
The Fed Tetap Galak, Nasib IHSG dan Rupiah Genting?

o Pekan ini pergerakan IHSG dan rupiah akan dihiasai pengumuman BI mengenai neraca perdagangan periode Oktober 2023
o Kebijakan The Fed yang masih hawkish menjadi pemberat pergerakan rupiah
o Investor menanti data penting dari AS mulai dari IHK hingga data dari China mengenai pinjaman dan hutang China
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kompak ditutup melemah pada perdagangan Jumat (5/10/2023), IHSG anjlok serta rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pasar keuangan Indonesia diperkirakan akan bergerak beragam pada hari ini. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 artikel ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup terkoreksi 0,42% di level 6.809,26 pada perdagangan Jumat (10/11/2023). Namun, dalam sepekan kemarin masih mencatatkan positif dengan naik 0,30%.
Sentimen pasar mengenai kebijakan hawkish dari bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) untuk menekan inflasi ke target 2% menjadi hal negatif bagi rupiah dan pasar saham terutama sektor properti. Sektor properti adalah sebagai salah satu sektor yang pergerakannya bergejolak di tahun 2023, terutama terkait sentimen suku bunga tinggi.
Sentimen negatif properti juga didukung oleh kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga pada 18-19 Oktober lalu dengan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75%.
Beralih ke rupiah, dilansir dari Refinitiv rupiah ditutup melemah pada perdagangan Jumat (10/11/2023) di level Rp15.690/US$ atau turun 0,26%. Namun, dalam sepekan kemarin masih mencatatkan pergerakan positif dengan menguat 0,22%.
Pelemahan rupiah didorong dari sentimen dalam negeri, dimana BI mencatatkan posisi cadangan devisa Indonesia pada Oktober 2023 turun menjadi sebesar US$133,1 miliar, dari US$134,9 miliar pada September 2023.
Kemudian dari Amerika Serikat (AS), pidato dari ketua The Fed Jerome Powell masih menjadi pemberat rupiah. Jerome Powell memberikan kode bahwa inflasi cukup sulit mencapai target yang ditentukan, sehingga memungkinkan adanya pengetatan kembali. Pernyataan ini mematahkan harapan pelaku pasar yang telah menyaksikan pelemahan data tenaga kerja AS sebagai indikator melunaknya The Fed.
Hal ini memberikan kekhawatiran bagi pelaku pasar khususnya di Indonesia karena jika The Fed menaikkan suku bunganya, maka selisih suku bunga acuan The Fed dengan Bank Indonesia (BI) akan semakin sempit yang berujung pada capital outflow dan semakin menekan pasar keuangan domestik termasuk rupiah.
Dari pasar obligasi Indonesia, Surat Berharga Negara (SBN) kembali dilepas oleh pelaku pasar sejalan dengan pelemahan rupiah seperti tercermin dari penurunan imbal hasil obligasi tenor 10 tahun naik 0,40% di level 6.768 pada perdagangan Jumat (10/11/2023). Namun, dalam sepekan imbal hasil obligasi tenor 10 tahun turun 1,60%.
Bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street kompak ditutup menguat pada perdagangan Jumat (10/11/2023), dimana investor ragu bahwa suku bunga akan naik bahkan setelah Ketua The Federal Reserve Jerome Powell memperingatkan bahwa kebijakan moneter yang lebih ketat mungkin diperlukan untuk mengendalikan inflasi.
Dow Jones melonjak 1,15% di level 34.283,10, S&P 500 meroket 1,56% di level 4.415,24, dan Nasdaq melesat 2,05% di level 13.798,11.
Pernyataan Powell pada hari Kamis bahwa perjuangan untuk memulihkan stabilitas harga "masih panjang" pada awalnya mengguncang pasar. Namun pasar tenaga kerja yang lebih lemah seperti yang terlihat dalam laporan pengangguran minggu lalu dan spekulasi bahwa indeks harga konsumen (CPI) minggu ini akan menunjukkan inflasi yang lebih lambat mendorong para pembeli untuk mengambil tindakan.
"Bahkan dengan komentar Powell kemarin, sebagian besar komentar tersebut diabaikan karena terdengar terlalu hawkish. Masyarakat tidak benar-benar yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga di masa depan," ujar Michael James, direktur pelaksana perdagangan ekuitas di Wedbush Securities di Los Angeles.
"Terlalu banyak orang yang berlebihan dalam jangka pendek, baik pada saham maupun obligasi, dan Anda telah melihat penurunan yang sangat besar dalam seminggu terakhir."
Banyak investor yang menerima anggapan bahwa suku bunga AS telah mencapai puncaknya setelah The Fed mempertahankan suku bunga pinjaman tetap stabil pada minggu lalu, sebuah langkah yang memperkuat spekulasi bahwa siklus pengetatan telah berakhir dan mendorong reli aset-aset berisiko hingga perdagangan Kamis kemarin.
Thierry Wizman, ahli strategi FX dan suku bunga global di Macquarie di New York, mengatakan dengan penurunan harga bensin, data CPI bisa memberikan kejutan ke sisi negatifnya.
