- Pasar keuangan Tanah Air merana kemarin, karena investor cenderung wait and see menanti keputusan suku bunga acuan dari bank sentral di beberapa negara, terutama The Fed.
- Wall Street ditutup cenderung mendatar, juga karena investor menanti sikap The Fed pada pekan ini.
- Pasar global akan memantau ketat sikap beberapa bank sentral yang akan mengumumkan suku bunga acuannya pada pekan ini.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan Senin (18/9/2023) awal pekan terpantau merana, karena investor cenderung wait and see menanti keputusan suku bunga acuan dari bank sentral di beberapa negara.
Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG pada perdagangan kemarin ditutup 0,67% ke posisi 6.936,08. IHSG pun belum berhasil mencetak level psikologis 7.000 hingga kemarin.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 11 triliun, dengan melibatkan 21 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 184 saham menguat, 350 saham melemah, dan 217 saham lainnya stagnan.
Investor asing kembali mencatatkan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp 1,35 triliun di seluruh pasar pada perdagangan kemarin. Namun di pasar reguler, asing mencatatkan beli bersih (net buy) sebesar Rp 358,57 miliar.
Sedangkan di bursa Asia-Pasifik, pada kemarin secara mayoritas juga melemah. Hanya Shanghai Composite China yang berhasil menguat kemarin.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Senin kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin lagi-lagi ditutup terkoreksi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 15,365/US$, turun 0,1% di pasar spot.
Namun, rupiah tidak sendirian. Mayoritas mata uang Asia juga terpantau kembali terkoreksi di hadapan The Greenback kemarin. Kecuali dolar Hong Kong, yen Jepang, won Korea Selatan, dan peso Filipina yang mamu melawan The Greenback. Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Senin kemarin.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya melemah, terlihat dari imbal hasil (yield) yang kembali naik.
Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 0,3 basis poin (bp) menjadi 6,733%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, maka tandanya investor sedang melepas SBN.
Investor cenderung cenderung wait and see menanti keputusan suku bunga acuan dari bank sentral di beberapa negara.
Adapun bank sentral utama yang akan mengumumkan kebijakan suku bunga pada pekan ini yakni mulai dari bank sentral China (People's Bank of China/PBoC), kemudian bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed), bank sentral Inggris (Bank of England/BoE), dan bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ).
Tak hanya itu saja, Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuannya pada pekan ini, tepatnya pada Kamis mendatang.
Pasar global menganalisis serangkaian data ekonomi yang beragam menjelang keputusan kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan diumumkan pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia (21/9/2023).
Para trader akan mencari wawasan tentang bagaimana pemikiran para pembuat kebijakan tentang inflasi. Tak heran jika pelaku pasar ingin mengamankan keuntungan terlebih dahulu dalam jangka pendek.
Selain itu, semakin mendekati pertemuan The Fed, pelaku pasar juga akan cenderung bersikap konservatif dengan mengalokasikan lebih banyak kas sementara.
Kendati demikian, ada potensi kebijakan The Fed mulai melonggar pada bulan ini. Hal ini karena pelaku pasar mulai melihat ada sejumlah alasan yang dinilai cukup kuat untuk mempertahankan suku bunga.
Utamanya, inflasi inti (core consumer price index/CPI) AS periode Agustus 2023 yang sudah melandai sesuai ekspektasi di 4,3% yoy dari sebelumnya 4,7% yoy.
Tak hanya itu, persoalan resesi AS yang sempat santer terdengar pada tahun lalu sudah mulai dilupakan pasar.
Melansir poling Reuters juga menunjukkan peluang terjadi resesi AS pada tahun ini sempat diukur pada Oktober 2023 mencapai 70%, tetapi sekarang nilainya sudah semakin melandai, terakhir pada Agustus 2023 peluang AS bisa resesi di kisaran 40%.
Pasar memperkirakan resesi yang potensi terjadi di AS akan lebih ringan dari yang diperkirakan sebelumnya.
Dengan resesi ringan ditambah inflasi inti yang semakin melandai, suku bunga The Fed potensi semakin optimis ditahan. Hal ini juga didukung dengan perhitungan peluang The Fed menahan suku bunga mencapai 99%, menurut CME Fedwatch Tool.
Sedangkan dari dalam negeri, BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 September dan akan mengumumkan hasilnya pada Kamis, 21 September siang.
Konsensus pasar dalam Reuters memperkirakan BI akan kembali mempertahankan suku bunga acuannya di level 5,75%. Jika ekspektasi pasar tersebut benar, maka BI sudah menahan suku bunga acuannya selama tujuh bulan terakhir.
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street ditutup naik tipis cenderung mendatar pada perdagangan Senin kemarin, seiring investor yang menantikan keputusan suku bunga terbaru dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat tipis 0,02% ke posisi 34.624,301, S&P 500 bertambah tipis 0,07% ke 4.453,53, dan Nasdaq Composite naik tipis 0,01% menjadi 13.710,24.
Investor secara luas mengantisipasi bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga pada pertemuan pekan ini. Trader akan mencoba memahami lebih baik sikap The Fed terhadap inflasi.
Namun, prospek berakhirnya era suku bunga tinggi di The Fed masih belum jelas seiring melonjaknya kembali inflasi AS periode Agustus 2023.
Sebelumnya pada Rabu pekan lalu, inflasi konsumen (consumer price index/CPI) Negeri Paman Sam Agustus kembali naik menjadi 3,7% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Juli lalu sebesar 3,2% (yoy).
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI AS pada bulan lalu juga naik menjadi 0,6%, dari sebelumnya pada Juli lalu sebesar 0,2%. CPI bulanan AS sesuai dengan prediksi pasar yang memperkirakan kenaikan menjadi 0,6%.
Adapun CPI inti berhasil melandai sesuai ekspektasi ke 4,3% (yoy), dibandingkan periode bulan sebelumnya sebesar 4,7% (yoy).
Inflasi AS diperkirakan masih sulit turun ke depan karena lonjakan harga minyak. AS adalah konsumen terbesar minyak di dunia sehingga pergerakan harga minyak akan sangat berdampak kepada ekonomi AS.
Harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) dan Brent mencapai level tertinggi sejak November. Naik hampir 30% sejauh ini pada kuartal ketiga, WTI bersiap untuk mengalami kenaikan harga terbesarnya sejak kuartal pertama tahun 2022.
Harga minyak WTI melonjak 1,27% ke posisi US$ 91,92 per barel. Sedangkan harga minyak Brent melesat 0,92% menjadi US$ 94,79 per barel.
Hal ini karena Arab Saudi dan Rusia pada bulan ini memperpanjang pengurangan pasokan gabungan sebesar 1,3 juta barel per hari (bpd) hingga akhir tahun.
Kendati inflasi masih membandel dan era suku bunga tinggi belum dipastikan kapan berakhir, tetapi pemikiran pelaku pasar juga sepertinya mulai berubah lebih forward looking dari yang sebelumnya seberapa besar kenaikan suku bunga menjadi seberapa lama The Fed akan memberikan jeda.
Hal tersebut juga semakin didukung dengan data yang ditunjukkan CME Fedwatch Tool yang mengukur peluang suku bunga akan ditahan pada level 5,25%-5,50% sudah semakin dominan, yakni mencapai 99%, nyaris 100%.
"Cara The Fed memberikan jeda sangat penting untuk ekspektasi suku bunga di November dan Desember, namun apakah kebijakan tersebut disajikan dengan kecenderungan dovish atau hawkish adalah hal yang paling penting bagi pasar keuangan," kata Quincy Krosby, kepala strategi global untuk LPL Financial, dikutip dari CNBC International.
Di lain sisi, saham Apple ditutup melesat 1,7%, setelah Goldman Sachs dan Morgan Stanley memberikan pandangan optimis terhadap permintaan iPhone baru.
Pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yang datang dari Amerika Serikat (AS). Ada dua perkembangan besar di AS yang menjadi perhatian pasar karena rawan menimbulkan huru-hara yakni rapat The Fed serta kisruh shut down pemerintah AS.
Pergerakan bursa saham Wall Street yang cenderung sideways karena investor menanti sikap The Fed juga bisa membuat IHSG, rupiah, dan SBN hari ini dalam tekanan.
Seperti diketahui, The Fed mulai menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada hari ini, Selasa (19/9/2023) waktu AS.
Pengumuman The Fed menjadi yang paling banyak ditunggu para pelaku pasar di dunia, mengingat besarnya pengaruh AS dalam perekonomian global.
Pertumbuhan yang lebih cepat, inflasi yang lebih rendah, dan pasar kerja yang terus berlanjut telah menyiapkan landasan bagi serangkaian perkiraan terbaru dari pejabat The Fed pekan ini yang kemungkinan mencerminkan semakin besarnya keyakinan mereka terhadap prospek soft-landing ekonomi dengan mempertahankan kenaikan suku bunga satu kali lagi.
Perangkat CME Fedwatch menunjukkan 99% investor yakin The Fed akan menahan suku bunga acuan di 5,25%-5,5% dalam pertemuan pekan ini.
Selain kebijakan suku bunga, pelaku pasar juga menunggu pernyataan dan sinyal kebijakan The Fed ke depan atau untuk pertemuan November 2023.
Terlebih, data ekonomi AS terus-menerus memberikan kejutan positif, yang berarti para pejabat The Fed perlu mengubah pandangan mereka yang melihat pertumbuhan hampir mati, terutama meningkatnya pengangguran dan hanya sedikit perbaikan dalam inflasi.
Mengingat gambaran yang lebih cerah tersebut, para pengambil kebijakan The Fed mungkin tidak akan menaikkan suku bunga kebijakan lebih jauh. Mereka hanya belum siap untuk mengatakannya.
Seperti diketahui, AS mengeluarkan sejumlah data penting pekan lalu mulai dari inflasi konsumen (consumer price index/CPI) dan inflasi produsen (producer price index/PPI) periode Agustus Agustus serta data klaim pengangguran mingguan.
AS mengumumkan CPI sebesar 3,7% (yoy) pada Agustus lalu, naik dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 3,2% (yoy). Inflasi tersebut adalah yang tertinggi dalam tiga bulan terakhir dan hampir dua kali lipat lebih tinggi dari target The Fed.
Namun, CPI inti melandai sesuai ekspektasi ke 4,3% (yoy) dibandingkan periode bulan sebelumnya sebesar 4,7%.
Sementara itu data PPI AS periode Agustus 2023 naik 1,2% (yoy), lebih panas dibandingkan konsensus sebesar 1,2% dan bulan sebelumnya sebesar 0,8%.
Selain itu, data klaim pengangguran AS untuk pekan yang berakhir 9 September 2023 naik ke 220.000 dibandingkan minggu sebelumnya sebesar 217.000. Nilai tersebut masih berada di bawah ekspektasi pasar yang proyeksi bisa naik ke 225.000.
Kemudian ada data penjualan ritel AS untuk periode Agustus 2023 tumbuh 0,6% secara bulanan (month-to-month/mtm) dibandingkan sebelumnya sebesar 0,5% (mtm).
Jika The Fed pada akhirnya melonggarkan kebijakan maka kondisi keuangan akan lebih baik, misalnya harga saham yang lebih tinggi atau imbal hasil obligasi yang lebih rendah dapat menstimulasi pengeluaran dan pinjaman sehingga inflasi bisa naik lagi sehingga sulit bagi The Fed menahan laju inflasi.
Banyak ekonom lain juga memperkirakan para pengambil kebijakan The Fed akan memberikan sinyal penurunan suku bunga yang lebih sedikit pada tahun depan. Pasar keuangan saat ini memperkirakan suku bunga akan turun menjadi 4,4% pada akhir tahun 2024 dan 3,8% pada akhir tahun 2025.
Tujuh gubernur The Fed dan 12 presiden bank The Fed akan berbagi proyeksi mereka satu sama lain dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada pertengahan pekan ini.
Di luar kebijakan suku bunga, pelaku pasar juga mencermati perkembangan di AS yang terancam mengalami shutdown. Hal ini dikarenakan dinamika yang dialami Kongres AS, terkait internal Partai Republik.
Dalam laporan CNBC International, perdebatan anggaran antara kubu Ketua DPR dari Republik, Kevin McCarthy, dengan kelompok sayap kanan dari partai yang sama menjadi penyebab. Perdebatan pun ikut menyeret Senat, yang saat ini dikuasai Partai Demokrat.
Senat sejauh ini bertahan pada anggaran belanja diskresi sebesar US$ 1,59 triliun yang disetujui oleh McCarthy dan Presiden Joe Biden. Namun anggota konservatif garis keras di DPR mendorong pemotongan anggaran di bawah apa yang disetujui oleh figur-figur top mereka.
Untuk mengatasi shutdown akibat perdebatan anggaran ini, Anggota DPR dari Partai Republik mengeluarkan rancangan undang-undang yang akan tetap mendanai pemerintah hingga 31 Oktober. Namun, laporan Reuters menyebut ada pemotongan belanja dalam negeri di beberapa lembaga negara hingga 8%.
