Perang Israel-Hamas: Durian Runtuh Atau Petaka Buat Pasar RI?
- IHSG menguat sementara SBN sudah kembali dilirik investor tetapi rupiah masih berada di zona merah pada perdagangan kemarin
- Wall Street mengakhiri perdagangan di zona hijau menyusul meredanya panic buying
- Ketegangan geopolitik di Timur Tengah serta lonjakan harga komoditas menjadi fokus utama pasar hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengakhiri perdagangan kemarin bergerak beragam seiring dengan panasnya perang Israel-Palestina. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan harga Surat Berharga Negara (SBN) menguat tipis, sedangkan rupiah masih terkapar di zona merah.
Pasar keuangan Indonesia diharapkan sudah kompak mengakhiri perdagangan di zona hijau hari ini. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 artikel ini.
IHSG pada perdagangan kemarin, Senin (9/10/2023), ditutup menguat tipis 0,04% atau ke 6.891,46. IHSG pada awal perdagangan bursa dibuka menguat hingga 0,57%, namun menjelang penutupan malah merosot dengan masih mampu berada di zona hijau.
Menguatnya instrumen keuangan pasar saham tidak bisa dilepaskan dari kenaikan harga komoditas dan energi sebagai dampak ketidakpastian pasokan akibat perang Israel dan Hamas.
Penguatan IHSG kemarin didorong oleh kenaikan sektor energi 2,88%, infrastruktur 2,46%, dan industri bahan dasar 1,04%. Sedangkan, sektor yang tertekan signifikan yaitu kesehatan 2,15%, konsumsi non siklikal 1,14%, dan keuangan 0,55%.
Sebanyak 232 saham bergerak naik, 295 bergerak turun dan 327 tidak berubah dengan transaksi turnover Rp 11 triliun dengan 18,28 miliar lembar saham.
Penopang kenaikan IHSG datang dari penguatan PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) sebanyak 5,14 poin dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) sebesar 4,86 poin.
Saham Amman naik 2,39% menjadi Rp 6.425 per saham pada perdagangan kemarin. Emiten ini telah memasuki fase bullish sejak melantai di bursa pada 7 Juli 2023. Harga saham AMMN telah melesat 279% dari harga IPO-nya sebesar Rp1.695 per saham.
Penguatan juga terjadi pada emiten MDKA yang juga memiliki pertambangan emas. Saham MDKA naik 7,05% menjadi Rp 2.580 per saham. Sebagai informasi, AMMN dan MDKA memiliki tambang emas, sehingga kenaikan harga saham terjadi seiring dengan harga emas yang turut menguat akibat perang Israel-Hamas.
Dari pasar mata uang, rupiah terpantau ambruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah dana asing yang terus keluar dari Tanah Air dan kekhawatiran global khususnya dari AS.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di level Rp15.685/US$ atau melemah 0,5%. Posisi ini merupakan yang terlemah sejak 28 Desember 2022 atau sekitar 10 bulan terakhir.
Pelemahan rupiah disebabkan Indeks dolar AS (DXY) tercatat kembali mengalami apresiasi dan bergerak di kisaran 106. Kenaikan indeks dolar memberikan tekanan bagi mata uang Garuda hingga terus-menerus tertekan hari demi hari.
Kondisi ekonomi AS pun saat ini masih cukup ketat karena inflasi yang diperkirakan masih cukup tinggi khususnya yang akan dirilis pekan ini. Sebagai catatan, AS mencatatkan inflasi periode Agustus 2023 naik menjadi 3,7% (year on year/yoy) dibandingkan periode Juli di angka 3,2% secara tahunan (yoy). Kenaikan harga di AS lebih tinggi dibanding perkiraan konsensus sebesar 3,6% yang dikutip dari Trading Economics.
Jika inflasi AS menurun dengan lambat atau malah naik maka artinya ekonomi AS masih panas sehingga inflasi sulit melandai dengan cepat ke target kisaran bank sentral AS (The Fed) yakni 2%.
Alhasil suku bunga AS pun diproyeksikan masih cukup tinggi bahkan perangkat CME FedWatch mencatat The Fed berpotensi kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) antara November atau Desember 2023.
Lebih lanjut, kondisi ini juga diikuti dengan capital outflow dari pasar keuangan domestik. Tercatat berdasarkan data Bank Indonesia dan merujuk transaksi 2 - 5 Oktober 2023, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp2,50 triliun terdiri dari jual neto Rp2,92 triliun di pasar SBN, beli neto Rp0,02 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp0,40 triliun di SRBI.
Hal ini bukan tanpa alasan karena imbal hasil di AS sebagai negara maju sangat menarik apalagi jika AS kembali menaikkan suku bunganya. Maka dari itu, imbal hasil deposito dan obligasi akan disukai investor.
Kendati demikian, imbal hasil atau yield obligasi Indonesia 10 tahun kembali menurun pada penutupan perdagangan kemarin. Yield menurun menjadi 7,004% dibanding pekan lalu yang berada di 7,008%.
Namun, secara keseluruhan, imbal hasil terbang 94 bps sepanjang Oktober. Imbal hasil SBN tenor 10 tahun juga masih bergerak di level tertingginya dalam 7 bulan atau sejak 9 Maret 2023.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang turun demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield turun, mengindikasikan investor sedang membeli SBN.
(mza/mza)