Suku Bunga Naik di Tahun Politik, RI Menarik Buat Investor?
- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok, rupiah kembali takluk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), dan SBN terus dilepas investor
- Wall Street ditutup seiring merespons pidato ketua bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell
- Investor masih akan mencerna hasil keputusan mengejutkan BI soal suku bunga dan pidato Powell.
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 1% pada perdagangan Kamis (19/10/2023) seiring Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan. Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), kendati pelemahannya terpangkas usai putusan BI. Sementara itu, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) terus meningkat yang menunjukkan jebloknya harga.
Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih bergejolak pada hari ini sejalan dengan banyaknya sentimen negatif. Selengkapnya mengenai proyeksi pergerakan pasar hari ini dan sentimennya bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
IHSG pada perdagangan kemarin, Kamis (19/10/2023) ditutup ambles 1,18% ke posisi 6.846,43. IHSG kembali jebol ke level psikologis 6.800. Nilai transaksi tercatat sebesar Rp12,03 triliun dan volume perdagangan 24,25 miliar lembar saham.Sebanyak 404 saham turun, 147 naik, dan 207 stagnan.
Investor asing keluar dari pasar saham Indonesia dengan jual bersih (net sell) Rp1,02 triliun di pasar reguler. Saham bank kakap menjadi yang paling banyak dijual asing. Sebut saja, BBCA dengan net sell Rp462,2 miliar, BBRI senilai Rp238,5 miliar, dan BMRI sebanyak Rp232,6 miliar.
Harga saham BBCA turun 1,13%, BBRI minus 2,91%, dan BMRI minus 2,14%. Lantaran memiliki bobot yang besar, praktis ketiga saham ini turut menjadi pemberat IHSG.
IHSG ambles setelah BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya. BI akhirnya menaikkan suku bunga acuan pada Oktober 2023. Kini BI-7 days reverse repo rate (BI7DRRR) berada di level 6%. Suku bunga Deposit Facility juga naik menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility menjadi 6,75%.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 0,25% menjadi 6%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (19/10/2023).
Keputusan ini berbeda dengan proyeksi pelaku pasar yang memperkirakan bank sentral RI tersebut masih akan menahan suku bunga acuan di level 5,75%.
Alasan BI menaikkan suku bunga acuannya kali ini karena untuk memperkuat stabilitas rupiah akibat mata uang Garuda tersebut terus terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS).
"Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak mengingat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk mitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor atau imported inflation sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3 plus minus 1% pada 2023 dan 2,5 plus minus 1% pada 2024," ujar Perry.
Sementara, rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pasca Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunganya.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah secara cepat merespons hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) dengan menguat dan berada di angka Rp15.820/US$ bahkan sempat kembali ke level psikologis Rp15.800/US$. Respons tersebut terjadi di tengah pelemahan rupiah pada hari ini (19/20/2023) yang sempat menyentuh titik terlemahnya yakni Rp15.853/US$.
Pada perdagangan Kamis, rupiah ditutup di angka Rp15.810/US$ atau melemah 0,54% jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan Rabu (18/10/2023) yang juga terdepresiasi 0,10%. Alhasil, rupiah telah melemah dua hari beruntun.
Sementara indeks dolar AS (DXY) pada pukul 14.56 WIB atau menjelang penutupan rupiahjustru hanya menguat tipis sebesar 0,02% menjadi 106,58%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penutupan perdagangan kemarin (18/10/2023) yang berada di angka 106,56.
Pada Kamis siang, BI memutuskan suku bunga acuan naik menjadi 6%. Salah satu alasan kenaikan suku bunga BI hari ini, yakni tensi geopolitik yang meningkat sehingga membuat harga minyak masih cukup tinggi hingga harga pangan yang tinggi. Alhasil inflasi cukup sulit untuk diturunkan sehingga suku bunga perlu ditingkatkan.
Tidak hanya menaikkan suku bunga, BI juga akan merilis instrumen investasi baru di pertengahan November 2023 yakni Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Hal ini ditujukan agar dapat menarik modal asing ke Indonesia yang pro market selain Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Polling yang dilakukan CNBC Indonesia terhadap 14 instansi/lembaga, 13 di antaranya berekspektasi bahwa BI akan menahan suku bunganya, sementara satu lembaga memperkirakan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6,0%.
Hal ini sejalan dengan proyeksi Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro yang memperkirakan BI akan mengerek suku bunga acuan pada bulan ini untuk menopang kinerja rupiah.
Menurutnya, BI perlu instrumen suku bunga dan tidak bisa mengandalkan intervensi untuk menahan jatuhnya rupiah. Terlebih, cadangan devisa (cadev) sudah terkuras sekitar US$10,3 miliar dalam enam bulan dari US$ 145,2 miliar pada Maret 2023 menjadi US$134,9 miliar pada September 2023.
Lebih lanjut, hal ini juga senada dengan Ekonom CNBC Indonesia, Anggito Abimanyu, mengatakan BI sudah saatnya menaikkan suku bunga untuk memukul spekulan dan menegaskan kehadiran mereka di pasar keuangan Indonesia.
"Sebagai bank sentral BI harus berani mengambil tindakan termasuk dengan menaikkan suku bunga. Saya kira saatnya BI memukul spekulan," ujar Anggito dalam dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Senin, 16/10/2023).
Dari pasar Surat Berharga Negara (SBN, obligasi pemerintah masih dilepas investor sehingga harganya jeblok dan imbal hasilnya terus terbang. Harga SBN berbalik dengan imbal hasil. Imbal hasil SBN tenor 10 tahun kemarin ditutup di posisi 7,03% dari 6,83% pada perdagangan sebelumnya.
(trp/trp)