Newsletter

Kabar Baik dari AS Terancam Sia-Sia Karena Cabai Rawit Mahal

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
01 December 2023 05:58
Kolase Foto Beras dan Cabai.
Foto: Kolase Foto Beras dan Cabai. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
  • Pasar keuangan RI kembali ditutup beragam di mana IHSG menguat tetapi tupiah melemah dan SBN masih diincar investor
  • Wall Street berpesta setelah PCE AS turun tajam
  • Data inflasi  RI November, PMI Manufaktur RI pada November, serta PCE AS diperkirakan akan membayangi pergerakan pasar keuangan RI hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan Kamis (30/11/2023) kemarin kembali beragam, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup menguat, sedangkan rupiah ditutup melemah dan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) kembali melandai.

Pasar keuangan RI hari ini diharappkan kompak menguat seiring kabar baik dari AS. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 dan 4 artikel ini.

IHSG pada perdagangan kemarin, Kamis (30/11/2023), menguat 0,63% ke posisi 7.080,741. IHSG bahkan sempat menyentuh level psikologis 7.100 pada sesi II kemarin.

Nilai transaksi IHSG kemarin mencapai sekitaran Rp 25 triliun dengan melibatkan 32 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 238 saham terapresiasi, 304 saham terdepresiasi, dan 216 saham stagnan.

Secara sektoral, sektor infrastruktur menjadi penopang terbesar IHSG pada hari ini, yakni mencapai 5,61%. Selain infrastruktur, sektor kesehatan juga menjadi penopang IHSG yakni sebesar 2,28%.

Investor asing kembali mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 138,92 miliar di pasar reguler pada perdagangan kemarin.

Sedangkan di bursa Asia-Pasifik, secara mayoritas menguat. Kecuali PSEi Filipina, SETi Thailand, dan Straits Times Singapura yang berakhir terkoreksi kemarin.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin berakhir melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mengakhiri penguatannya dalam tiga hari beruntun.

Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 15,505/US$ di pasar spot, melemah 0,75% di hadapan dolar AS.

Di Asia-Pasifik, rupiah tidak sendirian, di mana hanya rupee India yang berhasil melawan The Greenback (dolar AS). Sedangkan sisanya tak kuat melawan Greenback. Namun sayangnya, rupiah berada di posisi kedua dari mata uang Asia yang melemah.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Kamis kemarin.

Adapun di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya kembali menguat, terlihat dari imbal hasil (yield) yang kembali melandai.

Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau turun 0,5 basis poin (bp) menjadi 6,789%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield turun, maka tandanya investor sedang memburu SBN.

Di akhir perdagangan kemarin, nilai transaksi IHSG secara tak terduga mengalami peningkatan drastis, di mana nilai transaksinya mencapai sekitar Rp 25 triliun.

Hal ini dikarenakan pada hari ini resmi diberlakukannya perubahan atau rebalancing dari indeks MSCI, sehingga terjadi lonjakan dari nilai transaksinya. Para fund manager pun telah mengantisipasi dari resmi berlakunya rebalancing MSCI terbaru ini sejak pengumumannya 14 November lalu.

Sedangkan rupiah berbalik arah setelah pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI 2023) dan ekonomi China yang melambat.

PTBI 2023 yang diselenggarakan kemarin menjadi salah satu penggerak utama mata uang Garuda pada perdagangan kemarin.

Satu pernyataan keras Jokowi adalah soal kondisi likuiditas di perbankan yang mulai kering. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai mengkhawatirkan makin keringnya likuiditas di perbankan karena bisa mengganggu sektor riil, terutama dalam penyaluran kredit.

"Meskipun kalau kita lihat kadang-kadang di bawah tadi saya sampaikan ke Pak Gub, Pak Gubernur saya mendengar dari banyak pelaku usaha ini kelihatannya kok peredaran uangnnya makin kering. Saya mengajak seluruh perbankan harus prudent harus hati-hati tapi tolong lebih di dorong lagi kreditnya, terutama bagi umkm," kata Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (29/11/2023)

Hal ini dapat memberikan sentimen negatif bagi investor asing. Investor asing dapat menilai jika berinvestasi di Indonesia dengan kondisi saat ini tidak cukup baik khususnya dalam waktu dekat.

Jokowi pun meminta agar perbankan tidak menghabiskan likuiditas untuk membeli instrumen yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), seperti Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan sekuritas valuta asing Bank Indonesia (SVBI).

