
Alarm Bahaya China AS & China Menyala! RI Bisa Jadi Tumbal

Pelaku pasar mesti mencermati berbagai sentimen yang datang dari dalam ataupun luar negeri pada hari terakhir perdagangan pekan ini.
Sentimen eksternal negeri akan datang dari perkembangan di China dan AS. Selain dari eksternal, anjlokya cadev pada Agustus diperkirakan masih membayangi kinerja rupiah hari ini.
Sentimen negatif akan datang dari kinerja Wall street yang tak juga membaik. Dua dari tiga bursa Wall Street ambruk kemarin. Pelemahan memperpanjang tren negatif Wall Street yang juga hancur lebur pada perdagangan Selasa dan Rabu pekan ini.
Kinerja buruk Wall Street dikhawatirkan akan menular kepada IHSG hari ini, terutama kepada saham-saham berbasis teknologi.
Sentimen tak kalah negatif juga datang dari China yakni perluasan larangan penggunaan iPhone serta masih lesunya ekonomi Tiongkok.
Beijing kini memperluas larangan penggunaan iPhone tidak hanya kepada pegawai pemerintah pusat tetapi juga pegawai BUMN serta lembaga.
Pelarangan ini dibuat menjelang gelaran akbar Apple pekan depan. Raksasa Cupertino itu hendak meluncurkan seri iPhone 15 teranyar.
China adalah salah satu pasar paling menguntungkan bagi produk Apple. Pasar pengguna Apple di China meningkat dari sekitar 18% pada 2022 menjadi 22% pada taun ini.
Larangan ini tentu saja mengkhawatirkan karena bisa memicu kembali perang dagang di antara kedua negara.
China dan AS belakangan makin sering memblokir teknologi satu sama lain. Mulai dari pemerintah AS yang memblokir TikTok, lalu terjadi saling blokir teknologi chip, hingga yang terbaru isu pelarangan iPhone di lingkungan pemerintahan Negeri Tirai Bambu.
Memanasnya hubungan dagang kedua negara bisa memicu ketidakpastian di pasar keuangan global. Alhasil, risiko capital outflow bisa semakin nyata di IHSG, rupiah, ataupun SBN.
Meskipun skala perang ini belum sebesar pada 2018 tetapi bisa terus memburuk jika AS membalas kembali kebijakan China dengan policy yang baru.
"China adalah pasar yang krusial bagi Apple. China tidak hanya menjadi hub manufaktur yang sangat penting tetapi juga terus menjadi sumber penerimaan perusahaan," tutur Susannah Streeter, analis dari Hargreaves Lansdown, dikutip dari Reuters.
Laju Ekonomi China dan AS Berlawanan Tetapi Sama-Sama Mengkhawatirkan
China, kemarin, melaporkan ekspor mereka kembali terkontraksi 8,8% (year on year/yoy) menjadi US$ 284,9 miliar pada Agustus 2023 sementara impor mereka terkoreksi sebesar 7,3% (yoy) menjadi US$ 216, 51 miliar.
Artinya, ekspor sudah terkoreksi selama empat bulan beruntun sementara impor terkontraksi selama enam bulan beruntun.
Koreksi ekspor dan impor memang lebih rendah dibandingkan proyeksi pasar yakni 9,2% dan 14,5% dan lebih kecil dibandingkan pada Juli tetapi tetap mengundang banyak kekhawatiran.
"Secara umum, ada perbaikan dari ekspor impor China tetapi perdagangan China diperkirakan akan menyentuh bottomnya beberapa bulan ke depan. Ini akan menghantam banyak sektor di China," tutur Hao Zhou, analis dari Guotai Junan, dikutip dari CNBC International.
Sejumlah indikator menunjukkan perdagangan China masih akan lesu. Di antaranya adalah turunnya pengiriman barang dari Korea Selatan dan Jepang.
Ekonomi Eropa juga memburuk yang bisa mengancam ekspor China ke depan.
Masih terkoreksinya ekspor menandai jika permintaan dari global belum pulih. Kontraksi pada impor mencerminkan permintaan dalam negeri China yang masih rendah. Kondisi ini bisa berdampak besar terhadap ekonomi China yang lesu sejak awal tahun ini.
Pelemahan ekspor impor membuat target pertumbuhan China sebesar 5% akan sangat sulit dicapai.
Bagi Indonesia, terkontraksinya impor China adalah warning. China adalah tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia dengan kontribusi sekitar 24-25% sehingga perkembangan di Tiongkok akan sangat mempengaruhi Indonesia.
Jika impor China kembali terkontraksi maka hal tersebut harus menjadi warning bagi permintaan Tiongkok untuk produk Indonesia.
Ekspor ke China pun bisa turun lebih tajam.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor non-migas RI ke China pada Januari-Juli 223 mencapai US$ 34,86 miliar atau tumbuh 6%. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pada Januari-Juli 2022 sebesar 30%.
![]() Ekspor ke China |
Berbeda dengan China, ekonomi AS justru masih panas Jumlah pegawai AS yang mengajukan klaim pengangguran mencapai 216.000 pada pekan yang berakhir 2 September. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan ekspektasi pasar yakni 234.000 dan pekan sebelumnya yakni 229.0000.
AS pada hari sebelumnya juga melaporkan jika melaporkan ISM Services PMI yang mengukur aktivitas bisnis non-manufaktur melonjak ke 54,5 pada Agustus. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan 52,7 pada Juli serta di atas ekspektasi pasar yakni 52,5.
Aktivitas manufaktur AS yang terekam dalam ISM Manufacturing juga naik menjadi 47,6 pada Agustus, dari 47 pada Juli. Ekspor dan impor AS juga masih naik kencang pada Agustus.
Data-data tersebut mencerminkan ekonomi AS masih kencang sehingga inflasi bisa sulit ditekan ke depan. Artinya, harapan pelaku pasar melihat The Fed melunak semakin menjauh.
Kondisi ini tentu saja menjadi kabar buruk bagi IHSG, rupiah, ataupun SBN. Dengan potensi kenaikan suku bunga The Fed maka ketidakpastian akan meningkat dan risiko capital outflow masih mengancam.
Sementara itu, cadev Indonesia yang terus melandai menjadi US$137,1 miliar per akhir Agustus 2023. dari US$ 137,7 miliar pada akhir Juli 2023 bisa kembali menekan rupiah hari ini. Pasalnya, penurunan cadev justru terjadi di tengah pemberlakuan aturan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) sejak 1 Agustus. Publik menunggu seberapa jauh aturan DHE akan mampu membawa pulang dolar yang diparkir di luar sekaligus menambah pasokan dolar dalam negeri.
Untuk hari ini, agenda ekonomi relatif sepi. Jepang akan mengumumkan data final pertumbuhan ekonomi kuartal II-2023 sementara Jerman mengumumkan inflasi Agustus (13:00 WIB)
S
(mae/mae)