Persoalan shut down ini akan meningkatkan kekhawatiran pasar keuangan di AS dan global yang pada akhirnya bisa memicu capital outflow dari Emerging Markets, termasuk Indonesia.
Selain The Fed, pada pekan ini setidaknya ada tujuh bank sentral di luar Indonesia yang juga akan mengumumkan suku bunga acuannya.
Di antaranya adalah bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) pada Rabu pekan ini. Kemudian puncaknya yakni Kamis, selain The Fed, ada bank sentral Brasil, Turki, Afrika Selatan, Inggris, Saudi Arabia. Kemudian pada Jumat pekan ini, ada bank sentral Jepang.
Banyaknya bank yang akan merilis data pada Kamis inilah yang membuat fenomena 'super Thursday' akan kembali menghantui pasar keuangan global, termasuk di Indonesia.
Pasar dikhawatirkan bergerak sangat volatile pada pekan ini terutama menjelang Kamis karena banyaknya bank sentral yang akan mengumumkan suku bunga.
Bahkan, Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuannya pada pekan ini, tepatnya pada Kamis.
BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 September dan akan mengumumkan hasilnya pada Kamis, 21 September siang.
Pelaku pasar memperkirakan BI akan kembali mempertahankan suku bunga acuannya di level 5,75%. Jika ekspektasi pasar tersebut benar, maka BI sudah menahan suku bunga acuannya selama tujuh bulan terakhir.
Sementara itu pada hari ini, ada beberapa rilis data ekonomi dan agenda cukup penting yang perlu dicermati oleh pasar, di mana salah satunya yakni data final dari inflasi Uni Eropa periode Agustus 2023.
Berdasarkan konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan inflasi final Uni Eropa pada bulan lalu tidak banyak berubah dari versi awal yakni di 5,3%. Angka ini masih lebih tinggi dari target bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) di 2%.
Kawasan Euro memulai semester kedua tahun ini dengan penurunan bulanan dalam produksi industri, menambah tanda-tanda bahwa manufaktur akan terus membebani pertumbuhan ekonomi.
Output turun 1,1% pada bulan Juli, melebihi penurunan 0,9% yang diperkirakan oleh para analis Bloomberg. Penurunan dari bulan sebelumnya menghapus semua keuntungan yang diperoleh sepanjang kuartal kedua.
Inflasi yang masih membandel membuat ECB pada pekan lalu kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) ke 4%, menjadi kenaikan ke-10 berturut-turut dan juga menjadikan suku bunga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa.
Selain ECB, ada bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) yang akan menggelar meeting minutes pada hari ini. Hal ini dilakukan setelah Michele Bullock mengambil alih jabatan sebagai wanita pertama yang memimpin RBA pada Senin kemarin.
Bullock akan mewarisi sebuah perekonomian dengan inflasi yang moderat, lapangan kerja yang kuat, dan pembangunan yang berkelanjutan. Setelah menaikkan suku bunga secara agresif selama lebih dari satu tahun, RBA telah berhenti menaikkan suku bunga selama tiga bulan.
Pasar memperkirakan Bullock akan mempertahankannya pada pertemuan pertamanya sebagai gubernur bulan depan dan beberapa ekonom percaya bahwa perubahan kebijakan pertamanya adalah penurunan suku bunga.
RBA menaikkan suku bunga sebesar 400 bp ke level tertinggi 11 tahun di 4,1% dalam 13 bulan hingga Juni lalu. Sementara inflasi konsumen (CPI) melambat dari 8,9% di Desember menjadi 4,9% di Juli.
RBA memproyeksikan bahwa hal ini akan membawa ke kisaran target sebesar 2% hingga 3% pada akhir 2025.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Minutes meeting bank sentral Australia (08:30 WIB),
- Rilis data final inflasi Uni Eropa periode Agustus 2023 (16:00 WIB),
- Rilis data izin bangunan Amerika Serikat periode Agustus 2023 (19:30 WIB).
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- RUPS Luar Biasa PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (14:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2023 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Agustus 2023 YoY) | 3,27% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2023) | 5,75% |
Surplus Anggaran (APBN Juli 2023) | 0,72% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q2-2023 YoY) | 0,5% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2023 YoY) | US$ -7,4 miliar |
Cadangan Devisa (Agustus 2023) | US$ 137,1 miliar |
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]