Lifting Minyak Era Soeharto Jaya, Sekarang Ambles

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
13 November 2023 14:45
Produksi Minyak RI Mengkhawatirkan, Merosot Mirip Era 1960-an
Foto: Infografis/Produksi Minyak RI Mengkhawatirkan, Merosot Mirip Era 1960-an/Aristya rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Realisasi produksi terangkut (lifting) minyak mentah Indonesia menunjukkan tren penurunan. Tingkat lifting minyak tinggi di atas 1,3 juta barrel per day (bpd) terjadi pada periode 1973-2001 yang menunjukkan terjadi pada era Presiden Soeharto. Lantas apa yang menyebabkan era tersebut mampu menghasilkan lifting minyak yang tinggi?

Keberhasilan Lifting Minyak Era Soeharto

Keberhasilan tingkat pengangkutan minyak mampu tinggi semasa era Soeharto disebabkan oleh tingkat eksplorasi sumur yang cukup masif pada masa sebelum 2000-an, menurut pernyataan Tumbur Parlindungan, Praktisi sektor hulu migas kepada Tim Riset CNBC Indonesia.

"Sebelum tahun 2000, biasanya ada 50-150 eksplorasi sumur per tahun, sehingga banyak lapangan-lapangan minyak dan gas yang baru," menurut pemaparannya. Hal serupa juga didukung oleh Komaidi Notonegoro sebagai Direktur Eksekutif ReforMiner Institute kepada CNBC Indonesia.

Komaidi menambahkan bahwa regulasi juga lebih mudah pada era tersebut. "Regulasinya kan juga memberikan kewenangan penuh pada Pertamina yang bertanggung jawab langsung pada saat itu, sehingga perizinannya menjadi sederhana," tambahnya.

Di sisi lain, Tumbur menjelaskan lebih rinci terkait fiscal regime (kemudahan investasi dari segi pajak, pembagian hasil, dsb.) yang mampu mendorong daya tarik investor kala itu. Salah satunya dengan adanya konsep Production Sharing Contract (PSC) dengan Cost Recovery yang memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan pengembalian biaya yang diinvestasikan sebelum membagi keuntungan dengan pemerintah. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memberikan insentif kepada perusahaan untuk mengambil risiko dalam eksplorasi dan pengembangan lapangan minyak dan gas.

Konsep ini pertama kali diterapkan di Indonesia pada tahun 1966 dalam Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (KKKS) antara pemerintah Indonesia dan perusahaan minyak asing.

Keberhasilan menarik investor asing untuk mengeksplorasi minyak di Indonesia, bahkan ditiru berbagai negara seperti Brazil dan Mexico. Berbagai faktor tersebut mendorong tingkat investasi dapat masuk signifikan, sehingga juga dapat menemukan cadangan minyak yang cukup tinggi.

Tumbur menambahkan kepastian hukum (contract sanctity) kala Soeharto menjabat juga mendorong investor berlomba-lomba melakukan eksplorasi di Indonesia. Semakin tinggi investasi dan eksplorasi, tentunya akan menghasilkan banyak discovery yang akan mendorong tingkat lifting minyak.

Fase Penurunan Industri Migas Indonesia

Kedua narasumber juga menanggapi persoalan yang menyebabkan rendahnya tingkat eksplorasi. "Iklim investasi di upstream (hulu) minyak dan gas [saat ini] kurang menarik," lanjutnya.

Tumbur menyatakan terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan tingkat lifting minyak Indonesia mengalami tren penurunan.

Faktor terpenting terkait dengan kesucian kontrak. Salah satu harapan investor adalah imbal hasil yang dapat diperkirakan dan stabil. Namun, sikap pemerintah yang mengharapkan keuntungan lebih besar terkadang menyebabkan adanya perubahan aturan terkait pembagian hasil, tarif royalti, harga penjualan, dsb. Sebagai contoh, Jurnal Universitas Indonesia mencatat Permen ESDM No.8/2017 terkait pengaturan KBH gross split baru berlangsung 8 bulan sudah mengalami pembaruan melalui Permen ESDM No. 52/2017.

