
Waspada! Tanda Resesi Sudah Muncul di Tetangga RI

- Bank sentral Australia kembali melanjutkan tren kenaikan suku bunga setelah sempat memberi jeda pada April lalu.
- Kenaikan selanjutnya masih diperkirakan akan terjadi, yang membuat pasar melihat risiko resesi semakin membesar. Yield obligasi Australia pun mengalami inversi.
- Australia merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia, resesi yang terjadi bisa membuat nilai ekspor menurun, dan defisit neraca perdagangan dengan Negeri Kangguru berisiko semakin membengkak.
Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi di beberapa negara kembali menguat dalam di bulan ini, sebab laju kenaikan suku bunga masih belum terhenti termasuk di negara tetangga RI, yakni Australia. Bahkan, sinyal resesi di Australia kembali muncul pada pekan lalu.
Pada April 2023 lalu bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) menghentikan periode kenaikan suku bunganya. Kala itu RBA sudah menaikkan suku bunga sebanyak 10 kali dengan total 350 basis poin menjadi 3,6%.
Namun, sebulan berselang Gubernur RBA Philip Lowe kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin, begitu juga Selasa (6/6/2023) lalu. Suku bunga di Australia kini mencapai 4,1%, tertinggi dalam 11 tahun terakhir.
Lowe bahkan menyatakan inflasi sedang menguji kesabaran bank sentral, dan bakal dilawan dengan kembali menaikkan suku bunga.
"Kami sudah bersiap untuk bersabar... tetapi kesabaran kami ada batasnya dan risiko (inflasi) mulai menguji batas kami," kata Lowe dalam pidatonya di Morgan Stanley Australia Summit Rabu (7/6/2023).
Pasar memprediksi RBA akan kembali menaikkan suku bunga dua kali lagi. Sehingga risiko resesi semakin membesar.Pelaku pasar sudah menanggapi hal tersebut dan bereaksi di pasar obligasi, memicu sinyal resesi.
Imbal hasil (yield) obligasi Australia mengalami inversi untuk pertama kalinya sejak krisis finansial global 2008. Yield tenor 3 tahun kini lebih tinggi dari 10 tahun.
Dalam kondisi normal, yield tenor jangka pendek lebih rendah dari jangka panjang. Ketika terjadi inversi, pelaku pasar meminta imbal hasil yang lebih tinggi untuk tenor jangka pendek, sebab perekonomian dalam waktu dekat diperkirakan akan lebih buruk ketimbang jangka panjang.
Sehingga inversi ini sering dijadikan sinyal akan terjadinya resesi.
Resesi memang sesuatu yang mengerikan, tetapi dalam kondisi saat ini itu bisa mempercepat penurunan inflasi. Jika inflasi tinggi berlangsung dalam waktu yang lama, maka ada risiko "mendarah daging" dan sulit turun.
Masyarakat Australia akan merasakan biaya hidup mencekik dalam waktu yang lama, belum lagi cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang tinggi. Untuk harga rumah $500.000, kenaikan suku bunga kali ini membuat pembayaran KPR naik AU$76 per bulan. Sementara jika dilihat sejak awal, total kenaikannya hingga AU$ 1.134 per bulan.
Namun di sisi lain, Indonesia kena dampak negatifnya. Ekspor ke Australia berisiko menurun, sementara impor masih tinggi, neraca perdagangan dengan Negeri Kangguru akan mengalami defisit semakin besar.
Tanda-tandanya sudah terlihat, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor ke Australia pada Januari - Mei tercatat sebesar US$ 1,16 miliar, merosot 13,8% dari periode yang sama 2022 lalu. Sementara impor pada periode yang sama tercatat sebesar US$ 3,4 miliar, naik 2,5%.
Melihat data tersebut, pada periode pertama tahun ini defisit perdagangan dengan Australia tercatat sebesar US$ 2,24 miliar. Dibandingkan dengan mitra dagang utama lainnya, seperti China, Amerika Serikat, Jepang hingga India, hanya Australia yang membuat neraca perdagangan Indonesia defisit pada periode Januari - Mei 2023.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)