RI Makin Tertinggal! Kamboja Siap Jadi Raja Beras di ASEAN

Jakarta, CNBC Indonesia - Beras merupakan salah satu komoditas terpenting bagi masyarakat Asia Tenggara. Hal ini karena sebagian besar konsumsi masyarakat di Asia Tenggara masih bergantung dengan beras.
Apalagi, pertanian yang menghasilkan produksi beras menjadi komoditas andalan di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, sehingga komoditas ini tak hanya penting untuk dikonsumsi oleh masyarakat, juga menjadi komoditas andalan untuk menambah pendapatan negara.
Pasokan beras negara Asia Tenggara (ASEAN) diperkirakan meningkat sekitar 3,28% dari 166,10 juta ton beras giling pada 2023 menjadi 171,55 juta ton pada 2024. Peningkatan pasokan ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan stok dan sisa produksi dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, produksi padi ASEAN pada 2023 (tahun panen 2022/2023) diperkirakan sebesar 200,44 juta ton, meningkat 4,92 juta ton atau 2,52% dari 195,51 juta ton pada 2022 (tahun panen 2021/2022).
Peningkatan ini disebabkan oleh bertambahnya luas tanam dan panen. Peningkatan produksi terjadi di Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Adapun, produksi padi ASEAN pada tahun 2024 (tahun panen 2023/2024) diperkirakan sebesar 202,34 juta ton, meningkat sebesar 1,09 juta ton, yaitu 0,95% dari 200 juta ton pada 2023 (tahun panen 2022/2023) dengan menjamin tanpa bencana alam yang ekstrem.
Produksinya diperkirakan akan meningkat di semua negara, kecuali Malaysia dan Thailand, yang disebabkan oleh peningkatan luas panen dan hasil.
![]() |
Kemudian produk beras giling, pemanfaatan beras giling dalam negeri di ASEAN pada tahun 2024 diproyeksikan sebesar 115,82 juta ton, meningkat sekitar 1,87 juta ton atau 1,65% dibandingkan 113,94 juta ton pada tahun 2023.
![]() |
Stok awal pada tahun 2024 diperkirakan sebesar 34,13 juta ton, meningkat 4,20 juta ton atau 14,05% dari 29,92 juta ton pada tahun 2023. Stok akhir juga diperkirakan meningkat sebesar 0,77 juta ton atau 2,24% dari 34,13 juta ton pada tahun 2023, menjadi 34,89 juta ton pada tahun 2024.
Produksi Beras Kamboja Jangan Dianggap Remeh
Jika dilihat dari data-data di atas, Kamboja mulai menyusuli posisi negara ASEAN dengan produksi padi terbesar, di mana posisi Kamboja saat ini berada di posisi ke-6 setelah Filipina. Dari beras giling, Kamboja juga sudah berada di posisi ke-6, berada di bawah Filipina.
Bahkan, RI yang menjadi produsen beras terbesar di ASEAN, berencana mengimpor beras dari Kamboja. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengungkapkan Kamboja menyambut baik rencana Indonesia akan impor beras 250 ribu ton per tahun. Namun rencana ini masih dalam penjajakan.
"Saya mengapresiasi sambutan Kamboja terkait keinginan Indonesia untuk mengimpor beras dari Kamboja sekitar 250 ribu ton per tahun," kata Jokowi, usai pertemuan PM Kamboja Hut Manet di Istana Merdeka, (4/9/2023) lalu.
Selain itu dalam pertemuan itu Jokowi juga mengungkapkan Indonesia siap mendukung infrastruktur ketahanan pangan Kamboja melalui pasokan pupuk dan pelatihan.
Sebelumnya Jokowi memutuskan impor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun 2023 ini. Dimana ketahanan pangan menjadi fokus pemerintah di masa kondisi cuaca El Nino. Namun beberapa negara juga membatasi ekspor beras seperti Vietnam dan India.
Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi mengungkapkan ini merupakan kerja sama bukan hanya persoalan ekspor impor tapi juga masalah ketahanan pangan.
Selain itu dalam pertemuan itu juga ditandatangani nota kesepahaman pertanian antara Menteri Pertanian kedua negara.
"Di dalam diskusi juga kedua pemimpin Indonesia Kamboja bicara mendorong kerja sama antara BUMN Indonesia dengan BUMN Kamboja," katanya.
Bisa dikatakan bahwa saat ini Kamboja mengalami kelebihan berasnya. Negara dengan julukan Negeri Angkor Wat ini tengah mempersiapkan sektor berasnya untuk memasuki pasar dunia sambil menjaga stok nasional, kesejahteraan petani, dan sumber daya pertanian tetap terkendali.
Bersama dengan Global Agriculture and Food Security Program and the Strategic Climate Fund di bawah Climate Investment Fund, ADB membantu pemerintah Kamboja mengubah sektor ini menjadi industri yang berorientasi komersial dan juga mampu menghadapi tantangan perubahan iklim.
Bahkan, Kamboja telah menyusun rencana untuk mempromosikan negaranya sebagai "keranjang beras" dan eksportir beras utama.
Di 2020, produksi padi Kamboja meningkat hingga mencapai 10,9 juta ton, meningkat sekitar 8 juta ton dari posisi 2012. Sebanyak 2.493 ton benih padi wangi diproduksi setiap tahun oleh tiga provinsi di Kamboja yakni Battambang, Kampong Thom, dan Prey Veng.
Bahkan, sebanyak 18.586 hektar kini dilayani oleh skema irigasi yang direhabilitasi dan tahan dari perubahan iklim yang ekstrem.
Petani padi di Kamboja telah bekerja sangat keras dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan rencana pemerintah untuk mempromosikan negara tersebut sebagai "keranjang beras" dan eksportir beras utama.
Beras menyumbang lebih dari 70% lahan pertanian di Kamboja dan sekitar 50% output sektor pertanian. Produksi telah meningkat secara signifikan dalam 2 dekade terakhir, dengan surplus yang signifikan diekspor terutama ke Eropa, mencapai 10% pangsa pasar yang menggembirakan.
Pasca perkiraan Tahun Pemasaran 2023/2024, luas panen dan produksi beras Kamboja akan sedikit meningkat dari tahun sebelumnya karena peningkatan penerapan input, peningkatan mekanisasi, antisipasi kondisi cuaca yang lebih baik dan permintaan dari pasar ekspor.
Namun, ekspor beras Kamboja ke China diperkirakan akan menurun seiring dengan peningkatan ekspor ke pasar Uni Eropa.
Sementara itu, ekspor beras Kamboja diperkirakan akan terus meningkat pada musim panen 2023/2024 karena terus melandainya biaya logistik dan aktifnya kembali hubungan dengan pembeli Eropa serta berlanjutnya permintaan beras dari Vietnam.
Pada Tahun Pemasaran 2021/2022, Federasi Beras Kamboja (Cambodia Rice Federation/CRF) melaporkan total volume ekspor beras giling mencapai 637.004 MT, 3% lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Peningkatan ini disebabkan oleh penurunan biaya pengangkutan dan pencabutan kebijakan safeguard yang sebelumnya diberlakukan oleh Uni Eropa. Tindakan pengamanan ini dicabut pada Januari 2022.
Selain itu, menurut sumber internasional, ekspor beras Kamboja ke Vietnam meningkat menjadi 1,1 MMT (setara beras giling) pada Tahun Pemasaran 2022/2023 karena tingginya permintaan penggunaan pakan.
Menyadari potensi ekspor sektor beras, Pemerintah Kamboja mengeluarkan Kebijakan Promotion of Paddy Production and Rice Export (2010) untuk meningkatkan sektor beras dan membawa beras Kamboja ke pasar dunia.
Namun, hal ini merupakan tantangan bagi Kamboja karena meskipun mengalami surplus beras, namun Kamboja sendiri sejatinya mengalami defisit pangan di sekitar seperempat provinsinya, sehingga menjadikan ketahanan pangan sebagai sebuah kekhawatiran.
Harga beras seringkali berfluktuasi karena ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, yang diperparah dengan perpindahan padi yang belum diolah ke Thailand atau Vietnam, yang memiliki kapasitas pengolahan lebih baik, penyimpanan lebih besar, dan sistem distribusi lebih luas.
Konsistensi kualitas beras untuk ekspor juga kurang baik karena kurangnya infrastruktur pascapanen dan beragamnya teknologi produksi dan pengolahan yang digunakan di pertanian besar dan kecil.
Namun, dengan adanya keseriusan Pemerintah Indonesia mendukung infrastruktur ketahanan pangan antara Kamboja dengan Indonesia, bukan tidak mungkin Negeri Angkor Wat ini perlahan-lahan menyusul Indonesia sebagai negara produsen padi dan beras terbesar di ASEAN.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/ras)