"Kita juga bisa melihat beberapa kejutan penurunan pada komponen inti harga sewa, misalnya tarif pesawat, mobil baru, dan lain-lain," ucapnya. "Jika kita mendapatkan CPI yang rendah minggu ini, imbal hasil bisa turun di sekitar angka tersebut dan kita mungkin akan mengalami pelemahan dolar."
CPI Inti secara bulanan diperkirakan meningkat 0,3% di bulan Oktober 2023, dengan kenaikan secara tahunan sebesar 4,1%, menurut analis Reuters. Perkiraan kenaikan keduanya sama dengan bulan September 2023.
Namun sentimen konsumen AS turun untuk bulan keempat berturut-turut pada bulan November 2023 dan ekspektasi rumah tangga terhadap inflasi kembali meningkat, dengan perkiraan tekanan harga jangka menengah berada pada titik tertinggi lebih dalam dari belasan tahun.
Pelaku pasar perlu mencermati sejumlah isu dan sentimen penting pada perdagangan hari ini, Senin (13/11/2023) terutama dari sentimen dalam negeri yang akan mempengaruhi pergerakan IHSG dan rupiah.
Diketahui pada perdagangan Jumat (10/11/2023) IHSG dan rupiah kompak ditutup melemah karena sentimen dalam dan luar negeri.
Dari dalam negeri, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,94% secara tahunan (yoy) pada kuartal III 2023. Angka pertumbuhan dari produk domestik bruto (PDB) itu hanya tumbuh 1,60% secara kuartalan( qtq) bila dibandingkan kuartal II 2023 sebesar 5,17% secara tahunannya (yoy). Dan angka ini lebih rendah dibandingkan dengan kuartal III 2022 yang sempat mencapai 5,73% (yoy).
Secara perhitungan kumulatifnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,05% (c-to-c).
Selain itu pada pekan ini, BI mencatatkan posisi cadangan devisa Indonesia pada Oktober 2023 turun menjadi sebesar US$133,1 miliar, dari US$134,9 miliar pada September 2023.
Penurunan posisi cadangan devisa tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sebagai langkah antisipasi dampak rambatan sehubungan dengan semakin meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Dari Amerika Serikat, pidato dari ketua The Fed Jerome Powell masih menjadi pemberat rupiah. Jerome Powell memberikan kode bahwa inflasi cukup sulit mencapai target yang ditentukan, sehingga memungkinkan adanya pengetatan kembali. Pernyataan ini mematahkan harapan pelaku pasar yang telah menyaksikan pelemahan data tenaga kerja AS sebagai indikator melunaknya The Fed.
Hal ini memberikan kekhawatiran bagi pelaku pasar khususnya di Indonesia karena jika The Fed menaikkan suku bunganya, maka selisih suku bunga acuan The Fed dengan Bank Indonesia (BI) akan semakin sempit yang berujung pada capital outflow dan semakin menekan pasar keuangan domestik termasuk rupiah.
Kemudian dari mitra dagang terbesar Indonesia, China menyumbang kabar buruk pada pekan ini. Melansir data Biro Statistik Nasional China, neraca dagang per Oktober 2023 sebesar US$ 56,53 miliar. Nilai tersebut turun lebih dalam dari perkiraan pasar sebesar US$ 82 miliar dan dibandingkan bulan sebelumnya sebesar US$ 82,35 miliar, bahkan menjadi yang terendah sejak Februari tahun ini.
Ambruknya neraca dagang China terjadi akibat ekspor yang terkontraksi sebesar 6,4% secara tahunan (yoy), lebih dalam dari perkiraan pasar yang proyeksi hanya berkontraksi sekitar 3,3% (yoy). Padahal, impor sudah mulai membaik untuk pertama kalinya bisa tumbuh 3% (yoy), berbanding terbalik dari konsensus pasar yang diproyeksi kontraksi 4,8% (yoy).
Pada pekan ini, pasar keuangan Indonesia kembali dihiasi oleh data-data penting baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia akan mengumumkan hasil neraca perdagangan Indonesia periode Oktober 2023 beserta potensi pertumbuhan ekspor dan impor pada Rabu (15/11/2023).
Diketahui, neraca perdagangan Indonesia periode September 2023 kembali surplus sebesar US$ 3,42 miliar. Surplus ini lebih tinggi dibandingkan Agustus 2023 yang sebesar US$ 3,12 miliar.
Secara kumulatif, pada periode Januari-September 2023, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus sebesar US$ 27,75 miliar. Nilai ini berasal dari sektor nonmigas US$ 41,73 miliar dan defisit sektor migas sebesar US$ 13,97 miliar. Angka surplus ini lebih rendah US$ 12,10 miliar jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Ekspor September 2023 tercatat sebesar US$ 20,76 miliar, mengalami kontraksi 16,17% (yoy) dari basis angka yang tinggi (high base) tahun lalu, utamanya pada sektor industri dan pertambangan. Secara kumulatif, ekspor periode Januari-September 2023 mencapai USD192,27 miliar.
