Gerak Rupiah Bak Rollercoaster, Semua Mata Kini Tertuju ke BI
- Pasar keuangan RI ditutup beragam di mana IHSG dan rupiah melemah sementara harga SBN mulai naik
- Wall Street kompak menghijau karena investor melakukan pembelian masif menjelang libur Thanksgiving serta melandainya imbal hasil US Treasury
- Hasil RDG dan kenaikan UMP diperkirakan masih membayangi kinerja pasar keuangan Indonesia hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam pada perdagangan kemarin, Rabu (22/11/2023). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi, rupiah melemah, dan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) turun yang menandakan kenaikan harga.
Pergerakan pasar keuangan diharapkan membaik pada hari ini. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 artikel ini. Para investor juga dapat mengintip agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini baik dalam negeri dan luar negeri pada halaman 4 serta kinerja bursa saham Amerika Serikat (AS) sebagai ekonomi terbesar dunia pada halaman 2.
IHSG pada perdagangan kemarin, Rabu (22/11/2023), ditutup melemah 0,79% ke posisi 6.906,95. Penurunan IHSG pada perdagangan kemarin mengakibatkan bursa domestik gagal menembus level psikologis 7.000 yang diperkirakan memerlukan sentimen dari suku bunga.
Sebanyak 180 saham bergerak naik, 355 bergerak turun dan 326 tidak berubah dengan transaksi turnover Rp 8,5 triliun dengan 23,5 miliar saham. Penurunan juga terjadi seiring investor asing mencatat net sell sebesar Rp 31,61 miliar.
Pelemahan IHSG dikontribusikan terbesar oleh penguatan sektor utilitas yang kembali menjadi bottom movers atau pemberat dengan penurunan 9,43%, penurunan diakibatkan oleh saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) yang terkoreksi 9,96%
Pada perdagangan kemarin, koreksi IHSG menjadikan pelemahan dua hari perdagangan, menjadikan indikator pasar modal domestik yang masih kekurangan 'tenaga', baik dari perekonomian riil maupun tanda suku bunga diturunkan untuk menembus level psikologis 7.000.
Secara lebih spesifik, penurunan IHSG besar diakibatkan oleh emiten energi baru dan terbarukan milik konglomerat Prajogo Pangestu yakni BREN yang turun 24,22 indeks poin menjadi Rp 5.650 per saham.
Penurunan saham BREN menggagalkan usaha mengejar kapitalisasi pasar saham Bank Central Asia (BBCA) dengan market cap terbesar, bahkan sekarang berada di posisi ke-3 di bawah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI). Valuasi saham BREN tersisa Rp 755 triliun.
Koreksi ini terjadi seiring dengan pasar yang mulai melakukan aksi penjualan pasca cum date pembagian dividen kemarin.
Meski demikian, kenaikan IPO fenomenal saham BREN telah meningkatkan harganya sebanyak 624% dari harga awal melantai di bursa sebesar Rp 780/saham.
Prospek EBT sendiri sejatinya cenderung positif karena pemerintah saat ini berupaya untuk mengurangi ketergantungan akan energi fosil dan upaya untuk mengurangi perubahan iklim yang sudah ekstrim.
Namun, valuasi emiten ini jauh terlalu mahal dengan rasio valuasi yang sudah jauh dari harga wajar dan rata-rata industri. Penurunan ini mengindikasikan pelaku pasar yang khawatir dengan valuasi tidak wajarnya dengan pertumbuhan kinerja yang timpang.
Penurunan ini memungkinkan gelembung 'bubble' saham BREN sudah akan meletus. Pada dasarnya, pergerakan harga saham akan kembali mengacu pada kinerja riil fundamental sebagai landasan jangka panjang.
Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah keluarnya rilis risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang menegaska bank sentral AS Th Federal Reserve (The Fed) akan tetap memberlakukan kebijakan moneter secara terbatas demi target inflasi 2%.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah di angka Rp 15.570/US$ atau terdepresiasi 0,87% pada perdagangan rabu (22/11/2023). Pelemahan ini mematahkan tren penguatan yang terjadi tiga hari beruntun sejak 17 November 2023.
Adapun pelemahan rupiah hari ini terjadi khususnya didorong akibat sentimen global, tepatnya AS. Bank sentral AS (The Fed) merilis risalah FOMC pada Oktober lalu pada Selasa waktu AS atau Rabu dini hari waktu Indonesia.
Risalah FOMC menunjukkan jika pejabat The Fed akan lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan suku bunga. Ada isyarat kenaikan suku bunga jika upaya untuk mengendalikan inflasi goyah. Untuk diketahui target The Fed perihal inflasi yakni 2%.
Dilansir dari CNBC International, The Fed mengatakan kebijakan harus tetap "membatasi" sampai data menunjukkan inflasi berada pada jalur yang meyakinkan untuk kembali ke sasaran bank sentral sebesar 2%.
"Kebijakan The Fed masih akan restriktif dan mereka juga kelihatannya belum akan melakukan kebijakan penurunan suku bunga dalam waktu dekat. Ini yang jadi momentum buat investor untu melakukan profit taking dahulu di pasar emerging market seperti Indonesia," ujar Global Markets Economist Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto kepada CNBC Indonesia, Rabu (22/11/2023).
Dari dalam negeri, Myrdal mengatakan importir mulai memasok dolar AS untuk kebutuhan ke depan. "Jadi ada faktor juga dari permintaan untuk kebutuhan impor juga, terutama karena sekarang kan udah periode akhir bulan November juga," terang Myrdal.
Di sisi lain, defisit yang terjadi pada transaksi berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pun memberikan tekanan pada mata uang Garuda karena investor asing melihat bahwa kondisi perekonomian Indonesia sedang kurang baik.
Kendati demikian, namun Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono menegaskan Bank Indonesia menilai kinerja NPI kuartal III-2023 masih baik akrena defisit mengecil. Hal ini mampu terus menopang ketahanan eksternal Indonesia.
Selain itu, pelaku pasar juga menantikan kabar dari Bank Indonesia terkait kebijakan suku bunga ke depannya, kebijakan pengetatan dapat menjadi sentimen positif untuk memperkuat nilai tukar rupiah, begitu juga sebaliknya.
Dari pasar obligasi Indonesia, Surat Berharga Negara (SBN) mengalami kenaikan harga yang tercermin dari penurunan imbal hasil obligasi tenor 10 tahun ke level 6,65% pada perdagangan Rabu, dibandingkan perdagangan sebelumnya berada di 6,69%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang naik demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield turun, mengindikasikan investor sedang membeli SBN.
(mza/mza)