Newsletter

Bersiaplah! RI Bisa Kena Hantam Kabar Buruk dari China & AS

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
11 September 2023 06:00
INDONESIA-US-CHINA-G20-SUMMIT
Foto: AFP/SAUL LOEB
  • China dan AS masih bawa kabar buruk yang buat pasar keuangan Tanah Air bergejolak sepanjang pekan lalu. 
  • Wall Street ditutup menguat tipis pekan lalu, tetapi dalam seminggu masih merana karena penantian data inflasi AS dan masalah perang dagang dengan China belum usai. 
  • Mulai dari inflasi AS, perang dagang, hingga neraca perdagangan Indonesia akan mewarnai pasar keuangan Tanah Air pekan ini. 

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air sepanjang pekan lalu masih terpantau ambruk, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah harus rela kembali ke zona merah, sementara surat berharga negara (SBN) kembali dibuang investor.

Pasar keuangan Indonesia pada pekan ini diperkirakan masih akan bergejolak. Selengkapnya mengenai proyeksi pasar keuangan pada hari ini bisa dibaca pada halaman 3 dan 4 artikel ini.

Sepanjang pekan yang berakhir pada Jumat (8/9/2023), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk sekitar 1% ke posisi 6924,78. Padahal sempat menguji level psikologis 7000 akan tetapi dalam dua hari selanjutnya IHSG malah terkoreksi.

Pada Jumat lalu, sebanyak 279 saham ditutup terkoreksi sementara 241 saham menguat, dengan 232 diantaranya tak mengalami perubahan. Turnover atau nilai transaksi yang terjadi sepanjang hari tidak terlalu ramai sekitar Rp10,95 triliun dengan volume sebanyak 18.014 lembar saham dan frekuensi 1,12 juta kali.

IHSG yang ambles juga disinyalir karena aliran dana keluar asing yang terjadi sepanjang 4 - 8 September 2023, tercatat net foreign sell di seluruh pasar mencapai Rp1,11 triliun.

Dalam periode tersebut, ada tiga saham perbankan kapitalisasi besar yang secara berurutan paling banyak diobral asing, diantara PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sebanyak Rp527,6 miliar, kemudian PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dilego Rp210,4 miliar dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebesar Rp147,4 miliar.

Perlu diketahui, secara akumulasi kapitalisasi pasar ketiga saham bank tersebut bisa mencapai lebih dari 20% terhadap IHSG.

IHSG yang masih berada dalam zona merah juga sejalan dengan gerak Wall Street dan bursa Asia yang kebakaran sepanjang pekan lalu. Terpantau selama seminggu yang berakhir pada perdagangan Jumat (9/9/2023) indeks NASDAQ ambles paling dalam -2,09% ke posisi 13.761,53, kemudian disusul S&P 500 yang jatuh -1,54% ke 4.457,49 dan indeks Dow Jones Industrial ambruk -0,98% menuju 34.567,59.

Bursa Asia juga mengalami nasib serupa, melansir data RTI Business secara mingguan Shanghai Composite Indeks (SSED) jatuh 1,90% secara mingguan menuju 3116,72. Nikkei 225 Tokyo menyusul ambles -1,01% ke posisi 32.606,80, dilanjutkan Hangseng Hongkong turun -0,98% menuju 18202,07, serta Strait Times Indeks Singapura (STI) turun -0,96% ke posisi 3207,75

Mulai dari Wall Street, Bursa Asia, hingga IHSG yang kebakaran sepanjang pekan lalu terjadi akibat sejumlah data eksternal terutama dari Amerika Serikat (AS) dan China yang bawa kabar buruk.

Kabar buruk dari negeri Paman Sam datang dari perbaikan sejumlah ekonomi, pertama dari ISM Services PMI yang mengukur aktivitas bisnis non-manufaktur melonjak ke 54,5 pada Agustus. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan 52,7 pada Juli serta di atas ekspektasi pasar yakni 52,5.

ISM Services Prices juga naik menjadi 58,9 pada Agustus dari 56,8 pada Juli. Artinya, ongkos biaya pada Agustus meningkat cukup signifikan. ISM Services yang menguat menandai ekonomi AS masih kencang sehingga inflasi bisa sulit ditekan ke depan. Kondisi ini membuat pelaku pasar berekspektasi jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan mempertahankan sikap hawkishnya.

Sementara itu, China melaporkan jika ekspor dan impor mereka mengalami kontraksi pada Agustus. Kondisi ini semakin menegaskan jika ekonomi China tengah bermasalah.

Beralih ke nilai tukar rupiah dalam melawan dolar AS terpantau masih bertekuk lutut, dimana dalam sepekan lalu melemah 0,56% terhadap the Greenback ke posisi Rp15.320/US$, padahal pekan sebelumnya sempat menguat sekitar 0,36%. Dengan begitu, sejak awal bulan mata uang Garuda masih melemah sebanyak 0,62%.



Data ekonomi dari AS dan China mempengaruhi pergerakan rupiah sepanjang minggu lalu. China melaporkan ekspor yang kembali terkontraksi 8,8% (year on year/yoy) menjadi US$ 284,9 miliar pada Agustus 2023 sementara impor mereka terkoreksi sebesar 7,3% (yoy) menjadi US$ 216, 51 miliar.

Dari dalam negeri, sentimen cadangan devisa (cadev) juga belum bisa menopang laju rupiah. Bank Indonesia (BI) melaporkan cadev berada di kisaran US$137,1 miliar per akhir Agustus 2023. Angka ini sedikit menurun dibandingkan dengan posisi pada akhir Juli 2023 sebesar US$137,7 miliar.

Beralih ke Surat Berharga Negara (SBN) acuan yang bertenor 10 tahun terpantau imbal hasil mengalami kenaikan 18 basis poin (bps) menjadi 6,56% secara mingguan. Posisi yield tersebut menjadi yang tertinggi sejak 25 Agustus 2023 lalu.

Usai KTT ASEAN juga nampaknya belum terlalu memberikan katalis positif pada pasar keuangan dalam negeri karena sepertinya pelaku pasar meninjau lebih lanjut terkait realisasi dari sejumlah kesepakatan yang dicapai.

Kendati demikian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan ada banyak keputusan yang sudah berhasil disepakati terkait sektor ekonomi. Beliau menyampaikan deklarasi EAS mengenai epicentrum of growth, pengembangan ekosistem EV, dan pelaksanaan Regional Cross Border Payment dan Local Currency Transaction.

Kemudian, dalam pelaksanaan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) sudah menghasilkan 93 proyek kerja sama senilai US$ 38,2 miliar. "Ini adalah kerja sama konkret yang bermanfaat untuk rakyat," ujar Jokowi dalam konferensi pers usai perhelatan KTT ASEAN, Kamis (7/9/2023).



Pada akhir pekan lalu, Jumat (8/9/2023) wall street secara kompak ditutup menguat tipis. Akan tetapi, selama sepekan pergerakan-nya masih merana karena sikap pelaku pasar yang cenderung wait and see data inflasi dan ada efek pelarangan penjualan Iphone di China.

Secara mingguan yang berakhir pada Jumat (9/9/2023) indeks NASDAQ ambles paling dalam -2,09% ke posisi 13.761,53, kemudian disusul S&P 500 yang jatuh -1,54% ke 4.457,49 dan indeks Dow Jones Industrial ambruk -0,98% menuju 34.567,59.

Kejatuhan wall street disinyalir karena sikap pasar yang sedang dalam penantian data inflasi AS yang diperkirakan bisa melonjak lagi akibat kenaikan harga minyak mentah akhir-akhir ini.

Kenaikan harga minyak mentah akan membuat inflasi AS sulit turun dan semakin menjauhi target bank sentral AS The Federal reserve (The Fed)i sekitar 2%. Dengan begitu, sikap bank sentral negeri Paman Sam tersebut bisa semakin ketat.

Tak hanya itu, taktik Xi Jinping membuat ketar-ketar AS, pasalnya menjelang Apple merilis seri baru Iphone 15 dalam hitungan beberapa hari, yakni pada 12 September 2023, Presiden Naga Asia tersebut malah menetapkan kebijakan PNS dilarang menggunakan Iphone di lingkungan kerja, hal tersebut pertama kali dilaporkan Wall Street Journal.

Meski tak diblokir secara nasional, tetapi kebijakan ini diramal akan berpengaruh pada penjualan iPhone. Sebab, China merupakan salah satu pasar yang berkontribusi paling besar ke bisnis Apple.

Dilaporkan Reuters, penjualan iPhone bisa anjlok hingga 10 juta unit gara-gara aksi pemerintah China. Erik W. Woodring, analis dari Morgan Stanley, memperkirakan pendapatan Apple bisa jatuh 4% akibat larangan di China. Adapun, profit Apple bisa merosot 3%..

"China faktor penentu kesuksesan Apple, tetapi Apple juga unsur penting dari ekonomi China. Meskipun ada potensi Apple dan China berpisah di dunia yang multi-kutub, kami tidak yakin berita ini bisa membuat skenario terburuk terjadi," kata Woodring.

Aksi perang dagang antara dua negara adidaya tersebut masih menjadi persoalan sengit yang akan berlanjut pada pekan ini dan perlu diwaspadai investor bisa memicu capital outflow berlanjut di wall street, terutama di tengah penantian indikator ekonomi terkait inflasi yang bakal mempengaruhi kebijakan the Fed pada pertemuan minggu ketiga bulan ini.

Sejumlah sentimen baik dari eksternal dan domestik akan mewarnai pergerakan pasar keuangan Tanah Air mulai dari pasar saham, mata utang, hingga obligasi yang potensi masih bisa bergejolak.

Pertama dari Amerika Serikat (AS) akan ada rilis data inflasi pada Rabu (13/9/2023) untuk periode Agustus 2023. Melansir data trading economic, inflasi umum diperkirakan akan melonjak ke 3,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 3,2% yoy.

Apabila inflasi umum naik sesuai perkiraan ini bakal menjadi kenaikan kedua yang terjadi setelah mencapai titik terendah 3% yoy pada Juni lalu.

Sementara dari inflasi inti diperkirakan akan melandai ke 4,3% yoy dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 4,7% yoy. Kendati melandai, secara keseluruhan nilai inflasi umum dan inti masih jauh dari target The Fed di sekitar 2%.

Bila inflasi ada di atas ekspektasi pasar maka pasar keuangan Tanah Air rawan capital outflow karena investor diprediksi menarik dana dari Emerging Market dan mengalihkannya ke aset berdenominasi dolar AS.

Target inflasi tersebut nampaknya masih sulit untuk dicapai the Fed tahun ini, mengingat harga minyak mentah global yang masih lanjut naik akibat supply minyak yang ketat.

Selama sebulan terakhir hingga perdagangan yang berakhir 8 September 2023, Brent crude futures melesat 3,87% ke US$ 90,2 per barel, sementara WTI crude futures naik 4,31% ke US$ 87,2 per barel.

Kenaikan harga minyak terjadi karena ketatnya pasokan yang terjadi akibat Saudi Arabia, salah satu negara produsen minyak terbesar dunia yang tergabung dalam OPEC+ menyatakan akan melanjutkan pemangkasan produksi sekitar 1 juta barel per hari hingga akhir 2023.

Tak hanya itu, Rusia juga bakal memangkas sekitar 300.000 barel per hari hingga periode yang sama. Data Energy Information Administration (EIA) juga menunjukkan adanya penyusutan persediaan minyak AS sebanyak 6,3 juta barel minggu lalu, nilai tersebut bahkan melampaui ekspektasi pasar yang hanya memperkirakan turun sekitar 2,1 juta barel.

Pasokan ketat juga masih diwarnai kekhawatiran dari sisi permintaan, mengingat sikap bank sentral yang masih akan mengetatkan kebijakan dan kondisi ekonomi China masih lesu.

Selain data inflasi, dari negeri Paman Sam juga bakal merilis data tenaga kerja terkait klaim pengangguran pada Kamis (14/9/2023) untuk periode mingguan yang berakhir 9 September 2023. Data klaim pengangguran diperkirakan meningkat ke 226.000 dibandingkan pekan sebelumnya sebesar 216.000.

Kenaikan pengangguran diharapkan bisa menjadi katalis positif bagi the Fed di tengah perkiraan kenaikan inflasi. Pasalnya, data tenaga kerja juga menjadi salah satu pertimbangan bank sentral AS dalam menentukan arah kebijakan suku bunga.

Beralih ke China pada Sabtu (9/9/2023) terpantau sudah merilis inflasi untuk periode Agustus 2023 yang hasilnya hanya naik tipis 0,1% yoy, meleset dari konsensus pasar yang proyeksi bisa mencapai 0,2% yoy. Akan tetapi, Indeks Harga Konsumen (IHK) sudah membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang deflasi 0,3% yoy.

Kemudian pada Kamis mendatang, Tiongkok bakal merilis data penjualan ritel dan tingkat pengangguran per Agustus 2023. Penjualan ritel diperkirakan bisa membaik ke 2,8% dari bulan sebelumnya sebesar 2,5%.

Sementara data tingkat pengangguran, menurut salah satu lembaga penghimpun data trading economic diperkirakan masih bisa meningkat jadi 5,4% dari sebelumnya sebesar 5,3%.

Bisa dibilang ekonomi China masih cenderung lesu walau inflasi ada sedikit perbaikan, ini karena indikator ekonomi lain masih terkontraksi seperti ekspor dan impor.

Sang Naga Asia melaporkan ekspor mereka kembali terkontraksi 8,8% (yoy) menjadi US$ 284,9 miliar pada Agustus 2023 sementara impor mereka terkoreksi sebesar 7,3% (yoy) menjadi US$ 216, 51 miliar. Artinya, ekspor sudah terkoreksi selama empat bulan beruntun sementara impor terkontraksi selama enam bulan beruntun.

Lesunya ekonomi Tiongkok juga semakin diperparah dengan kebijakan larangan penggunaan iPhone. Beijing kini memperluas larangan penggunaan iPhone tidak hanya kepada pegawai pemerintah pusat tetapi juga pegawai BUMN serta lembaga. Pelarangan ini dibuat menjelang gelaran akbar Apple pekan depan. Raksasa Cupertino itu hendak meluncurkan seri iPhone 15 teranyar.

China adalah salah satu pasar paling menguntungkan bagi produk Apple. Pasar pengguna Apple di China meningkat dari sekitar 18% pada 2022 menjadi 22% pada tahun ini. Larangan ini tentu saja mengkhawatirkan karena bisa memicu kembali perang dagang di antara kedua negara.

Melansir dari Reuters, penjualan iPhone bisa anjlok hingga 10 juta unit gara-gara aksi pemerintah China. Erik W. Woodring, analis dari Morgan Stanley, memperkirakan pendapatan Apple bisa jatuh 4% akibat larangan di China. Adapun, profit Apple bisa merosot 3%.

China dan AS belakangan makin sering memblokir teknologi satu sama lain. Mulai dari pemerintah AS yang memblokir TikTok, lalu terjadi saling blokir teknologi chip, hingga yang terbaru isu pelarangan iPhone di lingkungan pemerintahan Negeri Tirai Bambu.

Memanasnya hubungan dagang kedua negara bisa memicu ketidakpastian di pasar keuangan global. Alhasil, risiko capital outflow bisa semakin nyata di pasar keuangan Tanah Air baik itu IHSG, rupiah, ataupun SBN.
Meskipun skala perang ini belum sebesar pada 2018 tetapi bisa terus memburuk jika AS membalas kembali kebijakan China dengan policy yang baru.

"China adalah pasar yang krusial bagi Apple. China tidak hanya menjadi hub manufaktur yang sangat penting tetapi juga terus menjadi sumber penerimaan perusahaan," tutur Susannah Streeter, analis dari Hargreaves Lansdown, dikutip dari Reuters.

Di sisi lain, dari dalam negeri akan ada rilis sejumlah data penting mulai dari penjualan eceran Juni oleh Bank Indonesia (BI), penjualan motor dan mobil, hingga neraca dagang yang termasuk nilai ekspor-impor untuk periode Agustus 2023.

Pada hari ini, Senin (11/9/2023), BI akan merilis daya penjualan eceran periode Juli 2023. Menarik dicermati seberapa besar pertumbuhan penjualan eceran Juli mengingat pada bulan tersebut tidak ada perayaan hari besar, dengan begitu pertumbuhan akan mencerminkan seberapa besar konsumsi masyarakat dalam kondisi normal.

Besaran konsumsi ini juga sangat menentukan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekaligus penjualan perusahaan terutama untuk sektor retail.

 Penjualan eceran apabila meningkat akan menjadi menjadi sinyal bagi perusahaan emiten yang bergerak di sektor retail seperti Erajaya Swasembada (RALS), Ramayana (RALS), Matahari Putra Prima (MPPA), dan lain-nya karena pendapatannya bisa potensi meningkat.

 Sebaliknya, jika penjualan eceran turun maka itu bisa mencerminkan konsumsi yang melandai dan akan menjadi sinyal apakah daya beli masyarakat sudah terdampak oleh kenaikan harga pangan.

BI memperkirakan kinerja penjualan eceran secara tahunan tetap kuat pada Juli 2023. Hal tersebut tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) Juli 2023 sebesar 212,7, atau tumbuh positif sebesar 6,3% yoy. Tetap kuatnya kinerja penjualan eceran tersebut didorong oleh Kelompok Makanan, Minuman dan Tembakau dan Sub Kelompok Sandang yang tetap tumbuh positif, serta Kelompok Suku Cadang dan Aksesori yang mengalami perbaikan.

Kemudian, pada akhir pekan depan Jumat (15/9/2023) akan ada rilis neraca perdagangan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk periode Agustus 2023.

Secara nominal neraca dagang diperkirakan masih bisa surplus karena nilai ekspor yang lebih tinggi dibandingkan impor. Akan tetapi, secara pertumbuhan ekspor dan impor masih terkontraksi, bahkan penyusutan telah terjadi sejak awal 2023 hingga Juli.

Perlu dicermati apabila data penyusutan ekspor - impor yang potensi masih bisa terkoreksi karena ini akan mempengaruhi tren neraca dagang yang makin turun serta potensi cadangan devisa yang bisa didapatkan dari aktivitas ekspor.

Sebaliknya, jika ada perbaikan dari neraca dagang ini bisa menjadi pemanis di pasar pada akhir pekan depan di tengah ketidakpastian yang makin meningkat.

Agenda Ekonomi :

  • Bank Indonesia (BI) - Penjualan eceran periode Juli 2023

Agenda Perusahaan : 

  • Pencatatan IPO AEGS
  • Acara RUPST BAPI
  • Acara RUPST FLMC
  • Cum date dividen ITMG sebesar Rp2660/lembar

Berikut Indikator Ekonomi Terbaru

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected] 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular