Bersiaplah! RI Bisa Kena Hantam Kabar Buruk dari China & AS
- China dan AS masih bawa kabar buruk yang buat pasar keuangan Tanah Air bergejolak sepanjang pekan lalu.
- Wall Street ditutup menguat tipis pekan lalu, tetapi dalam seminggu masih merana karena penantian data inflasi AS dan masalah perang dagang dengan China belum usai.
- Mulai dari inflasi AS, perang dagang, hingga neraca perdagangan Indonesia akan mewarnai pasar keuangan Tanah Air pekan ini.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air sepanjang pekan lalu masih terpantau ambruk, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah harus rela kembali ke zona merah, sementara surat berharga negara (SBN) kembali dibuang investor.
Pasar keuangan Indonesia pada pekan ini diperkirakan masih akan bergejolak. Selengkapnya mengenai proyeksi pasar keuangan pada hari ini bisa dibaca pada halaman 3 dan 4 artikel ini.
Sepanjang pekan yang berakhir pada Jumat (8/9/2023), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk sekitar 1% ke posisi 6924,78. Padahal sempat menguji level psikologis 7000 akan tetapi dalam dua hari selanjutnya IHSG malah terkoreksi.
Pada Jumat lalu, sebanyak 279 saham ditutup terkoreksi sementara 241 saham menguat, dengan 232 diantaranya tak mengalami perubahan. Turnover atau nilai transaksi yang terjadi sepanjang hari tidak terlalu ramai sekitar Rp10,95 triliun dengan volume sebanyak 18.014 lembar saham dan frekuensi 1,12 juta kali.
IHSG yang ambles juga disinyalir karena aliran dana keluar asing yang terjadi sepanjang 4 - 8 September 2023, tercatat net foreign sell di seluruh pasar mencapai Rp1,11 triliun.
Dalam periode tersebut, ada tiga saham perbankan kapitalisasi besar yang secara berurutan paling banyak diobral asing, diantara PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebanyak Rp527,6 miliar, kemudian PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dilego Rp210,4 miliar dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebesar Rp147,4 miliar.
Perlu diketahui, secara akumulasi kapitalisasi pasar ketiga saham bank tersebut bisa mencapai lebih dari 20% terhadap IHSG.
IHSG yang masih berada dalam zona merah juga sejalan dengan gerak Wall Street dan bursa Asia yang kebakaran sepanjang pekan lalu. Terpantau selama seminggu yang berakhir pada perdagangan Jumat (9/9/2023) indeks NASDAQ ambles paling dalam -2,09% ke posisi 13.761,53, kemudian disusul S&P 500 yang jatuh -1,54% ke 4.457,49 dan indeks Dow Jones Industrial ambruk -0,98% menuju 34.567,59.
Bursa Asia juga mengalami nasib serupa, melansir data RTI Business secara mingguan Shanghai Composite Indeks (SSED) jatuh 1,90% secara mingguan menuju 3116,72. Nikkei 225 Tokyo menyusul ambles -1,01% ke posisi 32.606,80, dilanjutkan Hangseng Hongkong turun -0,98% menuju 18202,07, serta Strait Times Indeks Singapura (STI) turun -0,96% ke posisi 3207,75
Mulai dari Wall Street, Bursa Asia, hingga IHSG yang kebakaran sepanjang pekan lalu terjadi akibat sejumlah data eksternal terutama dari Amerika Serikat (AS) dan China yang bawa kabar buruk.
Kabar buruk dari negeri Paman Sam datang dari perbaikan sejumlah ekonomi, pertama dari ISM Services PMI yang mengukur aktivitas bisnis non-manufaktur melonjak ke 54,5 pada Agustus. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan 52,7 pada Juli serta di atas ekspektasi pasar yakni 52,5.
ISM Services Prices juga naik menjadi 58,9 pada Agustus dari 56,8 pada Juli. Artinya, ongkos biaya pada Agustus meningkat cukup signifikan. ISM Services yang menguat menandai ekonomi AS masih kencang sehingga inflasi bisa sulit ditekan ke depan. Kondisi ini membuat pelaku pasar berekspektasi jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan sikap hawkishnya.
Sementara itu, China melaporkan jika ekspor dan impor mereka mengalami kontraksi pada Agustus. Kondisi ini semakin menegaskan jika ekonomi China tengah bermasalah.
Beralih ke nilai tukar rupiah dalam melawan dolar AS terpantau masih bertekuk lutut, dimana dalam sepekan lalu melemah 0,56% terhadap the Greenback ke posisi Rp15.320/US$, padahal pekan sebelumnya sempat menguat sekitar 0,36%. Dengan begitu, sejak awal bulan mata uang Garuda masih melemah sebanyak 0,62%.
Data ekonomi dari AS dan China mempengaruhi pergerakan rupiah sepanjang minggu lalu. China melaporkan ekspor yang kembali terkontraksi 8,8% (year on year/yoy) menjadi US$ 284,9 miliar pada Agustus 2023 sementara impor mereka terkoreksi sebesar 7,3% (yoy) menjadi US$ 216, 51 miliar.
Dari dalam negeri, sentimen cadangan devisa (cadev) juga belum bisa menopang laju rupiah. Bank Indonesia (BI) melaporkan cadev berada di kisaran US$137,1 miliar per akhir Agustus 2023. Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan posisi pada akhir Juli 2023 sebesar US$137,7 miliar.
Beralih ke Surat Berharga Negara (SBN) acuan yang bertenor 10 tahun terpantau imbal hasil mengalami kenaikan 18 basis poin (bps) menjadi 6,56% secara mingguan. Posisi yield tersebut menjadi yang tertinggi sejak 25 Agustus 2023 lalu.
Usai KTT ASEAN juga nampaknya belum terlalu memberikan katalis positif pada pasar keuangan dalam negeri karena sepertinya pelaku pasar meninjau lebih lanjut terkait realisasi dari sejumlah kesepakatan yang dicapai.
Kendati demikian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan ada banyak keputusan yang sudah berhasil disepakati terkait sektor ekonomi. Beliau menyampaikan deklarasi EAS mengenai epicentrum of growth, pengembangan ekosistem EV, dan pelaksanaan Regional Cross Border Payment dan Local Currency Transaction.
Kemudian, dalam pelaksanaan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) sudah menghasilkan 93 proyek kerja sama senilai US$ 38,2 miliar. "Ini adalah kerja sama konkret yang bermanfaat untuk rakyat," ujar Jokowi dalam konferensi pers usai perhelatan KTT ASEAN, Kamis (7/9/2023).
(tsn/tsn)