Dari Amerika Serikat, bursa Wall Street, ditutup beragam pada perdagangan Kamis waktu AS atau Jumat dini hari waktu Indonesia.  Indeks Dow Jones ditutup menguat tajam dan mencetak rekor terbaiknya tahun ini. Indeks melesat 1,47% atay 520,47 poin ke 35.950,89.

Indeks S&P 500 juga menguat 0,38% atau 17,22 poin ke 4.567,8. Sebaliknya, indeks Nasdaq melemah 0,23% atau 32,27 poin ke 14.226,22.

Indeks Nasdaq terkoreksi setelah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali naik kemarin. Yield Treasury tenor 10 tahun naik 7 basis poin (bp) menjadi 4,34%.

Sedangkan indeks Dow Jones dan S&P menguat tajam setelah data pengeluaran pribadi warga AS (Personal Consumption Expenditures Price Index) melandai ke 3% (year-on-year/yoy) pada Oktober 2023, dari 3,4% (yoy) pada November 2023.

"Apa yang telah kita lihat di November adalah bukti bahwa ekonomi AS masih baik-baik saja. Konsumsi masih tangguh dan The Fed menahan suku bunga," tutur Chris Zaccarelli, chief investment officer dari Independent Advisor Alliance, dikutip dari CNBC International.

Berdasarkan data dari Departemen Perdagangan AS, inflasi PCE pada Oktober tercatat 0% secara bulanan (month-to-month/mtm) dibandingkan bulan sebelumnya dan tumbuh 3% secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka ini lebih rendah dari posisi September lalu yang sebesar 0,4% (mtm) dan 3,4% (yoy).

Angka inflasi PCE Oktober juga lebih rendah dari konsensus pasar dalam Trading Economics yang memperkirakan tumbuh 0,2% (mtm) dan 3,1% (yoy).

Adapun inflasi PCE inti, yang tidak termasuk harga makanan dan energi, naik 0,2% (mtm) dan 3,5% (yoy) pada bulan ini. Kedua angka tersebut selaras dengan konsensus Dow Jones. 

Sementara itu belanja konsumen, yang menyumbang lebih dari dua pertiga aktivitas ekonomi AS, meningkat 0,2% pada bulan lalu, setelah kenaikan 0,7% yang tidak direvisi pada September, berdasarkan data dari Biro Analisis Ekonomi. Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan pengeluaran naik 0,2%.

Inflasi PCE ini akan digunakan oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sebagai acuan untuk menentukan arah kebijakan moneter selanjutnya.

Dengan data inflasi PCE yang semakin mendingin, maka hal ini dapat memperkuat optimisme pasar akan berakhirnya era suku bunga tinggi di tahun depan.

Pelaku pasar sudah mengantisipasi penurunan suku bunga acuan pada pertengahan 2024. Berdasarkan perangkat CME FedWatch, sebanyak 96% pelaku pasar memprediksi bahwa The Fed akan menahan kembali suku bunga acuannya pada pertemuan Desember mendatang.

Sementara itu, pelaku pasar memprediksi The Fed baru akan memulai pangkas suku bunga acuannya pada pertemuan Mei 2024, yakni sebanyak 49,5%.

Sejak Maret 2022, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 525 basis poin (bp) ke kisaran saat ini 5,25%-5,50%.

Di lain sisi, kondisi pasar tenaga kerja juga terus membaik diperkuat oleh laporan terpisah dari Departemen Tenaga Kerja yang menunjukkan klaim awal tunjangan pengangguran meningkat 7.000 menjadi 218.000 yang disesuaikan secara musiman untuk pekan yang berakhir 25 November. Para ekonom memperkirakan 226.000 klaim untuk minggu terakhir.

Data klaim minggu lalu termasuk Hari Libur Thanksgiving. Klaim cenderung fluktuatif saat hari libur. Namun, pasar tenaga kerja melemah seiring dengan permintaan perekonomian secara keseluruhan.

Pada hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen penggerak pasar hari ini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari luar negeri, melesatnya indeks Dow Jones bisa menjadi sentimen positif. PCE Amerika Serikat yang melandai juga menjadi kabar baik bagi pelaku pasar di bursa saham, rupiah, dan SBN. Namun, inflasi Indonesia pada November yang diproyeksi naik bisa menjadi sentimen buruk bagi pasar keuangan domestik.

Berikut beberapa sentimen di hari terakhir perdagangan pekan ini: 

Inflasi Indonesia Kembali Memanas?

