
Selamat Datang 2024, Hidup Tak Akan Lebih Mudah

Harga mayoritas komoditas energi dan pangan melandai pada 2023 setelah terbang pada 2022. Normalisasi pasokan dan permintaan membuat harga lebih terkendali. Perekonomian global yang melambat juga menjadi alasan lainnya.
Lesunya pasar komoditas juga menjangkit sektor perkebunan, terutama pasar minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO). Sepanjang 2023, harga CPO bursa Malaysia tercatat melemah 11,33% dibandingkan 2022. Pada perdagangan hari ini, Jumat (29/12/2023) pada pukul 12.09 tercatat MYR 3.701 per ton.
Pelemahan CPO sepanjang 2023 disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah penurunan permintaan impor dari beberapa negara utama seperti China dan India, pelemahan harga minyak nabati lainnya sebagai subtitusi seperti minyak dan penurunan harga minyak dunia.
Melihat 2024, harga CPO global diperkirakan akan lebih bullish karena produksi yang stagnan di produsen utama yakni Indonesia dan Malaysia. Sementara permintaan akan bertambah terutama untuk kebutuhan pembuatan biodiesel.
Menurut konsensus S&P Global Commodity Insights, rata-rata harga minyak kelapa sawit bursa berjangka Malaysia diperkirakan sebesar MYR 4.000 per ton pada 2024. Harga tersebut lebih tinggi 5% dibandingkan dengan rata-rata harga CPO pada 2023 yakni MYR 3.798 per ton.
Kenaikan harga salah satunya ditopang oleh program biodiesel. Permintaan untuk biodiesel akan bertambah pesat didorong oleh Indonesia. Ekspektasi penggunaan CPO untuk biodiesel di Indonesia aken meningkat menjadi 11 sampai 12 juta ton pada 2024. Sekaligus melewati permintaan untuk konsumsi pangan sebesar 10 juta ton pada 2024.
Dari sisi produksi, El Nino akan menjadi tantangan utama bagi Malaysia dan Indonesia pada 2024 sehingga diperkirakan tidak akan tumbuh signifikan.
Produk minyak sawit Indonesia diperkirakan akan stabil 48,5 juta ton dan Malaysia 18,5 juta ton pada 2024.
Berdasarkan data historis, selama Ninao pada 2015-2016 hasil panen kelapa sawit turun sebesar 17% di Indonesia dan 9% di Malaysia.
Siap Rekor Lagi! Sinar Emas Semakin Gemerlap pada 2024
Pada 2023 harga emas mengalami jatuh bangun. Sempat terpuruk pada Maret dan September, harga emas dunia berhasil bangkit. Pada Maret dan September harga emas dunia tersungkur ke US$1.800-an.
Kebangkitan emas dunia terasa pada kuartal terakhir 2023, di mana emas sempat menyentuh harga tertinggi sepanjang masa di US$2.135 per troy ons.
Sepanjang 2023, harga emas dunia di pasar spot menguat 13,34%. Pada perdagangan hari ini, Jumat (29/12/2023) pada pukul 16.49 tercatat US$2.067 per troy ons.
Harga emas dunia diperkirakan akan berkilau pada 2024 seiring dengan ekspektasi penurunan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed).
Wong dari OANDA memperkirakan bahwa harga emas spot dapat menguat di rentang US$2.250 sampai US$2.330 per troy ons.
Proyeksi dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni The Fed dan lebih rendahnya imbal hasil riil Treasury AS 10-tahun menjelang tahun 2024, jelasnya.
Potensi Batu Bara Makin Gelap di 2024
Harga batu bara sepanjang tahun ini telah ambruk 64,55% menjadi US$ 136,95 per ton per Jumat (29/12/2023).
Pengendalian inflasi melalui pengetatan suku bunga yang mengerem permintaan, produksi berbagai negara penghasil terbesar yang semakin tinggi, dan normaslisasi rantai pasok akibat perang Rusia-Ukraina yang semakin terkendali menjadi faktor penurunan harga batu bara. Selain itu, berbagai sentimen mengiringi perjalanan harga batu bara sepanjang 2023.
Adapun sentimen yang sempat mengungkit harga batu bara global dalam jangka pendek yakni suhu panas yang menyebabkan lonjakan permintaan batu bara untuk sumber energi pendingin ruangan dan perang Israel-Hamas yang membuat kekhawatiran pasokan batu bara global.
Kemudian, sentimen penyebab penurunan harga dalam jangka pendek diantaranya, China yang kembali membuka keran impor dari Australia, lesunya perekonomian China, dan musim dingin Eropa yang relatif lebih hangat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Ahmad Zuhdi, Analis Industri Pertambangan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk memperkirakan harga batu bara pada 2024 diproyeksi berada di rata-rata di kisaran harga US$117 per ton, jauh di bawah rata-rata sepanjang 2023 yang mencapai US$175 per ton.
Meski terjadi penurunan, proyeksi harga masih di atas level psikologis US$ 100 per ton, menunjukkan level yang masih lebih tinggi dibanding pra pandemi, dengan catatan bahwa kemungkinan penurunan suku bunga dapat memacu sisi permintaan kembali.
Zuhdi menjelaskan bahwa kebijakan pengetatan suku bunga lebih berdampak pada demand side daripada supply side, dan keadaan saat ini lebih dipengaruhi oleh supply shock pasca pandemi.
Minyak Mentah, Menggantungkan Nasib ke OPEC
Harga minyak Brent dan WTI mengalami fluktuasi panjang (sideways) sepanjang tahun 2023 Faktor utama yang mempengaruhi pergerakan harga kedua patokan ini antara Januari hingga Desember adalah pengurangan pasokan yang diumumkan oleh OPEC+ ditambah munculnya ketegangan akibat perang Israel-Hamas.
Perusahaan minyak besar seperti Arab Saudi dan Rusia telah memperjuangkan pengurangan produksi minyak sebagai langkah pencegahan untuk menstabilkan pasar minyak. Harga minyak jenis brent ambles 10,1% sementara WTI jeblok 10,9% sepanjang tahun ini.
Harga minyak tetap bergerak fluktuatif sepanjang 2023 meskipun pertemuan terakhir OPEC+ menunjukkan terbatasnya pengurangan pasokan. Hal ini disinyalir akibat pengetatan suku bunga yang membuat sisi permintaan mengalami perlambatan.
Adanya sentimen pelonggaran moneter pada 2024 diperkirakan akan menjadi katalis permintaan akan membaik dan harga minyak dapat terus bertahan di level tinggi. Sebagai catatan, harga minyak terus melemah hingga akhir tahun, namun ketegangan di Timur Tengah yang menjadikan adanya kekhawatiran pasokan menciptakan tren penguatan dalam sesi terakhir di Desember.
Analis memperkirakan harga minyak mentah bisa mencapai kisaran US$ 89-90 per barel pada akhir 2023, dan pergeseran pasokan serta ketegangan geopolitik di Timur Tengah tetap menjadi faktor kunci dalam menentukan prospek harga minyak mentah WTI dan Brent untuk 2024.
(mae)
