
Selamat Datang 2024, Hidup Tak Akan Lebih Mudah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengakhiri pemerintahan satu dekadenya pada tahun ini.
Indonesia dipastikan akan memiliki presiden baru pada tahun ini. Pemilihan presiden (pilpres) akan digelar pada 14 Februari 2024. Jika belum ada pemenang mayoritas maka pilpres putaran kedua akan digelar pada 26 Juni.
Presiden baru akan dilantik pada Oktober 2024 untuk menggantikan Jokowi. Ada tiga nama yang bertarung dalam pilpres 2024 yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo.
Siapapun presiden yang terpilih nanti, dia tidak akan memiliki banyak waktu untuk menggenjot ekonomi 2024 karena waktu yang sangat sempit.
Artinya, pertumbuhan akan sangat bertumpu pada tahun terakhir pemerintahan Jokowi. Tahun 2024 menjadi kesempatan terakhir Jokowi menuntaskan segala ambisi dan target sekaligus meletakkan dasar penting bagi ekonomi Indonesia ke depan.
Ekonomi di era Jokowi rata-rata tumbuh 4,2% sepanjang kuartal III-2014- kuartal III-2023. Pertumbuhan tersebut jauh di atas ambisi Jokowi yang ada di angka 7%.
Dalam APBN 2024, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%. Proyeksi pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan proyeksi Bank Dunia ataupun IMF.
Setelah diterjang pandemi pada 2020, ekonomi Indonesia mulai pulih pada 2023. Hingga kuartal III-2023, ekonomi Indonesia secara kumulatif tumbuh 5,05%.
Melandainya inflasi menjadi modal penting bagi pemerintahan Jokowi untuk menggenjot konsumsi masyarakat. Konsumsi juga diharapkan melesat karena ada kampanye dan pemilu.
Namun, pemilu di sisi lain investasi bisa tertahan karena investor memilih wait and see. Investasi diperkirakan baru akan naik setelah pemenang pilpres diketahui.
Satu motor pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lesu pada tahun ini adalah ekspor. Bila ekspor 2022 dan 2023 melonjak karena harga komoditas maka durian runtuh tersebut sepertinya sudah tidak ada lagi tahun ini sejalan dengan normalisasi pasokan.
Tugas Berat APBN di 2024
APBN diharapkan bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan lain selain konsumsi. Sayangnya, realisasi anggaran di tahun politik justru lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini bisa dipahami mengingat banyak pemerintah daerah yang tidak ekspansif.
Jalannya pemerintahan juga tidak akan maksimal mengingat ada masa transisi setelah presiden terpilih. Data Kementerian Keuangan menunjukkan rata-rata penyerapan belanja negara di man ada di angka 95,6%, di bawah rata-rata yakni 96.2%.
Dalam APBN 2024, pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp2.802,3 triliun. Belanja negara direncanakan sebesar Rp3.325,1 triliun sehingga da defisit 2,29% PDB atau secara nominal sebesar Rp522,8 triliun.
Kepala ekonom BCA, David Sumual, menjelaskan belanja fiskal pada tahun ini krusial dalam menjaga daya beli masyarakat, terutama bagi masyarakat menengah-bawah. Menurutnya, belanja fiskal dapat disesuaikan untuk menargetkan hal yang dapat mengancam daya beli masyarakat seperti harga beras di pasar domestik.
"Belanja fiskal juga penting dalam menjaga momentum investasi terutama pembangunan infrastruktur seiring kondisi suku bunga riil saat ini yang cukup tinggi dan dapat menekan minat investasi swasta," tutur David, kepada CNBC Indonesia.
Senada, ekonom Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Wisnubroto mengingatkan kebijakan fiskal masih harus tetap akomodatif, terutama untuk sektor-sektor yang memiliki multiplier dan penyerapan tenaga kerja yang tinggi, untuk mendorong perekonomian.
Salah satu dorongan besar dari APBN untuk ekonomi tahun ini akan datang dari belanja pemilu. Untuk Pemilu 2024, Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran hingga Rp71,3 triliun di mana Rp 38,2 triliun akan disalurkan pada tahun ini. Belanja sebesar itu diharapkan bisa menggerakkan banyak sektor mulai dari makanan dan minuman hingga percetakan.
Selain menjadi motor belanja konsumsi masyarakat, APBN juga memiliki tugas berat untuk membiayai pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN). Pada tahun ini, pemerintah akan menggelontorkan anggaran sekitar Rp 40,6 triliun untuk membiayai pembangunan IKN ynag tersebar di sejumlah kementerian/lembaga, seperti Kementerian Pekerjaan Umum.
Kredit Diharapkan Naik, Likuiditas Aman?
Pertumbuhan kredit diharapkan bisa meningkat pada tahun ini setelah lesu pada 2023. BI memperkirakan kredit perbankan akan tumbuh 10-12% pada tahun ini, naik dibandingkan perkiraan pada 2023 sebesar 9-11%. Kredit sendiri tumbuh 9,74% per November 2023.
Sebagai informasi, pada awalnya BI menargetkan pertumbuhan kredit 2023 mencapai 10%-12%. Kemudian pada pertengahan tahun Bank Sentral merevisi target menjadi 9%-11%.
Kenaikan kredit akan ditopang oleh pemulihan ekonomi, kebijakan suku bunga yang diperkirakan akan melunak pada tahun ini serta besarnya belanja pemerintah, termasuk infrastruktur.
Sejumlah analis memperkirakan BI akan mulai memangkas suku bunga pada semester II-2024 seiring melunaknya kebijakan The Fed. Kendati demikian, ada risiko dalam proyeksi kenaikan kredit yakni terbatasnya likuiditas.
Persoalan likuiditas bahkan menjadi kritikan Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia November lalu.
Dia pun meminta agar perbankan tidak menghabiskan likuiditas untuk membeli instrumen yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), seperti Surat Berharga Negara (SBN),Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan sekuritas valuta asing Bank Indonesia (SVBI).
Dalam catatan BI, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) juga terus melandai dari 6,54% pada September 2022 menjadi 3,43% pada Oktober dan 3,04% pada November.
Perbankan juga harus bersaing dengan Kementerian Keuangan yang akan menyerap likuiditas melalui penerbitan SBN.
Dalam catatan Kemenkeu, Sejak 2023, Kementerian Keuangan sudah menerbitkan tujuh SBN ritel dengan total penerbitan sekitar Rp 127,4 triliun. BI juga aktif mengeluarkan instrumen seperti SRBI serta menyerap likuiditas rupiah demi menjaga stabilitas rupiah melalui operasi moneter.
(mae)