
Alarm Bahaya China AS & China Menyala! RI Bisa Jadi Tumbal

Dari bursa Amerika Serikat (AS), kinerja Wall Street masih mengecewakan pada perdagangan kemarin, Kamis (7/9/2023). Tiga bursa utama mereka mengakhiri perdagangan dengan beragam dengan mayoritas melemah.
Indeks Dow Jones menguat 0,17% atau 57,54 poin ke posisi 34.500,73.
Sementara itu, indeks Nasdaq ambruk 0,89% atau 123,64 poin ke posisi 13.748,83 dan indeks S&P 500 melemah 0,32% ke posisi 4.451,14.
Ambruknya mayoritas bursa Wall Street memperpanjang tren negatifnya. Pada perdagangan Rabu (6/9/2023), Indeks Dow Jones ambruk 0,57%, Indeks Nasdaq jeblok 1,06% sementara indeks S&P jatuh 0,7%.
Ambruknya Wall Street dipicu oleh jatuhnya saham teknologi, terutama Apple, serta masih panasnya data ekonomi AS
Saham Apple jatuh 2,9% selama dua hari beruntun setelah China memperluas larangan penggunaan iPhone kepada pegawai pemerintah. Beijing sudah melarang penggunaan IPhone kepada pegawai pemerintah pusat.
Mereka memperluas aturan itu kepada pegawai BUMN serta lembaga negara.
"Pelaku pasar jelas tidak mengabaikan kabar dari China. Berita besar dari China jelas menjadi kabar yang buruk bagi pasar," tutur Sahak Manuelian, analis dari Wedbush Securities, dikutip dari CNBC International.
Analis dari Cherry Lane Investments, Rick Meckler, mengatakan kebijakan China bisa membuat hubungan AS dan Tiongkok memanas dan menimbulkan risiko bagi pasar saham, terutama teknologi.
Saham-saham China yang listing di bursa Amerika jatuh seperti Alibaba yang ambruk 4% dan Baidu yang turun 3,4%.
Selain kebijakan China, masih panasnya data ekonomi AS juga membuat Wall Street ambruk. AS kemarin merilis data klaim pengangguran. Jumlah pegawai AS yang mengajukan klaim pengangguran mencapai 216.000 pada pekan yang berakhir 2 September.
Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan ekspektasi pasar yakni 234.000 dan pekan sebelumnya yakni 229.0000. Lebih sedikitnya jumlah klaim menunjukkan pasar tenaga kerja masih panas sehingga inflasi sulit melandai.
Kondisi ini membuat pasar berekspektasi jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan tetap hawkish.
"Dengan data tersebut, The Fed sepertinya akan kembali hawkish ke depan. Namun, data-data yang ada tak cukup kuat untuk menjadi pertimbangan pertemuan (The Fed), investor seharusnya masih memiliki banyak kesempatan tetapi jalannya memang tidak mudah," tutur Jeffrey Roach, ekonom at LPL Financial, kepada CNBC International.
The Fed akan menggelar pertemuan pada 19-20 September untuk menentukan kebijakan suku bunga.
Presiden Fed New York John Williams, kemarin, memberi sinyal jika masih aka nada pengetatan jika data ekonomi memang berkata The Fed harus hawkish.
:Kebijakan kita sudah bauk tetapi kita akan terus bekerja berdasarkan data yang berkembang," tutur Williams, dikutip dari CNBC Internasional.
Perangkat CME Fedwatch menunjukkan 93% investor yakin The Fed akan menahan suku bunga acuan di 5,25%-5,5% dalam pertemuan September. Sebanyak 7%memperkirakan adanya kenaikan suku bunga sebesar 25 bps.
(mae/mae)