Pada hari ini, inflasi Indonesia periode November 2023 akan dirilis. Diperkirakan, tingkat inflasi pada November 2023 diperkirakan meningkat, baik secara bulanan (month-to-month/mtm) maupun tahunan (year-on-year/yoy).

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 institusi memperkirakan inflasi November 2023 akan mencapai 0,24% dibandingkan bulan sebelumnya (mtm).

Hasil polling juga memperkirakan inflasi tahunan (yoy) akan berada di angka 2,72% pada November lalu. Inflasi inti (yoy) juga diperkirakan mencapai 1,92%.

Sebagai catatan, inflasi pada Oktober 2023 tercatat 2,56% (yoy) dan 0,17% (mtm) sementara inflasi inti mencapai 1,54% (yoy).

Dalam catatan BPS, inflasi secara bulanan memang biasanya meningkat mulai November dan terus akan meningkat di akhir tahun. Sepanjang periode 2018-2022 atau lima tahun terakhir, inflasi (mtm) November mencapai 0,23%.

Inflasi November tahun ini juga diprediksi akan kencang karena melonjaknya sejumlah harga bahan pangan.

Ekonom Bank Maybank Indonesia, Juniman, memperkirakan inflasi akan naik karena meningkatnya sejumlah harga pangan, terutama gula, cabai rawit merah, bawang putih, rokok.

"Komoditas utama penyumbang inflasi adalah beras, telur, dan cabai rawit merah," tutur Juniman, kepada CNBC Indonesia.

Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) menunjukkan bahan pokok yang mengalami lonjakan harga adalah cabai merah keriting, cabai rawit merah, dan gula pasir.

Rata-rata harga cabai rawit merah keriting pada November mencapai Rp 65.631 per kg, naik 39,7% dibandingkan Oktober.
Harga cabai rawit merah keriting melonjak 39% pada November menjadi Rp 82.318/kg. Di sejumlah wilayah, harga cabai rawit bahkan menembus lebih dari Rp 120.000 per kg.

Bila dibandingkan November tahun lalu, harga cabai merah keriting terbang 97,36% sementara cabai rawit merah melonjak 79,25%.

 

PMI Manufaktur RI November, Masih Loyo?

S&P Global hari ini akan merilis data aktivitas manufaktur Indonesia yang terekam dalam data PMI Manufaktur. PMI Manufaktur Indonesia kembali jeblok pada Oktober tahun ini. Untuk periode Oktober 2023, PMI manufaktur Indonesia ada di angka 51,5. Indeks PMI terjun ke level terendah sejak Mei 2023 atau terendah dalam lima bulan terakhir.

Meski melandai, PMI manufaktur Indonesia sudah berada dalam fase ekspansif selama 26 bulan terakhir. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.

S&P Global menjelaskan PMI melambat karena menurunnya pemesanan baru dari luar negeri sejalan dengan melambatnya permintaan. Kepercayaan bisnis dalam 12 bulan ke depan turun jauh ke level terendah sejak Februari 2023. Kepercayaan bisnis ambruk karena meningkatnya ketidakpastian global ke depan

Menarik disimak apakah PMI Manufaktur RI akan membaik atau makin memburuk pada November 2023. Jika PMI memburuk maka ini menjadi warning bahaya bagi Indonesia menginat ini bisa menjadi sinyal perlambatan ekonomi domestik.

Setelah kemarin data PMI manufaktur China periode November 2023 versi NBS dirilis. Pada hari ini, beberapa negara termasuk China akan merilis PMI manufaktur periode November 2023.

Untuk China, kali ini data PMI manufaktur versi Caixin, di mana angkanya diperkirakan kembali melandai menjadi 48,1, dari sebelumnya sebesar 48,7 pada Oktober lalu.

Dengan demikian, maka sektor manufaktur China masih berada di zona kontraksi.

Sebelumnya kemarin, PMI manufaktur versi NBS pada November 2023 dilaporkan melandai menjadi 49,4, dari sebelumnya di angka 49,5 pada Oktober lalu. Angka ini juga lebih rendah dari ekspektasi penurunan pasar yang sebesar 49,9.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi.

Ini menandakan bahwa roda ekonomi China masih belum bertumbuh baik. Hal ini menjadi penting mengingat China merupakan negara dengan perekonomian terbesar di Asia serta mitra dagang Indonesia.

