Was-Was Kabar AS dan China, Investor Simak Disini

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
10 September 2023 18:30
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sentimen pasar pekan depan tampaknya tak akan sebanyak pekan sebelumnya, akan tetapi ketidakpastian eksternal masih menjadi fokus terutama dari AS dan China yang diprediksi menahan laju pasar keuangan Tanah Air.

Sepanjang pekan yang berakhir pada Jumat (8/9/2023), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk sekitar 1% ke posisi 6924,78. Padahal sempat menguji level psikologis 7000 akan tetapi dalam dua hari selanjutnya IHSG malah terkoreksi.

IHSG ambles disinyalir karena aliran dana keluar asing yang terjadi sepanjang 4 - 8 September 2023, tercatat net foreign sell di seluruh pasar mencapai Rp1,11 triliun.

Aksi jual asing terjadi sejalan dengan sikap hati-hati investor terhadap ketidakpastian eksternal yang potensi meningkat.

Pertama dari Amerika Serikat (AS) akan ada rilis data inflasi pada Rabu (13/9/2023) untuk periode Agustus 2023. Melansir data trading economic, inflasi umum diperkirakan akan melonjak ke 3,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 3,2% yoy.

Apabila inflasi umum naik sesuai perkiraan ini bakal menjadi kenaikan kedua yang terjadi setelah mencapai titik terendah 3% yoy pada Juni lalu.

Sementara dari inflasi inti diperkirakan akan melandai ke 4,3% yoy dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 4,7% yoy. Kendati melandai, secara keseluruhan nilai inflasi umum dan inti masih jauh dari target bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) di sekitar 2%.

Target inflasi tersebut nampaknya masih sulit untuk dicapai the Fed tahun ini, mengingat harga minyak mentah global yang masih lanjut naik akibat supply minyak yang ketat.

Selama sebulan terakhir hingga perdagangan yang berakhir 8 September 2023, Brent crude futures melesat 3,87% ke US$ 90,65 per barel, sementara WTI crude futures naik 4,31% ke US$ 87,51 per barel.

Kenaikan harga minyak terjadi karena ketatnya pasokan yang terjadi akibat Saudi Arabia, salah satu negara produsen minyak terbesar dunia yang tergabung dalam OPEC+ menyatakan akan melanjutkan pemangkasan produksi sekitar 1 juta barel per hari hingga akhir 2023.

Tak hanya itu, Rusia juga bakal memangkas sekitar 300.000 barel per hari hingga periode yang sama. Data Energy Information Administration (EIA) juga menunjukkan adanya penyusutan persediaan minyak AS sebanyak 6,3 juta barel minggu lalu, nilai tersebut bahkan melampaui ekspektasi pasar yang hanya memperkirakan turun sekitar 2,1 juta barel.



Pasokan ketat juga masih diwarnai kekhawatiran dari sisi permintaan, mengingat sikap bank sentral yang masih akan mengetatkan kebijakan dan kondisi ekonomi China masih lesu.

Selain data inflasi, dari negeri Paman Sam juga bakal merilis data tenaga kerja terkait klaim pengangguran pada Kamis (14/9/2023) untuk periode mingguan yang berakhir 9 September 2023. Data klaim pengangguran diperkirakan meningkat ke 226.000 dibandingkan pekan sebelumnya sebesar 216.000.

Kenaikan pengangguran diharapkan bisa menjadi katalis positif bagi the Fed di tengah perkiraan kenaikan inflasi. Pasalnya, data tenaga kerja juga menjadi salah satu pertimbangan bank sentral AS dalam menentukan arah kebijakan suku bunga.

Beralih ke China pada Sabtu (9/9/2023) terpantau sudah merilis inflasi untuk periode Agustus 2023 yang hasilnya hanya naik tipis 0,1% yoy, meleset dari konsensus pasar yang proyeksi bisa tumbuh 0,2% yoy. Akan tetapi, sudah membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang deflasi -0,3% yoy.

Kemudian pada Kamis mendatang, Tiongkok bakal merilis data penjualan ritel dan tingkat pengguran per Agustus 2023. Penjualan ritel diperkirakan bisa membaik ke 2,8% dari bulan sebelumnya sebesar 2,5%.

Sementara data tingkat pengangguran, menurut salah satu lembaga penghimpun data trading economic diperkirakan masih bisa meningkat jadi 5,4% dari sebelumnya sebesar 5,3%.

Bisa dibilang ekonomi China masih cenderung lesu walau inflasi ada sedikit perbaikan, ini karena indikator ekonomi lain masih terkontraksi seperti ekspor dan impor.

Sang Naga Asia melaporkan ekspor mereka kembali terkontraksi 8,8% (year on year/yoy) menjadi US$ 284,9 miliar pada Agustus 2023 sementara impor mereka terkoreksi sebesar 7,3% (yoy) menjadi US$ 216, 51 miliar. Artinya, ekspor sudah terkoreksi selama empat bulan beruntun sementara impor terkontraksi selama enam bulan beruntun.

Lesunya ekonomi Tiongkok juga semakin diperparah dengan kebijakan larangan penggunaan iPhone. Beijing kini memperluas larangan penggunaan iPhone tidak hanya kepada pegawai pemerintah pusat tetapi juga pegawai BUMN serta lembaga. Pelarangan ini dibuat menjelang gelaran akbar Apple pekan depan. Raksasa Cupertino itu hendak meluncurkan seri iPhone 15 teranyar.

China adalah salah satu pasar paling menguntungkan bagi produk Apple. Pasar pengguna Apple di China meningkat dari sekitar 18% pada 2022 menjadi 22% pada tahun ini. Larangan ini tentu saja mengkhawatirkan karena bisa memicu kembali perang dagang di antara kedua negara.

China dan AS belakangan makin sering memblokir teknologi satu sama lain. Mulai dari pemerintah AS yang memblokir TikTok, lalu terjadi saling blokir teknologi chip, hingga yang terbaru isu pelarangan iPhone di lingkungan pemerintahan Negeri Tirai Bambu.

Memanas nya hubungan dagang kedua negara bisa memicu ketidakpastian di pasar keuangan global. Alhasil, risiko capital outflow bisa semakin nyata di pasar keuangan Tanah Air baik itu IHSG, rupiah, ataupun SBN.
Meskipun skala perang ini belum sebesar pada 2018 tetapi bisa terus memburuk jika AS membalas kembali kebijakan China dengan policy yang baru.

"China adalah pasar yang krusial bagi Apple. China tidak hanya menjadi hub manufaktur yang sangat penting tetapi juga terus menjadi sumber penerimaan perusahaan," tutur Susannah Streeter, analis dari Hargreaves Lansdown, dikutip dari Reuters.

Di sisi lain, dari dalam negeri akan ada rilis sejumlah data penting mulai dari penjualan eceran Juni oleh Bank Indonesia (BI) hingga neraca dagang yang termasuk nilai ekspor-impor untuk periode Agustus 2023.

Bank IndonesiaFoto: Ist
Bank Indonesia

Pada Senin, penjualan eceran periode Juli 2023 akan dirilis oleh Bank Indonesia (BI) sekitar pukul 10.00 WIB. Menarik dicermati seberapa besar pertumbuhan penjualan eceran Juli mengingat pada bulan tersebut tidak ada perayaan hari besar, dengan begitu pertumbuhan akan mencerminkan seberapa besar konsumsi masyarakat dalam kondisi normal.

Besaran konsumsi ini juga sangat menentukan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekaligus penjualan perusahaan terutama untuk sektor retail.

Penjualan eceran apabila meningkat akan menjadi menjadi sinyal bagi perusahaan emiten yang bergerak di sektor retail seperti Erajaya Swasembada (RALS), Ramayana (RALS), Matahari Putra Prima (MPPA), dan lain-nya karena pendapatannya bisa potensi meningkat.

Sebaliknya, jika penjualan eceran turun maka itu bisa mencerminkan konsumsi yang melandai dan akan menjadi sinyal apakah daya beli masyarakat sudah terdampak oleh kenaikan harga pangan.

BI memperkirakan kinerja penjualan eceran secara tahunan tetap kuat pada Juli 2023. Hal tersebut tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) Juli 2023 sebesar 212,7, atau tumbuh positif sebesar 6,3% yoy. Tetap kuatnya kinerja penjualan eceran tersebut didorong oleh Kelompok Makanan, Minuman dan Tembakau dan Sub Kelompok Sandang yang tetap tumbuh positif, serta Kelompok Suku Cadang dan Aksesori yang mengalami perbaikan.

Kemudian, pada akhir pekan depan Jumat (15/9/2023) akan ada rilis neraca perdagangan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada pukul 11.00 WIB untuk periode Agustus 2023.

Surplus neraca perdagangan diperkirakan bisa naik untuk Agustus 2023 menjadi US$ 1,58 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar US$ 1,31 miliar. Akan tetapi pertumbuhan ekspor dan impor diperkirakan masih bisa terkontraksi masing-masing sekitar -21,9% dan -9% secara tahunan.

Secara nominal neraca dagang diperkirakan masih bisa surplus karena nilai ekspor yang lebih tinggi dibandingkan impor. Akan tetapi, secara pertumbuhan ekspor dan impor masih terkontraksi, bahkan penyusutan telah terjadi sejak awal 2023 hingga Juli.

Perlu dicermati apabila data penyusutan ekspor - impor yang potensi masih bisa terkoreksi karena ini akan mempengaruhi tren neraca dagang yang makin turun serta potensi cadangan devisa yang bisa didapatkan dari aktivitas ekspor.

Sebaliknya, jika ada perbaikan dari neraca dagang ini bisa menjadi pemanis di pasar pada akhir pekan depan di tengah ketidakpastian yang makin meningkat.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation