Jual Rumah Bakal Susah Sampai Ada Presiden Baru, Ini Buktinya

- Ternyata dalam tiga kali pemilu harga saham properti besar kompak pada koreksi
- Nyatanya pemilu tak terlalu berdampak pada penjualan yang masih terus meningkat
- Faktor makro mulai dari stimulus pemerintah hingga suku bunga yang sudah ditahan bisa menjadi booster untuk penjualan properti tetap positif.
Jakarta, CNBC Indonesia -Jelang tahun pemilu yang diadakan lima tahun sekali, sejumlah saham properti biasanya akan bergerak lesu karena sikap investor yang cenderung wait and see. Akankah ini berlaku saat ini yang notabene sudah kian mendekati perhelatan pemilu 2024?
Apalagi kondisi Pemilu 2024 diperkirakan berbeda dengan sebelumnya karena pesta demokrasi kali ini bakal memilih lima posisi sekaligus dalam pemilu serentak yaitu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (kecuali DKI Jakarta).
Kondisi tersebut cukup menjadi kekhawatiran bagi sektor properti, pasalnya sektor yang menjual hunian ini memiliki efek domino kurang lebih ke 185 industri turunan. Dengan begitu, konsumen jadi menahan diri untuk belanja ataupun menginvestasikan dananya ke produk properti.
Lantas bagaimana gerak sejumlah saham properti jelang Pemilu?
CNBC Indonesia Research mengumpulkan gerakan saham empat properti besar dalam tiga kali pemilu yakni pada 2009, 2014, dan 2019.
Pertama, pada hajatan 2009 lalu, ada saham PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) yang mengalami pelemahan beruntun sejak Agustus - Desember 2018, akumulasi pelemahan secara tahunan pada waktu itu menggerus hingga -86,46%. Penyusutan masih berlangsung hingga dua bulan pertama 2009, dimana pada Januari anjlok -20% kemudian Februari ambles -6,94%.
Kemudian pada PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) setahun sebelum pemilu 2009, gerak harga sahamnya ambles hingga -71,01%. Kemudian merembet hingga Januari 2009 yang turun -2,50%. Selanjutnya, PT Ciputra Development Tbk (CTRA) pada 2008 gerak harga sahamnya ambles hingga -79,21%. Terakhir PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) juga mengalami pergerakan harga saham yang sangat volatile jelang pemilu, sempat anjlok hingga -64,29% dalam sebulan pertama 2009 saja.
Kedua, untuk pergerakan harga saham BSDE menjelang pemilu 2014 sempat ada koreksi pada Maret dan April 2014 masing-masing susut -3,83% dan -12,65%.
Pada dua periode yang sama CTRA juga mengalami penyusutan masing-masing sebesar -0,68% dan -6,75%. Sebagai informasi, pemilu pada saat itu dilaksanakan pada 9 April 2023. Sementara SMRA mengalami koreksi sejak setahun sebelumnya sekitar -6,23% secara tahunan.
Terkhusus, PWON pada setahun sebelumnya terbilang tidak terlalu bumpy karena masih naik 20% secara tahunan pada 2013. Hanya saja pada tahun itu, sempat ada koreksi pada Agustus dan September secara bulanan masing-masing ambles -23,68% dan -1,73%. Momentum pemilu sudah mulai terasa pada saat itu bertepatan dengan fenomena black September.
Ketiga, sebelum pemilu 2019 harga BSDE pada setahun sebelumnya koreksi hingga -25,96% secara tahunan. Pada periode yang sama SMRA juga mengikuti ambles -14,85% dan CTRA anjlok -14,77%. Koreksi CTRA masih berlanjut pada Januari dan Februari 2019 yang masing-masing susut -3,47% dan -10,26%. PWON juga mengalami koreksi di sepanjang 2018 sebesar -9,49%.
![]() Pergerakan harga saham empat emiten properti |
Dari penjelasan di atas memang cukup terbukti bahwa gerak harga saham sejumlah properti tertekan dari adanya perhelatan pemilu. Akan tetapi apakah ini juga berdampak ke pendapatan-nya?
Menelisik lebih dalam dampak pemilu terhadap pendapatan ternyata tak terlalu signifikan pada tiga emiten, diantaranya PWON jadi yang paling tumbuh positif sepanjang tahun pemilu berjalan, kemudian CTRA hanya mencatatkan perlambatan pertumbuhan top line pada 2008 dan 2019 masing-masing turun -3,3-% dan -0,81%. Sementara SMRA hanya susut pada 2008 sekitar -5,45%.
BSDE yang paling kena dampak signifikan, apalagi pada 2018 pendapatannya anjlok hingga 35%. Berikut rincian lebih lengkap-nya.
Jadi bisa dibilang pergerakan harga saham properti ada potensi bergerak lebih volatile menjelang pemilu 2024 sebentar lagi. Hanya saja, belum tentu pendapatan akan menyusut karena sejumlah kondisi makro juga sebenarnya sudah semakin mendukung.
Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) telah ditahan dalam beberapa bulan terakhir, ini memberikan gambaran bahwa era suku bunga tinggi sudah mencapai puncaknya dan ada potensi bisa mengalami pivot tahun depan mengikuti bank sentral AS the Federal Reserve (The Fed) yang akan melonggarkan kebijakannya tahun depan ketika inflasi sudah semakin melandai mendekati target.
Sejumlah stimulus juga sudah diterapkan pemerintah untuk memacu penjualan seperti menerapkan loan-to-value 100% yang memungkinkan pengembang untuk memberikan diskon DP 0% hingga akhir 2023.
Tak hanya itu, kepemilikan oleh warga negara asing (WNA) juga potensi meningkatkan penjualan, pasalnya harga yang diberikan kepada WNA akan lebih tinggi dibandingkan WNI, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)