Newsletter

Siaga Satu! Hari Ini Ada Kabar Genting dari BI, China, Sampai The Fed

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
17 January 2024 06:00
Rapat Dewan Gubernur BI.
Foto: Rapat Dewan Gubernur BI. (CNBC Indonesia/Arrijal Rachman)
  • Pasar keuangan Tanah Air kemarin berakhir beragam, IHSG berhasil rebound ke zona positif, obligasi acuan RI masih jalan di tempat, sementara rupiah masih lanjut melemah.
  • Wall Street tergelincir ke zona merah sejalan sikap pelaku pasar yang wait and see pidato pejabat the Fed.
  • Hari ini bakal jadi cukup sibuk lantaran banyak sentimen, mulai dari pertumbuhan ekonomi China, suku bunga BI, sampai pidato beberapa pejabat the Fed.

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan kemarin, Selasa (16/1/2024) bergerak beragam di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menghijau, obligasi acuan RI tak banyak pergerakan, sementara rupiah masih lanjut melemah.

Pasar keuangan hari ini diperkirakan masih bergerak beragam dengan banyaknya sentimen yang membayangi pergerakannya. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

IHSG pada perdagangan kemarin menguat 0,26% atau naik 18,78 poin menuju posisi 7.242,78. Penguatan kemarin akhirnya membalikkan pelemahan yang terjadi pada Senin sebesar -0,24%.

Penguatan IHSG kemarin dikontribusi oleh sejumlah afiliasi konglomerat Prajogo Pangestu yang berhasil rebound dengan lonjakan tajam. Diantaranya, saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) melambung lebih dari 10%, kemudian diikuti saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT) yang menguat nyaris 5%.

Secara berurutan, BREN, TPIA, dan BRPT menyumbang indeks poin ke IHSG sebanyak 17,36 poin, 10,57 poin, dan 3,26 poin. Akumulasi dari tiga saham tersebut mencapai kurang lebih 30 indeks poin.

Lainnya, ada saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang berhasil mengerek IHSG naik 2,26 indeks poin. Sebagai catatan juga, saham banking big caps ini sempat cetak rekor harga saham di posisi tertinggi sepanjang masa di harga Rp6,625 per lembar pada sesi I perdagangan kemarin.

Selain itu, minat asing di pasar saham terpantau kian deras, pada sepanjang perdagangan kemarin asing mencatatkan aksi beli bersih atau net buy sebesar Rp1,63 triliun baik di pasar nego, tunai, dan reguler. Ini meningkat tajam dibandingkan net buy asing satu hari sebelumnya yang hanya sebesar Rp185 miliar.

Tiga saham di posisi teratas paling banyak diincar asing kemarin masih dari banking big caps, diantara PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp232,1 miliar, kemudian diikuti PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebesar Rp144,5 miliar dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebesar Rp109,3 miliar.

Kontras dengan IHSG yang menghijau, pergerakan rupiah dalam melawan dolar AS kemarin malah melemah. Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah di angka Rp15.585/US$ atau turun sebesar 0,22%. Posisi ini merupakan yang terparah sejak 13 Desember 2023 atau sekitar satu bulan terakhir.

Rupiah yang melemah ini terjadi akibat tekanan indeks dolar AS (DXY) yang menguat. Hingga hari ini, Rabu (17/1/2024) pukul 02.09 WIB, DXY melonjak cukup tajam, nyaris 1% menuju 103,38. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penutupan perdagangan satu hari sebelumnya yang berada di angka 102,40.

Faktor lain rupiah melemah ini disinyalir juga karena sikap pelaku pasar yang masih wait and see keputusan suku bunga Bank Indonesia (BI) yang akan diumumkan siang ini.

Beralih ke pasar obligasi, pergerakannya secara harian tak terlalu banyak perubahan. Berdasarkan data Refinitiv, imbal hasil obligasi acuan RI dengan tenor 10 tahun masih bertengger di 6,66% pada penutupan kemarin.

Sebagai catatan, kemarin pemerintah baru saja melangsungkan lelang Surat Utang Negara (SUN) dengan hasil sesuai target, akan tetapi seri obligasi benchmark 10 tahun masih kalah laris dengan tenor lima tahun.

Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) penawaran yang masuk baik dari asing dan lokal mencapai Rp67,56 triliun. Capaian tersebut merupakan yang tertinggi sejak 31 Januari 2023.