Sementara impor Indonesia mencatatkan nilai sebesar US$ 17,34 miliar atau turun 12,45% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan nilai impor terjadi pada bahan baku atau penolong dan barang modal, sementara impor barang konsumsi masih tumbuh sebesar 4,74% (yoy). Secara kumulatif impor periode Januari-September 2023 tercatat US$ 164,52 miliar.
Para analis dan ekonom memperkirakan neraca perdagangan Indonesia masih memungkinkan untuk mencatat surplus pada periode Oktober 2023. Namun, surplus akan lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya.
Sementara dari luar negeri, pada Senin (13/11/2023) akan ada laporan bulanan OPEC, pidato Gubernur The Fed, data produksi minyak, volume konsumsi minyak mentah, data impor minyak mentah dan persediaan bahan bakar miyak.
Ekspor minyak mentah AS pada semester pertama tahun 2023 rata-rata mencapai 3,99 juta barel per hari (b/d), yang merupakan rekor tertinggi untuk semester pertama tahun ini sejak tahun 2015, ketika AS melarang sebagian besar ekspor minyak mentah dari AS. telah dicabut. Pada semester pertama tahun 2023, ekspor minyak mentah naik 650.000 b/d (19%) dibandingkan paruh pertama tahun 2022.
Eropa merupakan tujuan regional terbesar untuk ekspor minyak mentah AS berdasarkan volume, sebesar 1,75 juta b/d, dipimpin oleh ekspor ke Belanda dan Inggris. Asia merupakan tujuan regional dengan volume tertinggi berikutnya, sebesar 1,68 juta b/d, dipimpin oleh ekspor ke China dan Korea Selatan. AS juga mengekspor minyak mentah dalam jumlah yang jauh lebih kecil ke Kanada, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Meskipun ekspor meningkat pada semester pertama tahun 2023, Amerika Serikat masih mengimpor lebih banyak minyak mentah dibandingkan ekspornya, yang berarti Amerika masih menjadi pengimpor minyak mentah bersih.
Selain itu, pada pekan depan AS juga akan merilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) periode Oktober 2023, penjualan ritel periode Oktober 2023, pidato Gubernur The Fed, dan klaim pengangguran.
Kemudian dari mitra dagang terbesar Indonesia, dari China pada Senin (13/11/2023) akan ada rilis pinjaman baru dan pertumbuhan utang kumulatif. Pada pekan depan, China juga akan merilis penjualan ritel, tingkat pengangguran dan harga rumah China periode Oktober 2023.
Diketahui, tingkat pengangguran China turun menjadi 5.00% pada September 2023, dibandingkan dengan laporan sebelumnya sebesar 5.20% pada Agustus 2023.
Sementara harga rumah di China tumbuh 7,4% secara tahunan (yoy) di bulan September 2023, menyusul kenaikan sebesar 8,3% secara tahunan (yoy) di bulan sebelumnya.
Namun, diketahui pasar properti China masih dalam kondisi krisis lebih dari dua tahun lalu setelah pemerintah melakukan tindakan keras terhadap pinjaman pengembang. Pasar properti China menyumbang 30% perekonomian negara tersebut.
Investasi di bidang real estat turun tahun lalu untuk pertama kalinya dalam satu dekade, dan tanpa adanya dana talangan dari Beijing, penurunan properti kemungkinan akan berlanjut, sehingga menimbulkan ancaman besar terhadap prospek pertumbuhan China selama tiga hingga lima tahun ke depan.
Bank Dunia memangkas perkiraan produk domestik bruto (PDB) China untuk tahun 2024 menjadi 4,4% dari 4,8%, dengan alasan kesulitan domestik yang terus-menerus seperti meningkatnya utang, kelemahan properti, dan populasi yang menua.
Begitu juga dengan Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi China akan melambat menjadi sekitar 3,5% dalam jangka menengah dari sekitar 5% tahun ini karena tantangan demografi dan melambatnya pertumbuhan produktivitas.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
• Pinjaman Baru China (15.00 WIB)
• Uang Beredar M2 China (15.00)
• Pertumbuhan Utang Kumulatif China (15.00 WIB)
• Laporan Bulanan OPEC - AS (19.00 WIB)
• Pidato Gubernur Fed Cook - AS (20.50 WIB)
• Inventori Minyak Mentah- AS (22.30 WIB)
• Produksi Minyak - AS (22.30 WIB)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
• Ex Date Dividend - PT Darya-Varia Laboratoria Tbk (DVLA) Rp43/saham
• Ex Date Dividend - PT Budi Starch & Sweetener Tbk (BUDI) Rp6/saham
• Ex Date Dividend - PT Soho Global Health Tbk (SOHO) Rp19,7/saham
• Ex Date Stock Split - PT Soho Global Health Tbk (SOHO) 1:10
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw) Next Article The Fed Gak Mau Terpengaruh Pemilu, Dunia Kini Tunggu Inflasi AS
