Newsletter

Ada Kabar Genting dari China, Jepang-AS, RI Dibuat Deg-Degan

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
Senin, 20/11/2023 06:00 WIB
Foto: Dok Bank Indonesia
  • Pasar keuangan Indonesia ditutup kompak menguat pada perdagangan terakhir pekan lalu 

  • Wall street, indeks Dow Jones, Nasdaq, dan S&P berada di zona hijau

  • Suku bunga China & Indonesia, data transaksi berjalan kuartal III-2023 serta FOMC minutes akan menjadi sentimen utama penggerak pasar pekan ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup kompak menguat pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (17/11/2023). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan Surat Berharga Negara (SBN) semua berada di zona hijau.

Pasar keuangan Indonesia diperkirakan akan bergerak beragam pada hari ini. Selengkapnya mengenai sentimen pekan ini, termasuk hari ini, akan dibahas pada halaman 3 artikel ini. Dan para investor juga dapat mengintip agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini baik dalam negeri dan luar negeri pada halaman 4.

Pada perdagangan Jumat (17/11/2023), IHSG ditutup menguat 0,28% ke posisi 6.977,67. Pada pekan lalu, IHSG juga berhasil menyentuh level psikologis 6.900, level terakhir yang dicetak pada 18 Oktober lalu. Namun sayangnya, IHSG masih belum mampu untuk menembus kembali level psikologis 7.000.

Sebanyak 213 saham bergerak naik, 319 bergerak turun dan 320 tidak berubah dengan transaksi turnover Rp8,4 triliun dengan 14,5 miliar lembar saham. Investor asing mencatat net sell sebesar Rp 157,2 miliar.

Penguatan IHSG didorong kenaikan sektor infrastruktur 4,34%, industri bahan dasar 0,94%, kesehatan 0,07%. Sementara, pelemahan terjadi pada sektor teknologi 0,95%, industri 0,83%, transportasi 0,45%, properti 0,32% dan non-cyclical 0,26%.

Pada pekan lalu, IHSG hampir menguat selama lima hari beruntun, di mana hanya sekali IHSG mencetak koreksi, itu pun terbilang tipis.

Membaiknya sentimen pasar global membuat IHSG perkasa pada pekan lalu. Dari global, sentimen positif datang dari inflasi Amerika Serikat (AS) periode Oktober 2023 yang melandai, membuat pasar kembali optimis bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengubah sikapnya menjadi lebih dovish.

Seperti diketahui, inflasi AS melandai ke 3,2% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Oktober 2023, dari 3,7% (yoy) pada September 2023.

Perangkat CME Fed Watch tool menunjukkan 100% pelaku pasar melihat The Fed masih akan menahan suku bunga pada Desember mendatang. Artinya, hingga akhir tahun suku bunga diperkirakan masih berada di level 5,25-5,50%.

Sementara itu, rupiah ditutup di posisi Rp 15.490/US$ atau menguat tajam 0,32% pada perdagangan kemarin, Jumat (17/11/2023). Posisi tersebut adalah yang terkuat sepanjang bulan ini.

Dalam sepekan, rupiah menguat 1,29%. Artinya, rupiah sudah menguat selama tiga pekan terakhir atau sepanjang November ini. Hal ini berbanding terbalik dengan September-Oktober 2023 di mana mata uang Garuda melemah delapan pekan beruntun.

Melesatnya nilai tukar rupiah tak bisa dilepaskan dari data inflasi AS yang melandai membuat pelaku pasar berekspektasi bank sentral AS The Fed akan segera mengakhiri tren kenaikan suku bunga sehingga banyak investor yang menjual dolar AS dan membawa dananya ke Emerging Markets, seperti Indonesia. Kondisi ini membuat capital inflow mengalir deras.

Data penjualan ritel AS juga menunjukkan tren pelemahan. Secara bulanan (mtm), penjualan ritel AS terkontraksi 0,1% pada Oktober 2023, menjadi kontraksi pertama dalam tujuh bulan terakhir.

Secara tahunan, penjualan ritel juga melandai menjadi 2,5% pada Oktober 2023, terendah dalam empat bulan terakhir.

Pengajuan tunjangan pengangguran naik 13.000 menjadi 231.000 untuk pekan yang berakhir 11 November, Departemen Tenaga Kerja melaporkan pada hari Rabu waktu Indonesia. Angka tersebut merupakan tertinggi dalam tiga bulan.

Data-data tersebut semakin menegaskan jika inflasi AS memang sudah mendingin sehingga membawa harapan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan segera melunak.

Dari pasar obligasi Indonesia, Surat Berharga Negara (SBN) mulai kembali dikoleksi oleh pelaku pasar tercermin dari pelemahan imbal hasil obligasi tenor 10 tahun yang turun 0,85% di level 6,74% pada perdagangan Jumat (17/11/2023).

Imbal hasil telah mengalami penurunan selama empat hari perdagangan dan sekali naik tipis. Reli penurunan yield ini mengindikasikan kembali adanya minat pada obligasi Indonesia.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang naik demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield turun, mengindikasikan investor sedang membeli SBN.


(mza/mza)
Pages