Dari nilai tersebut, pemerintah menyerap Rp24 triliun, sesuai dengan target indikatif yang sudah direncanakan. Nilai ini juga mencetak rekor tertinggi sejak awal 2023.

Setelah libur dalam rangka peringatan Hari Martin Luther King Jr. Bursa Wall Street kompak berakhir di zona merah pada perdagangan Selasa atau Rabu dini hari waktu Indonesia. Pelaku pasar nampaknya dalam mode wait and see pidato sejumlah pejabat the Fed di tengah inflasi dan pasar tenaga kerja yang kembali memanas.

Indeks Dow Jones Index (DJI) ditutup anjlok 0,62% ke 37.361,12, indeks S&P 500 melemah 0,37% ke posisi 4765,98 dan indeks Nasdaq Composite turun 0,19% ke posisi 14.944,35.

Bursa Wall Street yang bertengger di zona merah salah satu faktornya akibat pelaku pasar yang sedang dalam mode wait and see menanti pidato dari sejumlah pejabat bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).

Sebagai diketahui, berbagai pidato dari pejabat the Fed akan memberikan gambaran bagaimana kebijakan yang kemungkinan besar akan diambil pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada akhir bulan ini.

Apalagi untuk FOMC kali ini menjadi yang pertama kali di 2024 dengan kondisi inflasi yang kembali memanas pada akhir tahun lalu dan pasar tenaga kerja masih ketat akibat pencatatan jumlah pekerjaan di luar pertanian tidak terduga naik ke 216.000 pekerjaan. .

Oleh karena itu, banyak dari pelaku pasar mulai memperkirakan kemungkinan the Fed tidak akan menurunkan suku bunga sebesar yang diharapkan sebelumnya.

Lebih mengerucut lagi dari sisi konstituen sahamnya, penyusutan bursa wall street lebih banyak dipengaruhi saham kapitalisasi pasar jumbo yang tergelincir sepanjang perdagangan semalam. Saham Apple (APPL) ambles 1,23%, diikuti saham Amazon (AMZN) jatuh 0,94% dan saham emiten yang menaungi Facebook (META) turun 1,88%. 

Selain itu, pasar juga masih mencerna berbagai rilis laporan keuangan untuk periode full year 2023 dari sektor keuangan yang jadi salah satu sektor dengan kinerja buruk. Pada hari ini Morgan Stanley mencatatkan laba bersih turun lebih dari 30% secara tahunan dari US$ 2,24 miliar menjadi US$ 1,52 miliar.

Pergerakan pasar keuangan Tanah Air hari ini, Rabu (17/1/2024) diperkirakan bakal volatile lantaran banyak sentimen mulai dari  hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, pertumbuhan ekonomi China, pidato pejabat The Fed, hingga hasil lelang Surat Utang Negara (SUN) kemarin.

Semalam pergerakan wall street juga berakhir di zona merah, hal ini perlu diantisipasi lantaran bisa meningkatkan volatilitas pada pasar saham RI. Secara lebih lengkap, berikut sentimen yang akan mempengaruhi pasar hari ini :

Minat Asing Deras, Hasil Lelang SUN Sesuai Target

Melalui sistem lelang Bank Indonesia (BI) pada Selasa (16/1/2024), pemerintah telah melaksanakan lelang Surat Utang Negara (SUN) dengan total yang dimenangkan sesuai target sebesar Rp24 triliun dari penawaran yang masuk Rp67,56 triliun. Capaian tersebut merupakan yang tertinggi dalam kurun waktu setahun terakhir,

Minat asing yang masuk juga melonjak tinggi, nyaris dua kali lipat dibandingkan lelang sebelumnya mencapai Rp12,34 triliun, dengan nilai serapan kurang lebih hanya sepertiganya saja yaitu sebesar Rp4,69 triliun.

Mulai tingginya minat asing untuk membeli SBN menunjukkan Indonesia kembali menarik di mata investor meski situasi politik tengah memanas. Besarnya investor asing yang masuk bisa menopang penguatan rupiah.

Rilis Pertumbuhan Ekonomi China & Peluncuran Stimulus Jumbo

Beralih sentimen berikutnya pada hari ini akan datang dari negeri Tirai Bambu lantaran akan merilis data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) pada kuartal IV-2023.

Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan PDB Negeri Tirai Bambu pada kuartal IV-2023 diprediksi tumbuh menjadi 5,3% secara tahunan (year on year/yoy), dari sebelumnya sebesar 4,9% pada kuartal III-2023.

Namun, secara basis kuartalan (quarter-to-quarter/qtq), PDB China pada kuartal IV-2023 diprediksi turun menjadi 1,2%, dari sebelumnya yang tumbuh 1,3% (qtq).

China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia pun mengalami dampak dari kondisi ketidakpastian global.

Dana Moneter International (IMF) memang masih mempertahankan proyeksi ekonomi China di angka 5,2% untuk 2023 dan 4,5% untuk 2024. Namun, IMF menggarisbawahi bahwa setelah pelonggaran besar-besaran sejak akhir tahun lalu dengan mengurangi pembatasan terkait Covid-19 terjadi, potensi untuk tumbuh tinggi pun menjadi hilang.

Lebih lanjut, tidak seperti negara lainnya yang tertekan inflasi, China justru masih mengalami deflasi. Pada Desember 2023 atau akhir 2023, consumer price index (CPI) juga masih mengalami deflasi di angka 0,3% yoy, dari yang sebelumnya deflasi 0,5% yoy.

Kendati mengalami perbaikan, namun CPI China masih relatif menunjukkan bahwa ekonominya cukup lambat. Ini menjadi alarm peringatan berlanjutnya pelemahan permintaan. Salah satu alasannya adalah konsumen menunda pembelian mereka dengan harapan harga yang lebih rendah.

Di tambah, krisis properti di China yang belum berakhir turut membebani perekonomian China. Setelah kasus Evergrande dan Kaisa Group Holdings, kini krisis properti bertambah yakni Zhongzhi Enterprise Group.

Krisis properti dan masih lesunya perekonomian China membuat Bank Dunia (World Bank) pun memproyeksikan perekonomian China tumbuh sebesar 4,5% pada 2024, melambat dari 2023 yang diperkirakan tumbuh sebesar 5,2%.

Orang-orang berjalan di area perbelanjaan utama di Shanghai, China, 14 Maret 2023. (REUTERS/Aly Song/File Photo)Foto: Orang-orang berjalan di area perbelanjaan utama di Shanghai, China, 14 Maret 2023. (REUTERS/ALY SONG)
Orang-orang berjalan di area perbelanjaan utama di Shanghai, China, 14 Maret 2023. (REUTERS/Aly Song/File Photo)

Bank Dunia menyatakan, perkiraan pertumbuhan 4,5% pada 2024 tersebut merupakan pertumbuhan yang paling lambat dalam tiga dekade, di luar periode pandemi Covid-19. Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh konsumsi domestik yang diperkirakan akan tertahan, sementara krisis di sektor properti akan menghambat peningkatan investasi.

Perlambatan ekonomi China yang merupakan penyokong utama pertumbuhan Asia akhirnya membuat pemerintah mempertimbangkan untuk kembali meluncurkan stimulus jumbo melalui obligasi spesial "ultra long" sebesar satu triliun yuan atau US$ 139 miliar yang setara Rp2.166 triliun (Asumsi kurs Rp15.585/US$).

Penerbitan obligasi spesial ini terbilang cukup langka, setidaknya ini terhitung yang keempat kalinya dalam 26 tahun terakhir. Melansir dari otoritas Tiongkok, di dalam proposal yang masih didiskusikan oleh pemangku kepentingan, obligasi "ultra long" ini akan digunakan untuk membiayai sejumlah proyek yang berhubungan dengan makanan, rantai pasokan, dan urbanisasi.

Jika stimulus ini bisa direalisasikan dampaknya ke Tanah Air akan baik, mengingat industri di Tiongkok akan mendapatkan sokongan dana yang mengakselerasi pemulihan ekonomi. Dampaknya, Indonesia akan dapat berkah dari perbaikan perdagangan baik ekspor dan impor, mengingat China merupakan mitra dagang terbesar RI.

Inflasi Inggris

Masih di hari yang sama pada Rabu, Inggris juga akan merilis data inflasinya pada akhir 2023 atau Desember 2023. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan inflasi Inggris pada akhir 2023 diprediksi sedikit turun menjadi 3,8% secara tahunan (yoy), dari sebelumnya sebesar 3,9% pada November 2023.

Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), Inggris justru diprediksi membaik yakni mengalami inflasi, dari sebelumnya pada November 2023 yang mengalami deflasi sebesar 0,2%.

Sementara untuk inflasi inti Inggris pada Desember 2023 diprediksi juga turun menjadi 4,9% (yoy), dari sebelumnya sebesar 5,1% pada November 2023.

