13.500 Miliuner China Kabur, Tetangga RI Ini Jadi Tujuannya

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 June 2023 18:14
Australia (dok. detik.com)
Foto: Australia (dok. detik.com)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian China yang menunjukkan tanda-tanda pelambatan membuat banyak crazy rich atau miliuner kabur dari negara tersebut. Fenomena ini sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dan semakin masif terjadi.

Ekspansi ekonomi China yang kuat pada periode 2000 hingga 2017 membuat jumlah miliuner China meningkat drastis. Berdasarkan estimasi, jumlah warga China yang memiliki kekayaan lebih dari US$ 1 juta atau sekitar Rp 14,9 miliar sebanyak 823.800 orang.

Presiden Xi Jinping mendorong rencana "kemakmuran bersama", dan mendesak para pengusaha untuk "berbagi hasil pertumbuhan" membuat eksodus para orang kaya semakin masif.

Business Insider mengutip Henley Private Wealth Migration Report 2023 melaporkan pada 2022 lalu sebanyak 10.800 pergi meninggalkan China. Jumlah tersebut lebih besar lagi tahun ini, sebanyak 13.500 orang miliuner diperkirakan kabur.

Perginya para miliuner tersebut diperkirakan akan berdampak lebih parah dari sebelumnya.

"Pertumbuhan kekayaan secara umum di negara tersebut telah melambat selama beberapa tahun terakhir, yang berarti keluarnya para miliuner akan lebih merusak dari sebelumnya," tulis laporan tersebut, yang dikutip Business Insider Rabu (14/6/2023).

Selain China, beberapa negara yang para miliunernya banyak pindah keluar negeri ada Inggris dan India. Sementara itu negara tujuan yang paling populer berada dekat Indonesia.

Australia pada tahun ini diprediksi akan kedatangan 5.200 crazy rich, naik dari tahun lalu sebanyak 3.800 orang. Uni Emirat Arab sebanyak 4.500 orang dan Singapura 3.200 orang.

Kondisi Ekonomi China

Rory Green, ekonom di TS Lombard pada bulan lalu menyebut rumah tangga di China mulai menunjukkan tanda-tanda balance sheet recession, yakni keinginan untuk melakukan menabung atau membayar utang, tetapi enggan untuk meminjam dan berbelanja.

Istilah Balance Sheet Recession memang dikeluarkan oleh Richard Koo melihat kondisi ekonomi Jepang pada era 1990an. Resesi jenis ini terjadi saat utang swasta maupun rumah tangga sangat tinggi, atau ketika perusahaan maupun rumah tangga fokus untuk menabung guna membayar utang ketimbang melakukan belanja atau investasi. Hal ini membuat perekonomian perlahan-lahan mengalami penurunan.

"Banyak orang di China bertanya kepada saya apakah China akan seperti Jepang 30 tahun yang lalu. Menurut saya China akan mengalami apa yang saya sebut balance sheet recession," kata Koo dalam acara Street Signs Asia Rabu (7/6/2023).

Liu Yuhui, profesor di Chinese Academy of Social Sciences (CASS) menyebut kondisi China saat ini sama dengan Amerika Serikat 15 tahun lalu saat dilanda krisis finansial global, dan Jepang 30 tahun lalu saat mengalami "lost decade" atau "dasawarsa yang hilang"

Peneliti dari Japan Institute of International Affairs, Toshiya Tsugami sebagaimana dilansir Think China memperlihatkan kesamaan dari aset riil yang mengalami bubble.China sebelumnya mengatakan kapitaslisasi pasar real estate akan mencapai US$ 65 triliun, lebih tinggi dari Amerika Serikat dan Eropa bahkan saat keduanya digabungkan.

Tsugami Jepang juga merasakan hal yang sama 30 tahun lalu. Bubble aset di Jepang menjadi yang pada akhirnya "meledak" pada awal 1990 menjadi tanda lost decade Jepang.

Tim analis dari Citigroup juga mengungkapkan hal yang sama persis dengan Tsugami. Financial Times pada akhir Februari lalu melaporkan tim dari Citigroup tersebut melihat China sekarang "sangat mirip" dengan Jepang pasca era properti bubble.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(pap/pap)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation