proposal yang masih didiskusikan oleh pemangku kepentingan, obligasi "ultra long" ini akan digunakan untuk membiayai sejumlah proyek yang berhubungan dengan makanan, rantai pasokan, dan urbanisasi.
Jika stimulus ini bisa direalisasikan dampaknya ke Tanah Air akan baik, mengingat industri di Tiongkok akan mendapatkan sokongan dana yang mengakselerasi pemulihan ekonomi. Dampaknya, Indonesia akan dapat berkah dari perbaikan perdagangan baik ekspor dan impor, mengingat China merupakan mitra dagang terbesar RI.
Inflasi Inggris
Masih di hari yang sama pada Rabu, Inggris juga akan merilis data inflasinya pada akhir 2023 atau Desember 2023. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan inflasi Inggris pada akhir 2023 diprediksi sedikit turun menjadi 3,8% secara tahunan (yoy), dari sebelumnya sebesar 3,9% pada November 2023.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), Inggris justru diprediksi membaik yakni mengalami inflasi, dari sebelumnya pada November 2023 yang mengalami deflasi sebesar 0,2%.
Sementara untuk inflasi inti Inggris pada Desember 2023 diprediksi juga turun menjadi 4,9% (yoy), dari sebelumnya sebesar 5,1% pada November 2023.
Jika inflasi Inggris terus menurun, bukan tak mungkin bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga mulai akan memangkas suku bunga acuannya pada tahun ini.
Keputusan Suku Bunga Bank Indonesia
Hari ini juga akan diumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) untuk pertama kalinya di tahun ini. BI diramal akan kembali menahan suku bunga acuan atau BI Rate di angka 6,00%.
Pelaku pasar juga menunggu tanggapan BI perihal kondisi ekonomi secara global khususnya eskalasi geopolitik di Laut Merah yang berkorelasi dengan inflasi.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 lembaga/institusi memperkirakan secara absolute bahwa BI akan menahan suku bunga acuan (BI rate) di level 6,00%.
Suku bunga Deposit Facility kini berada di posisi 5,25% dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.
Jika BI rate benar-benar kembali ditahan di level 6%, maka ini menjadi kali ketiga BI menahan di level tersebut setelah sebelumnya, BI menaikkan suku bunganya pada Oktober 2023 sebesar 25 basis poin (bps) dari 5,75%.
BI kemungkinan besar akan menahan suku bunga untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah sudah melandainya inflasi Indonesia. Gubernur BI Perry Warjiyo dalam beberapa kesempatan menegaskan jika kebijakan moneter kini difokuskan untuk menjaga stabilitas rupiah mengingat inflasi yang sudah terkendali.
Selain keputusan suku bunga, pelaku pasar hingga investor juga menunggu sinyal BI mengenai kebijakan suku bunga ke depan, terutama kapan BI akan mulai memangkas suku bunga.
Wait and See Pidato Pejabat the Fed
Nanti malam dari negeri Paman Sam, akan ada pidato dari sejumlah pejabat the Fed seperti Michael S. Barr dan Michelle W. Bowman. Hal ini patut kita cermati, pasalnya pidato pejabat the Fed akan memberikan gambaran bagaimana kebijakan yang kemungkinan besar akan diambil pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada akhir bulan ini.
Apalagi untuk FOMC kali ini menjadi yang pertama kali diadakan pada 2024 dengan kondisi inflasi yang kembali memanas pada akhir tahun lalu dan pasar tenaga kerja masih ketat.
Sebagaimana diketahui, data inflasi konsumen (Consumer Price Index/CPI) AS periode Desember 2023.naik menjadi 3,4% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya sebesar 3,1% pada November 2023.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI Negeri Paman Sam pada Desember 2023 juga naik menjadi 0,3%, dari sebelumnya sebesar 0,1% pada November 2023.
Angka ini tentunya lebih tinggi dari konsensus pasar dalam Trading Economics yang memperkirakan CPI AS pada Desember 2023 naik 3,2% (yoy) dan 0,2% (mtm).
Kenaikan inflasi AS terjadi karena adanya seasonality natal dan tahun baru. Selain itu, memanasnya konflik di Timur Tengah yang turut menaikkan harga minyak mentah dunia juga berkontribusi menaikkan inflasi Negeri Paman Sam pada akhir 2023.
Angka inflasi terbaru AS kemungkinan akan membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) lebih berhati-hati dalam menyatakan kemenangan dalam perjuangan melawan inflasi, karena hingga saat ini inflasi AS masih belum mendekati target yang ditetapkan di 2%.
Selain itu, pasar tenaga kerja juga masih cukup ketat lantaran pekerjaan yang dicatat di luar pertanian masih tinggi, mencapai 216.000. Angka ini di luar dugaan pasar yang memperkirakan bisa turun ke 170.000 pada Desember lalu. Ditambah juga, klaim pengangguran masih meningkat dan tingkat pengangguran masih berada di bawah 4%.
(tsn/tsn)