Swasembada Beras: India Curi Ilmu Soeharto, Kamboja Salip RI

- Persoalan kebijakan pertanian dan pangan terus di sorot di era rawan krisis seperti sekarang ini.
- Indonesia negeri Agraris saat ini tampak 'kalah maju' dari negara tetangganya yakni India dan Kamboja.
- Lantas bagaimana kesuksesan hasil produksi beras di Kamboja dan India?
Jakarta, CNBC Indonesia - Persoalan kebijakan pertanian dan pangan terus di sorot di era rawan krisis seperti sekarang ini, utamanya soal beras. Indonesia sebagai salah satu negara penghasil beras di dunia, kini harus menerima kenyataan bahwa 'kalah maju' dari negara tetangganya yakni India dan Kamboja.
Terutama soal beras yang merupakan salah satu komoditas penting bagi masyarakat Asia karena sebagian besar konsumsi masyarakat nyaris bergantung pada beras, terutama Asia Tenggara. Berbicara di kawasan ASEAN, Kamboja kini menyongsong menjadi 'raja' beras, mengalahkan Indonesia.
Ekspor Kamboja sudah jauh menyalip Indonesia seperti data di bawah ini:
![]() Rice balance sheet of ASEAN countries, 2023 |
Jika dilihat dari data-data di atas, Kamboja mulai menyusuli posisi negara ASEAN dengan produksi padi terbesar, di mana posisi Kamboja saat ini berada di posisi ke-6 setelah Filipina. Dari beras giling, Kamboja juga sudah berada di posisi ke-6, berada di bawah Filipina.
Indonesia yang sebelumnya menjadi produsen beras terbesar di ASEAN, berencana mengimpor beras dari Kamboja. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan Kamboja menyambut baik rencana Indonesia akan impor beras 250 ribu ton per tahun. Namun rencana ini masih dalam penjajakan.
Selain itu dalam pertemuan itu Jokowi juga mengungkapkan Indonesia siap mendukung infrastruktur ketahanan pangan Kamboja melalui pasokan pupuk dan pelatihan.
Sebelumnya Jokowi memutuskan impor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun 2023 ini. Dimana ketahanan pangan menjadi fokus pemerintah di masa kondisi cuaca El Nino. Namun beberapa negara juga membatasi ekspor beras seperti Vietnam dan India.
Rahasia Kamboja Mau Jadi 'Raja' Beras
Untuk diketahui, petani padi di Kamboja telah bekerja sangat keras dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan rencana pemerintah untuk mempromosikan negara tersebut sebagai "keranjang beras" dan eksportir beras utama.
Beras menyumbang lebih dari 70% lahan pertanian di Kamboja dan sekitar 50% output sektor pertanian. Produksi telah meningkat secara signifikan dalam 2 dekade terakhir, dengan surplus yang signifikan diekspor terutama ke Eropa, mencapai 10% pangsa pasar yang menggembirakan.
Menyadari potensi ekspor sektor beras, pemerintah Kamboja mengeluarkan Kebijakan Promosi Produksi Padi dan Ekspor Beras (2010) untuk meningkatkan sektor beras dan membawa beras Kamboja ke pasar dunia.
Namun, hal ini merupakan tantangan bagi negara yang, meskipun mengalami surplus beras, namun mengalami defisit pangan di sekitar seperempat provinsinya, sehingga menjadikan ketahanan pangan sebagai sebuah kekhawatiran.
Secara keseluruhan, Kamboja mempunyai potensi besar untuk menjadi keranjang beras di Asia Tenggara.Namun, rantai nilai beras yang sudah ketinggalan zaman di negara ini perlu diperbarui jika tujuan ganda yaitu ketahanan pangan dan perluasan ekspor ingin tercapai.
"Bagi Kamboja, reformasi sektor pertanian untuk mendukung komersialisasi beras bukan hanya merupakan bagian penting dari rencana pertumbuhannya, namun juga merupakan cara penting untuk melindungi diri dari bencana dan dampak perubahan iklim" Chanthou Hem, pejabat proyek senior ADB dalam laporan ADB bertajuk
Cambodia : Climate Resilient Rice Commercialization Sector Development Program.
Selain itu, pada tahun 2013, Pemerintah Kamboja menerima pinjaman gabungan berbasis kebijakan dan proyek sebesar US$55 juta dari ADB dan pinjaman gabungan serta hibah senilai US$24 juta dari Program Pertanian dan Ketahanan Pangan Global dan Dana Iklim Strategis untuk Pengembangan Sektor Komersialisasi Beras Ketahanan Iklim.
India Pakai Cara Mirip Era Soeharto Untuk Kebijakan Pertaniannya
Tak bisa dipungkiri, suka tidak suka nyatanya jejak zaman Orde Baru era Soeharto menjadi inspirasi bagi banyak negara khususnya pada kebijakan pertanian. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang baru saja pulang dari India. Mengejutkannya, rahasia ini ternyata pakai strategi yang 'tak asing' di telinga. Apa itu?
Sebagaimana diketahui India merupakan pengekspor beras terkemuka di dunia, menyumbang lebih dari 40% perdagangan beras global, serta produsen terbesar kedua setelah China.
Zulkifli Hasan mengungkapkan bahwa pertanian di India itu menggunakan koperasi bukan konglomerasi. Dari sisi pupuk India memutuskan tidak pakai pupuk pabrik dan itu dibuat oleh koperasi-koperasi didukung dengan penelitian.
Kebijakan yang diterapkan India ini tentu saja untuk mengamankan stok serta menghindari penipisan stok pangan di dalam negeri, apalagi untuk ukuran India dengan jumlah penduduk yang mencapai miliaran orang. Zulhas pun mengingat kebijakan itu seperti metode Indonesia dalam masa orde baru atau zaman Soeharto.
Kebijakan Ketahanan Pangan Era Soeharto
Sudah tak diragukan lagi, program ketahanan pangan era Soeharto ini begitu dikenal dan terkenang hingga kini. Kebijakannya masa itu diakui oleh Menteri Pertanian periode 2004-2009 Anton Apriyanto dengan banyak mengadpsi program-program semasa Orde Baru. Saat itu, tugas Kementerian pertanian hanya menyatukan kembali puing-puing yang berserakan yang sudah dibangun Soeharto.
Soeharto mengawali masa pemerintahannya pada 1966, Ia memprioritaskan sektor agraria dan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah ke revolusi pangan. Hal ini ditempuh karena kemiskinan dan kelangkaan pangan menjadi pemicu sekaligus pemantik munculnya krisis politik di Indonesia.
Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan, dan irigasi dibangun. Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasemabda pangan merupakan fokus tersendiri dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto.
Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.
Pada masa pemerintahannya, banyak dikembangkan institusi-institusi yang mendukung pertanian, mulai dari koperasi yang melayani kebutuhan pokok petani dalam usaha agribisnisnya, Bulog yang menampung hasil dari petani, institusi penelitian seperti BPTP yang berkembang untuk menghasilkan inovasi untuk pengembangan pertanian.
Salah satu produknya yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW), hingga berbagai bentuk kerjasama antar lembaga yang terkait penyediaan sarana prasaran yang mendukung pertanian seperti irigasi dan pembangunan pabrik pupuk.
Penyediaan sarana penunjang, seperti pupuk, diamankan dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Para petani dimodali dengan kemudahan memperoleh kredit bank. Pemasaran hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan. Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras.
Membanggakannya, saat itu budidaya padi di Indonesia merupakan yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk dibangun. Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.
Teknologi pertanian juga diperkenalkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani.
Selain program penyuluhan, kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu program pertanian Orde Baru yang khas, karena menyuguhkan temu wicara langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan menteri atau Presiden Soeharto langsung.
Hampir tidak ada pembangunan waduk-waduk besar. Era Seharto juga membangun infrastruktur perbenihan, pengamatan, dan pengendalian hama. Banyak peninggalan Presiden Kedua Indonesia itu yang sangat bermanfaat bagi pembangunan pertanian selanjutnya.
Di era Soeharto, menempatkan upaya memenuhi kebutuhan pangan pokok tanpa harus impor, sebagai fokus pembangunan di masa pemerintahannya."Waktu itu, ada tekad yang kuat dari pemerintah untuk berswasembada beras.
Selain tekad, kebijakan, program, dan organisasi pelaksana dari pusat hingga ke daerah, Soeharto menyediakan sumber daya manusia, yang relatif lebih pintar dengan menghasilkan sarjana-sarjana pertanian yang akan diterjunkan melaksanakan dan mendukung program tersebut, baik di lapangan maupun di lembaga-lembaga penelitian dan kampus. Era Soeharto juga menyediakan sumber dana yang besar untuk menyukseskan program menuju swasembada pangan.
Di era ini pula, Soeharto dinilai sukses memobilisasi masyarakat, terutama petani untuk bersama-sama meningkatkan produksi pertanian. Saat itu pula, kita bisa dikatakan beruntung mendapatkan benih unggul melalui program revolusi hijau saat itu.
Soeharto menangkap revolusi hijau dengan tekad, dirumuskan dan dituangkan dalam kebijakan dan program, dicetak melalui institusi, kemudian disediakan SDM dan dana serta mobilisasi masyarakat petani.
Program kerja pertanian Pak Harto berbuah prestasi. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraria pengimpor beras terbesar pada 1966, mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri melalui swasembada beras pada 1984. Pada 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras, sementara pada 1984, bisa mencapai 25,8 juta ton beras.
Kesuksesan ini mengantarkan Pak Harto diundang berpidato di depan Konferensi ke-23 FAO (Food and Agriculture Organization) alias Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia), di Roma, Italia, 14 November 1985.
Mengutip dari pusat data Jenderal Besar HM Soeharto, Wakil Presiden M Jusuf Kalla (2004-2009) juga menilai Presiden Soeharto berjasa besar di bidang pembangunan ekonomi dan pertanian karena mampu menurunkan tingkat inflasi dari 650% menjadi 12% dalam beberapa tahun pertama kepemimpinannya.
Selain itu, Pak Harto juga punya andil besar dalam pembangunan irigasi pertanian yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Bahkan sampai saat ini, kata Kalla, belum ada presiden yang mampu menandinginya.
Presiden Soeharto pernah mengatakan bahwa "Food is my last defence line". Kebijakan pangan pada masa ini sebenarnya sudah hampir mendekati kategori kemandirian pangan. Hanya saja, terdapat beberapa indikator yang belum terpenuhi secara keseluruhan. Dengan kata lain, kebijakan pangan era Soeharto belum mampu mencapai kedaulatan pangan.
Apabila dilihat dari definisi ketahanan pangan, kemandirian dan kedaulatan pangan, posisi kebijakan pangan pada masa Soeharto berada pada posisi ketahanan, sesuai dengan definisi ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau.
Hal tersebut dilihat dari adanya kebijakan swasembada beras yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)