Jika inflasi Inggris terus menurun, bukan tak mungkin bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) juga mulai akan memangkas suku bunga acuannya pada tahun ini.

Keputusan Suku Bunga Bank Indonesia

Hari ini juga akan diumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) untuk pertama kalinya di tahun ini. BI diramal akan kembali menahan suku bunga acuan atau BI Rate di angka 6,00%.

Pelaku pasar juga menunggu tanggapan BI perihal kondisi ekonomi secara global khususnya eskalasi geopolitik di Laut Merah yang berkorelasi dengan inflasi.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 lembaga/institusi memperkirakan secara absolute bahwa BI akan menahan suku bunga acuan (BI rate) di level 6,00%.

Suku bunga Deposit Facility kini berada di posisi 5,25% dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.

Jika BI rate benar-benar kembali ditahan di level 6%, maka ini menjadi kali ketiga BI menahan di level tersebut setelah sebelumnya, BI menaikkan suku bunganya pada Oktober 2023 sebesar 25 basis poin (bps) dari 5,75%.

BI kemungkinan besar akan menahan suku bunga untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah sudah melandainya inflasi Indonesia. Gubernur BI Perry Warjiyo dalam beberapa kesempatan menegaskan jika kebijakan moneter kini difokuskan untuk menjaga stabilitas rupiah mengingat inflasi yang sudah terkendali.

Selain keputusan suku bunga, pelaku pasar hingga investor juga menunggu sinyal BI mengenai kebijakan suku bunga ke depan, terutama kapan BI akan mulai memangkas suku bunga. 

Wait and See Pidato Pejabat the Fed

Nanti malam dari negeri Paman Sam, akan ada pidato dari sejumlah pejabat the Fed seperti Michael S. Barr dan Michelle W. BowmanHal ini patut kita cermati, pasalnya pidato pejabat the Fed akan memberikan gambaran bagaimana kebijakan yang kemungkinan besar akan diambil pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada akhir bulan ini.

Apalagi untuk FOMC kali ini menjadi yang pertama kali diadakan pada 2024 dengan kondisi inflasi yang kembali memanas pada akhir tahun lalu dan pasar tenaga kerja masih ketat.

Sebagaimana diketahui, data inflasi konsumen (Consumer Price Index/CPI) AS periode Desember 2023.naik menjadi 3,4% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya sebesar 3,1% pada November 2023.

Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI Negeri Paman Sam pada Desember 2023 juga naik menjadi 0,3%, dari sebelumnya sebesar 0,1% pada November 2023.

Angka ini tentunya lebih tinggi dari konsensus pasar dalam Trading Economics yang memperkirakan CPI AS pada Desember 2023 naik 3,2% (yoy) dan 0,2% (mtm).

Kenaikan inflasi AS terjadi karena adanya seasonality natal dan tahun baru. Selain itu, memanasnya konflik di Timur Tengah yang turut menaikkan harga minyak mentah dunia juga berkontribusi menaikkan inflasi Negeri Paman Sam pada akhir 2023.

Angka inflasi terbaru AS kemungkinan akan membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) lebih berhati-hati dalam menyatakan kemenangan dalam perjuangan melawan inflasi, karena hingga saat ini inflasi AS masih belum mendekati target yang ditetapkan di 2%.

Selain itu, pasar tenaga kerja juga masih cukup ketat lantaran pekerjaan yang dicatat di luar pertanian masih tinggi, mencapai 216.000. Angka ini di luar dugaan pasar yang memperkirakan bisa turun ke 170.000 pada Desember lalu. Ditambah juga, klaim pengangguran masih meningkat dan tingkat pengangguran masih berada di bawah 4%.

Rabu, 17 Januari 2024

Agenda Ekonomi :

  1. Inflasi Inggris (07.00 WIB)

  2. Pertumbuhan GDP China Kuartal IV/2023 (09.00 WIB) )

  3. Penjualan Ritel China Desember 2023 (09.00 WIB)

  4. Tingkat Pengangguran China Desember 2023 (09.00 WIB)

  5. Peresmian Indonesia Energy Transition Implementation Joint Office (12:00 WIB)

  6. Pengumuman Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) Januari 2024 (14.00 WIB)

  7. Pidato Sejumlah Pejabat the Fed (21.00 WIB)

 

Agenda Perusahaan :

  1. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) AMMS

  2. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) ELSA

Berikut data indikator ekonomi nasional :

CNBC INDONESIA RESEARCH 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular