
Malapetaka Baru, Harga Beras Bisa Terbang Karena Hal Ini

- Harga beras tampaknya menjadi korban perubahan iklim yang sedang terjadi dan diramal bakal parah ke depannya
- El Nino mengancam panen di beberapa produsen utama dunia, salah satunya India.
- Dengan kondisi ini, Indonesia tak lepas dari El Nino. Lantas, bagaimana kondisi harga beras dalam negeri?
Jakarta, CNBC Indonesia -Perubahan iklim belakangan sedang mencuat. Pasalnya, beberapa negara sudah mulai menunjukkan dampaknya terhadap harga pangan. Bukan tanpa alasan, Harga beras global, sekarang mencapai level tertinggi dalam 11 tahun.
Kondisi ini diperkirakan akan terus meningkat setelah India bergerak untuk meningkatkan pembayaran kepada petani, saat El Nino mengancam hasil panen di produsen utama dan bahan pokok alternatif menjadi lebih mahal bagi orang Asia dan Afrika yang miskin.
Kenaikan harga beras ini terjadi di tengah melandainya hampir sebagian bahan pangan dunia.
Indeks harga pangan FAO turun ke level 124,3 poin pada Mei 2023. Angka ini melandai dibandingkan yang tercatat pada April 2023 yakni 127,7 poin.
Sebagaimana diketahui, India menyumbang lebih dari 40% ekspor beras dunia, yaitu 56 juta ton pada tahun 2022, tetapi persediaan yang rendah berarti setiap pemotongan pengiriman akan memicu harga pangan yang didorong oleh invasi Rusia ke Ukraina tahun lalu dan cuaca yang tidak menentu.
"India adalah pemasok beras termurah," kata B.V. Krishna Rao, presiden Asosiasi Eksportir Beras (REA) dikutip dari Reuters.
Berdasarkan data USDA, Tiongkok masih bercokol diposisi pertama dengan produsen beras terbesar di dunia. Posisi kedua baru disusul India. Berikut rinciannya.
Maka dari itu, ketika harga India naik karena harga dukungan minimum yang baru, pemasok lain juga mulai menaikkan harga.
Beras merupakan makanan pokok bagi lebih dari 3 miliar orang dan hampir 90% dari tanaman intensif air diproduksi di Asia, di mana pola cuaca El Nino biasanya menurunkan curah hujan.
Namun, bahkan sebelum fenomena cuaca dapat mengganggu produksi, indeks harga beras dunia dari Organisasi Pangan dan Pertanian masih berada di atas harga tertinggi dalam 11 tahun terakhir.
Itu terjadi meskipun ada perkiraan oleh Departemen Pertanian AS (USDA) untuk hasil yang hampir mencapai rekor di semua enam produsen global teratas Bangladesh, Cina, India, india, Thailand, dan Vietnam.
"Dampak El Nino tidak terbatas pada satu negara saja; itu memengaruhi produksi beras di hampir semua negara produsen," kata Nitin Gupta, wakil presiden bisnis beras Olam India.
Harga ekspor beras India melonjak 9% ke level tertinggi dalam lima tahun, menyusul kenaikan 7% bulan lalu dalam harga yang dibayarkan pemerintah kepada petani untuk beras musim baru.
Harga ekspor di Thailand dan Vietnam telah naik ke level tertinggi lebih dari dua tahun sejak insentif itu yang ditujukan untuk menarik suara petani dalam pemilihan utama negara bagian India tahun ini dan pemilihan umum tahun depan.
Dalam beberapa bulan terakhir, harga gula, daging, dan telur melonjak ke level tertinggi dalam beberapa tahun di seluruh dunia, setelah produsen memangkas ekspor untuk mengendalikan biaya domestik.
Terlepas dari perkiraan panen Asia yang kuat, beberapa rumah perdagangan global memperkirakan El Nino akan mengurangi produksi semua produsen beras utama.
Selain itu, USDA memperkirakan persediaan beras global akan turun ke level terendah enam tahun sebesar 170,2 juta ton pada akhir 2023 hingga 2024, karena stok turun di produsen utama China dan India setelah meningkatnya permintaan beberapa tahun terakhir.
Ancaman Kenaikan Harga Beras
Harga bisa naik seperlima atau lebih jika hasil panen turun tajam, karena El Nino berarti panen beras kedua di hampir semua negara Asia akan lebih rendah dari biasanya, kata dealer biji-bijian yang berbasis di New Delhi dengan rumah perdagangan global.
Saat ini saja, Thailand sudah mendesak para petani untuk hanya menanam satu kali panen padi setelah curah hujan bulan Mei 26% di bawah normal.
Sementara itu, data pemerintah India menanam tanaman keduanya pada bulan November, penanaman padi musim panas turun 26% dari tahun lalu. Hal ini dipicu karena musim hujan membawa hujan 8% lebih sedikit dari biasanya.
Cuaca di China, produsen biji-bijian utama, belum kondusif untuk panen awal musim tetapi stok yang tinggi akan menyeimbangkan penawaran dan permintaan, kata Rosa Wang, analis Shanghai JC Intelligence.
Inflasi makanan selalu menjadi perhatian partai yang berkuasa di India, yang melarang ekspor gandum tahun lalu dan mengekang ekspor beras dan gula untuk menurunkan harga.
Menjelang pemilu, lambatnya awal penanaman di tengah kenaikan harga domestik menjadi perhatian Partai Bharatiya Janata (BJP) Perdana Menteri Narendra Modi, meningkatkan prospek bahwa hal itu dapat lebih mengekang ekspor.
"Pemerintah Modi sedang bergulat dengan tugas menahan kenaikan harga gandum, oleh karena itu tidak ragu untuk memberlakukan pembatasan," kata dealer yang berbasis di New Delhi, ibu kota India itu dikutip dari Reuters.
Pembatasan India akan membuat negara lain berjuang untuk membuat pasokan.
Perubahan Iklim di Indonesia dan Harga Beras Dalam Negeri
Perubahan iklim atau yang saat ini lebih dipertegas dengan istilah krisis iklim merupakan kondisi yang mengacu pada perubahan ekstrim jangka panjang terkait suhu dan pola cuaca.
Pada dasarnya perubahan ini dapat terjadi secara alami, tetapi sejak era revolusi industri abad ke-18, perubahan ini terjadi lebih cepat. Hal ini dikarenakan masifnya penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK) sejak saat itu.
Krisis iklim bagi Indonesia sesungguhnya dapat berdampak pada semua sektor, tetapi salah satu sektor yang paling terdampak dan mempengaruhi sektor lain yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian yang pada dasarnya sangat bergantung pada temperatur, ketersediaan air, curah hujan akan sangat terdampak akibat terjadinya krisis iklim.
Gagal panen menjadi salah satu momok yang paling ditakuti oleh para petani. Namun seharusnya, gagal panen juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat. Pasalnya gagal panen ketika terjadi terus-menerus akan menurunkan suplai kebutuhan pangan.
Sebagaimana konsep ekonomi yang dikenalkan oleh Alfred Marshal tentang elastisitas harga permintaan (price elasticity of demand).
Belajar dari India, ini artinya mendesak pemerintah untuk mengantisipasi dampak dari krisis iklim ini terutama kepada harga pangan.
![]() Presiden Jokowi didampingi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL) melakukan tanam padi di Desa Senori, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. (Dok: Biro Pers) |
Ada banyak komoditas pertanian yang terdampak. Namun Padi menjadi yang menarik untuk diperhatikan.
Fenomena El Nino ini diperkirakan bakal memangkas produksi padi pada 2023. Laju penurunannya diperkirakan berkisar 2 juta ton gabah kering giling (GKG).
Berkaca pada 2019, ketika Indonesia menghadapi El Nino dam IOD memperkirakan produksi padi turun 7,7% ke 54,6 juta ton GKG dari tahun sebelumnya. Penurunan terjadi di tengah cuaca ekstrem. Sawah menghadapi banjir pada awal tahun dan kekeringan selama paruh tahun kedua.
Melihat data BPS, produksi padi pada musim panen di Maret 2023 telah naik tipis. Produksinya diperkirakan hanya tumbuh 0,53% ke 23,9 juta ton GKG pada periode Januari hingga April 2023 dibandingkan tahun sebelumnya.
Sebab itu, pemerintah harus mempersiapkan langkah untuk mengantisipasi dampak El Nino lebih lanjut. Dalam hal ini, harus dipikirkan bagaimana penurunan produksi ini tidak terlalu bermuara kepada tekanan inflasi yang lebih tinggi. Kenaikan harga beras meskipun hanya sedikit akan sangat berpengaruh kepada Inflasi.
Melihat kondisi saat ini, harga beras saat ini tercatat telah melambung menjauhi harga tahun lalu.
Panel Harga Badan Pangan menunjukkan, harga beras medium saat ini bertengger di Rp11.880 per kg, sementara tahun 2022 masih di Rp10.700 per kg.
Harga tersebut adalah rata-rata nasional di tingkat pedagang eceran di bulan berjalan Juli.
Begitu juga dengan harga rata-rata nasional beras premium di tingkat pedagang eceran. Saat ini, harganya bertengger di Rp13.590 per kg, sedangkan di bulan berjalan Juli tahun 2022 lalu masih di Rp12.250 per kg.
Jadi, krisis iklim bukan sekedar membuat kita merasakan udara yang panas, tetapi juga dapat berdampak signifikan pada inflasi hingga pada kelaparan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)