Keberhasilan sistem Cost Recovery pada era Soeharto yang ditiru berbagai negara tidak mampu dikembangkan dan penyesuaian selama bertahun-tahun. Padahal, banyak negara yang telah meniru metode tersebut. Artinya, terdapat persaingan dengan negara lain sehingga jika tidak terdapat inovasi, investor dapat memilih negara yang menurutnya lebih menguntungkan.

Sistem kontrak PSC Gross Split yang baru berlaku 2017 masih mengalami persoalan yang belum dapat memperbaiki iklim migas secara keseluruhan meski sudah terdapat perbaikan investasi hulu migas. Mengutip Jurnal tersebut, kendalanya diantara lain, perubahan peraturan yang terlalu cepat, insentif pajak yang kurang atraktif, belum terdapat aturan khusus gross split dan pertanahan.

Seperti diketahui, industri migas merupakan sektor yang menguasai hajat hidup banyak masyarakat Indonesia. Tentunya, hal ini memerlukan intervensi pemerintah dalam mengelola tambang migas.

Ambisi besar untuk mencapai lifting minyak sebanyak 1 juta barel per hari (bph) pun bahkan sudah gagal terwujud dalam 17 tahun terakhir.

Lifting minyak sebesar 1 juta bph terakhir kali tercapai pada 2005 yakni sebesar 1,07 juta bph. Tahun tersebut merupakan periode awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dalam kurun waktu 20 tahun atau sejak 2003, hanya dua realisasi lifting melewati target yakni pada 2016 dan 2020.

Namun, target tersebut sebenarnya sudah sudah diturunkan dari proyeksi awal melalui APBN-Perubahan pada 2016 ataupun melalui Perpres pada 2020 karena pandemi Covid-19.

Artinya, selama masa pemerintahan dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, atau Jokowi, target lifting minyak hampir selalu gagal mencapai target.

Realisasi lifting minyak bahkan merosot tajam dari sebesar 1,037 juta bph di era awal Presiden SBY pada 2004 menjadi 711,3 ribu bph pada akhir pemerintahannya pada 2013.

Pada era Jokowi, lifting minyak anjlok dari 794 ribu bph pada 2014 menjadi 612,3 ribu bph pada 2022.

Pada tahun ini, lifting minyak bahkan hanya ditargetkan sebesar 660 ribu bph. Target tersebut semakin menjauh dari ambisi 1 juta bph.

Tidak hanya lifting minyak, lifting gas juga terus anjlok. Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia bahkan sudah tidak mampu memproduksi gas sebesar 1 juta barel setara minyak per hari (boepd).

Semakin tergerusnya lifting minyak dan gas tentu saja berimbas negatif kepada neraca perdagangan hingga transaksi berjalan.

Pasalnya, impor semakin besar dan menggerus surplus pada neraca perdagangan non-migas. Pada 2022, nilai impor migas menembus US$ 40,42 miliar atau melesat 58,3%.

Tumbur menambahkan salah satu penemuan besar terakhir Indonesia adalah oleh ExxonMobil pada 2001. Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu diperkirakan memproduksi hingga 220.000 bpd.

Menurut Tumbur, aktivitas eksploitasi seperti workover, well service ataupun development wells drilling memang akan meningkatkan produksi minyak. Namun, produksi tidak akan maksimal.

Dia mengingatkan eksplorasi minyak sudah jauh berkurang dibandingkan pada periode-periode sebelumnya. Padahal, eksplorasi merupakan syarat utama menemukan ladang minyak baru.

Adanya akuisisi blok migas yang dikuasai asing ke dalam negeri juga tidak belum dapat menyelesaikan masalah. Tumbur menyatakan bahwa akuisisi dilakukan pada blok yang sudah mengalami decline (penurunan), sehingga jika eksplorasi baru tidak dilakukan tidak akan ada cadangan baru yang ditemukan.

Selain itu, cadangan yang jarang ditemukan disebabkan oleh tingkat eksplorasi yang rendah, bukan reserve minyak yang sudah menipis. Eksplorasi masif memang harus dilakukan "ibarat pertanian, lahannya mulai tidak subur, jika tidak ada upaya pemulihan, perawatan, investasi lahan baru, otomatis ya makin lama makin turun terus, ya itu yang terjadi di sektor minyak dan gas kita," tutup Komaidi.

 

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

 

(mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation