
Huru-Hara di Amerika Bikin Investor Pening, RI Ikut Deg-Degan

Pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yang datang dari Amerika Serikat (AS). Ada dua perkembangan besar di AS yang menjadi perhatian pasar karena rawan menimbulkan huru-hara yakni rapat The Fed serta kisruh shut down pemerintah AS.
Pergerakan bursa saham Wall Street yang cenderung sideways karena investor menanti sikap The Fed juga bisa membuat IHSG, rupiah, dan SBN hari ini dalam tekanan.
Seperti diketahui, The Fed mulai menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada hari ini, Selasa (19/9/2023) waktu AS.
Pengumuman The Fed menjadi yang paling banyak ditunggu para pelaku pasar di dunia, mengingat besarnya pengaruh AS dalam perekonomian global.
Pertumbuhan yang lebih cepat, inflasi yang lebih rendah, dan pasar kerja yang terus berlanjut telah menyiapkan landasan bagi serangkaian perkiraan terbaru dari pejabat The Fed pekan ini yang kemungkinan mencerminkan semakin besarnya keyakinan mereka terhadap prospek soft-landing ekonomi dengan mempertahankan kenaikan suku bunga satu kali lagi.
Perangkat CME Fedwatch menunjukkan 99% investor yakin The Fed akan menahan suku bunga acuan di 5,25%-5,5% dalam pertemuan pekan ini.
Selain kebijakan suku bunga, pelaku pasar juga menunggu pernyataan dan sinyal kebijakan The Fed ke depan atau untuk pertemuan November 2023.
Terlebih, data ekonomi AS terus-menerus memberikan kejutan positif, yang berarti para pejabat The Fed perlu mengubah pandangan mereka yang melihat pertumbuhan hampir mati, terutama meningkatnya pengangguran dan hanya sedikit perbaikan dalam inflasi.
Mengingat gambaran yang lebih cerah tersebut, para pengambil kebijakan The Fed mungkin tidak akan menaikkan suku bunga kebijakan lebih jauh. Mereka hanya belum siap untuk mengatakannya.
Seperti diketahui, AS mengeluarkan sejumlah data penting pekan lalu mulai dari inflasi konsumen (consumer price index/CPI) dan inflasi produsen (producer price index/PPI) periode Agustus Agustus serta data klaim pengangguran mingguan.
AS mengumumkan CPI sebesar 3,7% (yoy) pada Agustus lalu, naik dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 3,2% (yoy). Inflasi tersebut adalah yang tertinggi dalam tiga bulan terakhir dan hampir dua kali lipat lebih tinggi dari target The Fed.
Namun, CPI inti melandai sesuai ekspektasi ke 4,3% (yoy) dibandingkan periode bulan sebelumnya sebesar 4,7%.
Sementara itu data PPI AS periode Agustus 2023 naik 1,2% (yoy), lebih panas dibandingkan konsensus sebesar 1,2% dan bulan sebelumnya sebesar 0,8%.
Selain itu, data klaim pengangguran AS untuk pekan yang berakhir 9 September 2023 naik ke 220.000 dibandingkan minggu sebelumnya sebesar 217.000. Nilai tersebut masih berada di bawah ekspektasi pasar yang proyeksi bisa naik ke 225.000.
Kemudian ada data penjualan ritel AS untuk periode Agustus 2023 tumbuh 0,6% secara bulanan (month-to-month/mtm) dibandingkan sebelumnya sebesar 0,5% (mtm).
Jika The Fed pada akhirnya melonggarkan kebijakan maka kondisi keuangan akan lebih baik, misalnya harga saham yang lebih tinggi atau imbal hasil obligasi yang lebih rendah dapat menstimulasi pengeluaran dan pinjaman sehingga inflasi bisa naik lagi sehingga sulit bagi The Fed menahan laju inflasi.
Banyak ekonom lain juga memperkirakan para pengambil kebijakan The Fed akan memberikan sinyal penurunan suku bunga yang lebih sedikit pada tahun depan. Pasar keuangan saat ini memperkirakan suku bunga akan turun menjadi 4,4% pada akhir tahun 2024 dan 3,8% pada akhir tahun 2025.
Tujuh gubernur The Fed dan 12 presiden bank The Fed akan berbagi proyeksi mereka satu sama lain dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada pertengahan pekan ini.
Di luar kebijakan suku bunga, pelaku pasar juga mencermati perkembangan di AS yang terancam mengalami shutdown. Hal ini dikarenakan dinamika yang dialami Kongres AS, terkait internal Partai Republik.
Dalam laporan CNBC International, perdebatan anggaran antara kubu Ketua DPR dari Republik, Kevin McCarthy, dengan kelompok sayap kanan dari partai yang sama menjadi penyebab. Perdebatan pun ikut menyeret Senat, yang saat ini dikuasai Partai Demokrat.
Senat sejauh ini bertahan pada anggaran belanja diskresi sebesar US$ 1,59 triliun yang disetujui oleh McCarthy dan Presiden Joe Biden. Namun anggota konservatif garis keras di DPR mendorong pemotongan anggaran di bawah apa yang disetujui oleh figur-figur top mereka.
Untuk mengatasi shutdown akibat perdebatan anggaran ini, Anggota DPR dari Partai Republik mengeluarkan rancangan undang-undang yang akan tetap mendanai pemerintah hingga 31 Oktober. Namun, laporan Reuters menyebut ada pemotongan belanja dalam negeri di beberapa lembaga negara hingga 8%.
Persoalan shut down ini akan meningkatkan kekhawatiran pasar keuangan di AS dan global yang pada akhirnya bisa memicu capital outflow dari Emerging Markets, termasuk Indonesia.
Selain The Fed, pada pekan ini setidaknya ada tujuh bank sentral di luar Indonesia yang juga akan mengumumkan suku bunga acuannya.
Di antaranya adalah bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) pada Rabu pekan ini. Kemudian puncaknya yakni Kamis, selain The Fed, ada bank sentral Brasil, Turki, Afrika Selatan, Inggris, Saudi Arabia. Kemudian pada Jumat pekan ini, ada bank sentral Jepang.
Banyaknya bank yang akan merilis data pada Kamis inilah yang membuat fenomena 'super Thursday' akan kembali menghantui pasar keuangan global, termasuk di Indonesia.
Pasar dikhawatirkan bergerak sangat volatile pada pekan ini terutama menjelang Kamis karena banyaknya bank sentral yang akan mengumumkan suku bunga.
Bahkan, Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuannya pada pekan ini, tepatnya pada Kamis.
BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 September dan akan mengumumkan hasilnya pada Kamis, 21 September siang.
Pelaku pasar memperkirakan BI akan kembali mempertahankan suku bunga acuannya di level 5,75%. Jika ekspektasi pasar tersebut benar, maka BI sudah menahan suku bunga acuannya selama tujuh bulan terakhir.
Sementara itu pada hari ini, ada beberapa rilis data ekonomi dan agenda cukup penting yang perlu dicermati oleh pasar, di mana salah satunya yakni data final dari inflasi Uni Eropa periode Agustus 2023.
Berdasarkan konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan inflasi final Uni Eropa pada bulan lalu tidak banyak berubah dari versi awal yakni di 5,3%. Angka ini masih lebih tinggi dari target bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) di 2%.
Kawasan Euro memulai semester kedua tahun ini dengan penurunan bulanan dalam produksi industri, menambah tanda-tanda bahwa manufaktur akan terus membebani pertumbuhan ekonomi.
Output turun 1,1% pada bulan Juli, melebihi penurunan 0,9% yang diperkirakan oleh para analis Bloomberg. Penurunan dari bulan sebelumnya menghapus semua keuntungan yang diperoleh sepanjang kuartal kedua.
Inflasi yang masih membandel membuat ECB pada pekan lalu kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) ke 4%, menjadi kenaikan ke-10 berturut-turut dan juga menjadikan suku bunga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa.
Selain ECB, ada bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) yang akan menggelar meeting minutes pada hari ini. Hal ini dilakukan setelah Michele Bullock mengambil alih jabatan sebagai wanita pertama yang memimpin RBA pada Senin kemarin.
Bullock akan mewarisi sebuah perekonomian dengan inflasi yang moderat, lapangan kerja yang kuat, dan pembangunan yang berkelanjutan. Setelah menaikkan suku bunga secara agresif selama lebih dari satu tahun, RBA telah berhenti menaikkan suku bunga selama tiga bulan.
Pasar memperkirakan Bullock akan mempertahankannya pada pertemuan pertamanya sebagai gubernur bulan depan dan beberapa ekonom percaya bahwa perubahan kebijakan pertamanya adalah penurunan suku bunga.
RBA menaikkan suku bunga sebesar 400 bp ke level tertinggi 11 tahun di 4,1% dalam 13 bulan hingga Juni lalu. Sementara inflasi konsumen (CPI) melambat dari 8,9% di Desember menjadi 4,9% di Juli.
RBA memproyeksikan bahwa hal ini akan membawa ke kisaran target sebesar 2% hingga 3% pada akhir 2025.
(chd/chd)