Kondisi tersebut sangat berdampak pada ekspor RI yang susut yang kemudian tercermin pada neraca transaksi berjalan RI yang kembali defisit. Ini juga menjadi tanda bahwa boom komoditas sudah mulai berakhir.

Selain China, Jepang, Australia, Korea Selatan, Uni Eropa, AS, dan tentunya Indonesia juga akan merilis data PMI manufaktur periode November pada hari ini.

PCE AS Melandai, Pasar Makin Optimis The Fed Melunak 

Departemen Perdagangan AS melaporkan Personal Consumption Expenditures(PCE) melandai bulan lalu. PCE mencerminkan konsumsi belanja pribadi warga AS dan menjadi acuan utama The Fed dalam menentukan kebijakan.

Melandainya PCE seharusnya bisa mendorong The Fed untuk melunak. Kondisi ini akan diharapkan bisa membuat investor mulai melirik investasi di luar pasar AS, seperti di Emerging Markets. Arus modal asing pun diharapkan mengalir deras ke Emerging Markets, seperti Indonesia.

PCE Oktober 2023 tercatat stagnan 0% secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 3% secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka ini lebih rendah dari posisi September lalu yang sebesar 0,4% (mtm) dan 3,4% (yoy).

Angka PCE Oktober juga lebih rendah dari konsensus pasar dalamTrading Economics yang memperkirakan naik 0,2% (mtm) dan 3,1% (yoy).

Adapun inflasi PCE inti, yang tidak termasuk harga makanan dan energi, naik 0,2% (mtm) dan 3,5% (yoy) pada bulan ini. Kedua angka tersebut selaras dengan konsensus Dow Jones.

Dengan data inflasi PCE yang semakin mendingin, maka hal ini dapat memperkuat optimisme pasar akan berakhirnya era suku bunga tinggi di tahun depan.

Pelaku pasar sudah mengantisipasi penurunan suku bunga acuan pada pertengahan 2024. Berdasarkan perangkat CME FedWatch, sebanyak 96% pelaku pasar memprediksi bahwa The Fed akan menahan kembali suku bunga acuannya pada pertemuan Desember mendatang.

Sementara itu, pelaku pasar memprediksi The Fed baru akan memulai pangkas suku bunga acuannya pada pertemuan Mei 2024, yakni sebanyak 49,5%.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data final PMI manufaktur Australia Judo Bank periode November 2023 (05:00 WIB),
  2. Rilis data tingkat pengangguran Jepang periode Oktober 2023 (06:30 WIB),
  3. Rilis data neraca perdagangan Korea Selatan periode November 2023 (07:00 WIB),
  4. Rilis data ekspor-impor Korea Selatan periode November 2023 (07:00 WIB),
  5. Rilis data PMI manufaktur Indonesia periode November 2023 (07:30 WIB),
  6. Rilis data final PMI manufaktur Jepang Jibun Bank periode November 2023 (07:30 WIB),
  7. Rilis data PMI manufaktur Korea Selatan periode November 2023 (07:30 WIB),
  8. Rilis data PMI manufaktur China Caixin periode November 2023 (08:45 WIB),
  9. Rilis data inflasi Indonesia periode November 2023 (09:00 WIB),
  10. Rilis data final PMI manufaktur Uni Eropa periode November 2023 (16:00 WIB),
  11. Rilis data final PMI manufaktur Inggris periode November 2023 (16:30 WIB),
  12. Pidato Ketua bank sentral Eropa (16:30 WIB),
  13. Rilis data final PMI manufaktur Amerika Serikat S&P Global periode November 2023 (21:45 WIB),
  14. Rilis data PMI manufaktur Amerika Serikat ISM periode November 2023 (22:00 WIB),
  15. Pidato Ketua bank sentral Amerika Serikat (23:00 WIB).

 

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. RUPS Luar Biasa PT Indonesia Fibreboard Industry Tbk (09:00 WIB),
  2. RUPS Luar Biasa PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk (13:30 WIB),
  3. RUPS Luar Biasa PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (14:00 WIB),
  4. RUPS Luar Biasa PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (14:00 WIB),
  5. Cum date dividen interim tunai PT Bank Central Asia Tbk,
  6. Ex date dividen tunai PT Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk,
  7. Ex date dividen tunai PT Graha Mitra Asia Tbk,
  8. Ex date dividen tunai PT Organon Pharma Indonesia Tbk,
  9. Ex date right issue PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk.

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular